01 Februari 2013

Apakah Tahlilan dan Ziarah Kubur itu bid'ah dholalah ???




ANJURAN UNTUK TAHLILAN DAN ZIARAH KUBUR. TAK ADA LARANGAN!

Sebenarnya permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup usang dan sudah lama diperdebatkan. Akan tetapi dirasa perlu untuk diangkat kembali karena ada pergeseran isu yang cukup substantive, yaitu dari furu’ menuju ushul. 

Maksudnya, pada awalnya permasalahan ini dianggap sebagai permasalahan furu’iyah, sehingga masing-masing pihak yang berdebat tidak saling mengkafirkan dan mensyirikkan, dan kemudian berubah menjadi permasalahan ushul, sehingga pihak-pihak yang tidak setuju terhadap ziarah kubur dan tahlilan mengkafirkan dan mensyirikkan para pelakunya.

Semua pasti sepakat bahwa syirik dan kafir adalah hal yang mesti harus dijauhi dan dihindari. Semua muslim dari manapun kelompok dan organisasinya pasti marah apabila keislaman dan keimanannya dianggap tercemar dan berlumuran dengan Lumpur kesyirikan dan kekafiran. Demikian juga halnya dengan kita warga nahdliyin, akan marah dan jengkel ketika keislaman dan keimanan kita dianggap berlumuran dengan Lumpur kesyirikan dan kekafiran. 

Tulisan pendek ini mencoba untuk mengurai dasar-dasar argumentatif amaliyah nahdliyah yang biasa kita lakukan khususnya berkaitan dengan tahlil dan ziarah kubur.


Tradisi Tahlilan dan Analisis Argumentasi
Kata “tahlilan” merupakan bentuk masdar dari fi’il madli “hallala” yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum’at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, kapan ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknis dan kaifiyah yang berbeda.


Biasanya sebab dan alasan kenapa tahlilan harus di tolak oleh para penentangnya bermuara pada argumentasi sebagai berikut :
•Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar
•Tahlilan dianggap merepotkan dan memberatkan keluarga simayit, karena di dalam tahlilan pasti selalu ada jamuan
•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap)

•Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.

Argumentasi-argumentasi para penentang di atas adalah argumentasi klasik yang sudah ditanggapi berkali-kali. Akan tetapi, karena sejak awal bersikap tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya yang paling benar), maka penjelasan yang diberikan tidak berdampak dan berpengaruh sama sekali. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan kita jelaskan sekali lagi mengenai kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada kita.

•Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
Memang harus diakui bahwa kata “tahlilan” sebagai sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit. Dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, diantaranya adalah :

Dari al-Qur’an
Surat al-Hasyr : 10
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

Surat Muhammad : 19
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”.

Dari al-Hadits
•وعن أبي سعيد الخدري وأبي هريرة رضي الله عنهما قالا: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم «لا يقعد قوم يذكرون الله عز وجل إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده»
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya”.

•وَمِنْ حَدِيث مُعَاوِيَة رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ لِجَمَاعَةٍ جَلَسُوا يَذْكُرُونَ اللَّه تَعَالَى ” أَتَانِي جِبْرِيل فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّه يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَة ” .
” Dari hadits Mu’awiyah yang dihukumi marfu’, dia berkata “Nabi bersabda untuk para jama’ah yang duduk berdzikir kepada Allah: ” malaikat Jibril datang kepadaku dan menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu kepada malaikat”

Dari Logika
إن الجماعة قوة قال الله تعالى واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا والحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة وقد شبه الله تعالى القلوب القاسية بالحجارة في شدة قساوتها فقال عز من قائل ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة فكما أن الحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة فكذلك القلب القاسي يسهل تليينه إذا تساعدت عليه جماعة الذاكرين. (الموسوعة اليوسفية )
Dari uraian dan argumentasi di atas dapat dipastikan bahwa substansi tahlilan memliki cantolan dalil, baik naqliy (al-qur’an dan al-hadits), maupun aqliy.

•Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar.
Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara seksama. 

Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:

- Harus dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah I’tiqadi. Karena demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di dalam hati warga nahdliyin bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari kedua, ketiga dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada keyakinan bahwa berdo’a kepada si mayit pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya lebih afdlal dibandingkan dengan hari-hari yang lain. 

Tahlilan yang substansinya adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan pengampunan dari Allah boleh dilakukan kapan saja, atau bahkan boleh tidak dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

Tasyabbuh boleh dialamatkan kepada warga nahdliyin ketika meyikini bahwa tahlilan wajib dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud lebih afdlal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya tidak lebih dari sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini sama persis dengan dengan tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam (Nuzulul qur’an, halal bi halal, maulid nabi, isra’-mi’raj dan lain sebagainya) yang boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu. Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan dzikir hanyalah merupakan tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.

- Bahwa sikap warga nahdliyin sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab yang biasa dijadikan sebagai rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro yang berbunyi :
o ( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ .( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ ( الفتاوى الفقهية الكبرى لأبن حجر الهيتمى )
oوالتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييده ببعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفى سابع وفي تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الايتام والا فيحرم (نهاية الزين : باب فى الوصية , 281)

Tradisi yang berlaku dan berkembang di kalangan nahdliyin adalah : apabila ada seorang muslim meninggal dunia, maka tetangga dan kerabat yang ada disekitarnya berbondong-bondong melakukan ta’ziyah, dan dapat dipastikan bahwa pada saat ta’ziyah kebanyakan dari mereka membawa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tetangga yang ada di kanan-kiri bau-membau membantu keluarga korban untuk memasak dan menyijakan jamuan, baik untuk keluarga korban atau untuk para penta’ziyah yang hadir. Apabila hal ini yang terjadi, apakah ini tidak dapat dianggap sebagai terjemahan kontekstual dari hadits nabi yang berbunyi :
قال النبي صلى الله عليه و سلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم

Hadits di atas apabila diamalkan secara tekstual justru akan menjadi mubadzir, karena kalau seandainya semua tetangga yang ta’ziyah membawa makanan yang siap saji, maka dapat dipastikan akan banyak makanan yang basi. Catatan yang lain lagi adalah bahwa jamuan yang disajikan di dalam acara tahlilan bukanlah merupakan tujuan. Tujuan utama para tetangga yang hadir adalah berdo’a untuk si mayit. Karena demikian, jamuan boleh diadakan dan juga boleh ditiadakan. Bahkan, banyak dari kalangan kyai yang menjadi tokoh sentral warga nahdliyin memberikan pemahaman dan anjuran agar jamuan yang ada lebih disederhanakan, dan bahkan kalau mungkin hanya sekedar suguhan teh saja.

•Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap).
Realitas berkumpul pada saat tahlilan sulit untuk dapat dipahami “hanya sekedar berkumpul” dalam rangka tenggelam dan larut dalam kesedihan, dimana hal ini dianggap sebagai illat al-hukmi kenapa berkumpul tersebut dianggap sebagai niyahah. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab I’anat al-Thalibin, yang berbunyi
كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

Berkumpul pada malam setelah kematian bukanlah menjadi tujuan. Yang menjadi tujuan adalah berdzikir dan berdoa untuk si mayit yang sedang mengalami ujian berat sebagaimana yang ditegaskan didalam kitab Nihayat al-zain, hal : 281 yang berbunyi :
وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره الا كالغريق المغوث – بفتح الواو المشددة – اى الطالب لان يغاث ينتظردعوة تلحقه من ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها

Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena gempa, dll), adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang takziah kepadanya, serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.

Dari uraian di atas sulit dapat diterima apabila lafadz ” الاجتماع” yang terdapat didalam hadits nabi diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah berdzikir dan berdoa, bukan semata-mata berkumpul hanya sekedar tenggelam dan berlarut-larut dalam kesedihan.

Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.
Sebagai gambaran awal untuk memetakan tentang konsep tawasul, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan mutawasal bih sebagai wasilah (perantara) dalam rangka berdoa kepada Allah. Berdoa dapat langsung kepada Allah (tanpa tawasul) dan juga dapat menggunakan perantara mutawassal bih. Menggunakan mutawassal bih sebagai perantara bukanlah merupakan sebuah keharusan dalam berdoa.
 

Mutawassal bih secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
o Mutawassal bih yang berupa al-a’mal al-shalihah.
o Mutawassal bih yang berupa al-dzawat al-fadlilah. Mutawassal bih yang berupa al-dzawat al-fadlilah dibagi menjadi dua, yaitu :
o Dengan nabi Muhammad SAW. Kategori ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
- Sebelum lahirnya nabi (قبل وجوده )
- Pada saat nabi hidup ( فى حياته )
- Setelah nabi wafat (بعد وفاته)

o Dengan awliya dan shalihin. Kategori ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
- Pada saat mereka masih hidup (في حياتهم)
- Setelah mereka wafat (بعد وفاتهم).

Tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai diperbolehkannya menggunakan al-a’mal al-shalihah sebagai mutawassal bih. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang bercerita tentang tiga orang pemuda yang terjebak di sebuah goa. Hadits tersebut berbunyi :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ حَدَّثَنِى سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ اللَّهُمَّ كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ » .h قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ » .
Sedangkan tawassul dengan menggunakan dzawat fadlilah (orang-orang yang keistimewaan di hadapan Allah, dari kalangan para nabi, awliya dan shalihin) terjadi perbedaan pendapat yang cukup ekstrim tentang masalah ini. Ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya dan bahkan menganggapnya sebagai sebuah bentuk kesyirikan. Semua pandangan, baik yang pro maupun yang kontra harus diapresiasi selama menggunakan dalil, analisa dan argumentasi yang ilmiyah. Sebaliknya, pandangan yang subyektif, sectarian dan tidak disertai argumentasi yang ilmiyah harus ditolak dan diluruskan.
Dalil-dalil yang menguatkan kebolehan tawasul dengan menggunakan dzawat fadlilah adalah :

• Bi al-nabi :
o Qabla wujudihi. Hadits nabi yang menguatkan hal ini adalah :
(قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يارب ! أسألك بحق محمد لما غفرت لي ، فقال الله: ياآدم ! وكيف عرفت محمداً ولم أخلقه ؟ قال : يارب ! لأنك لما خلقتني بيدك ونفخت فيَّ من روحك رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً لا إله إلا الله محمد رسول الله ، فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك ، فقال الله : صدقت يا آدم ، إنه لأحب الخلق إليَّ ، أدعني بحقه فقد غفرت لك ، ولولا محمد ما خلقتك)) .أخرجه الحاكم في المستدرك وصححه [ج2 ص615] (1) ، ورواه الحافظ السيوطي في الخصائص النبوية وصححه (2) ، ورواه البيهقي في دلائل النبوة وهو لا يروي الموضوعات ، كما صرح بذلك في مقدمة كتابه (3) ، وصححه أيضاً القسطلاني والزرقاني في المواهب اللدنية [ج1 ص62](4) ، والسبكي في شفاء السقام ، قال الحافظ الهيثمي : رواه الطبراني في الأوسط وفيه من لم أعرفهم (مجمع الزوائد ج8 ص253)
o Fi hayatihi. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
ائت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قال اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد – صلى الله عليه وسلم – نبي الرحمة يامحمد إني أتوجه بك إلى ربك فيجلي لي عن بصري ، اللهم شفعه فيَّ وشفعني في نفسي ، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر)) ..قال الحاكم : هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه .وقال الذهبي عن الحديث : أنه صحيح (ج1 ص519) .
o Ba’da wafatihi. Penjelasan yang menguatkan tentang hal ini adalah :
وليس هذا خاصاً بحياته – صلى الله عليه وسلم – بل قد استعمل بعض الصحابة هذه الصيغة من التوسل بعد وفاته – صلى الله عليه وسلم – فقد روى الطبراني هذا الحديث وذكر في أوله قصة وهي أن رجلاً كان يختلف إلى عثمان بن عفان رضي الله عنه في حاجة له ، وكان عثمان رضي الله عنه لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته ، فلقى الرجل عثمان بن حنيف فشكا ذلك إليه ، فقال له عثمان بن حنيف : ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصل فيه ركعتين ثم قل :اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد – صلى الله عليه وسلم – نبي الرحمة ، يامحمد ! إني أتوجه بك إلى ربك فيقضي حاجتي . وتذكر حاجتك ..
• Bi al-anbiya wa al-shalihin
o Fi hayatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
أخرج البخاري في صحيحه عن أنس أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه – كانوا إذا قحطوا – استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : [ اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا ] .
o Ba’da wafatihim. Hadits nabi yang menguatkan tentang hal ini adalah :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : من خرج من بيته إلى الصلاة ، فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشراً ولا بطراً ولا رياء ولا سمعة ، خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك ، فأسألك أن تعيذني من النار ، وأن تغفر لي ذنوبي ، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك .
Uraian di atas menegaskan bahwa tradisi tahlilan yang dilakukan oleh warga nahdliyin memiliki dasar, dalil dan argumentasi yang kuat, sehingga tidak patut untuk disesatkan, disyirikkan atau dibid’ahkan. Menganggap tradisi tahlilan adalah bid’ah, sesat dan syirik berarti yang bersangkutan kurang memahami konsep dan dalil agama.

Ziarah Kubur dan Analisis Argumentasi
Tak seorangpun dapat menyangkal dan menentang bahwa ziarah kubur merupakan hal yang disyariatkan di dalam Islam. Namun demikian, masih saja terdapat kelompok orang yang menentang ziarah kubur dengan berbagai dalih dan alasan yang tentunya kurang ilmiyah dan sangat emosional.
Ada nasihat yang sangat menarik yang ditawarkan oleh Imam al-qurthubi di dalam kitab tafsirnya yang berbunyi :
قال العلماء : ينبغي لمن أراد علاج قلبه وانقياده بسلاسل القهر إلى طاعة ربه ان يكثر من ذكر هاذم اللذات ومفرق الجماعات وموتم البنين والبنات ويواظب على مشاهدة المحتضرين وزيادرة قبور أموات المسلمين فهذه ثلاثة أمور ينبغي لمن قسا قلبه ولزمه ذنبه أن يستعين بها على دواء دائه ويستصرخ بها على فتن الشيطان وأعوانه فإن انتفع بالإكثار من ذكر الموت وانجلت به قساوة قلبه فذاك وإن عظم عليه ران قلبه واستحكمت فيه دواعي الذنب فإن مشاهدة المحتضرين وزيارة قبور أموات المسلمين تبلغ في دفع ذلك ما لا يبلغه الأول لأن ذكر الموت إخبار للقلب بما إليه المصير وقائم له مقام التخويف والتحذير وفي مشاهدة من احتضر وزيادة قبر من مات من المسلمين معاينة ومشاهدة فلذلك كان أبلغ من الأول

Dari pandangan dan uraian Imam al-Qurtubi di atas, kita akan menganggap wajar dan bahkan menganggap benar tradisi ziarah kubur yang dilakukan dan digandrungi oleh kalangan nahdliyin dengan berjamaah ziarah ke makam wali songo dan lain sebagainya. Karena ziarah kubur merupakan salah satu dari tiga hal yang mujarab untuk mengobati dan menundukkan kerasnya hati; tiga hal dimaksud adalah : mengingat mati, menyaksikan orang yang sedang sakaratul maut dan ziarah kubur.

Dari pandangan ini, maka sebenarnya orang yang berziarah ke makam para wali tidak hanya berkesempatan untuk bertawasul kepada para awliya dan shalihin, akan tetapi juga berkesempatan untuk mengobati hatinya sehingga pada akhirnya akan lebih taat kepada Allah.
Disamping pertimbangan di atas hadits nabi yang menjelaskan tentang dianjurkannya ziarah kubur sangat banyak dan dikeluarkan oleh banyak perawi, sehingga tingkat kemakbulannya tidak dapat diragukan lagi. Hadits-hadits dimaksud diantaranya adalah :

• حدثنا زبيد بن الحارث عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إني كنت نهيتكم عن ثلاث عن زيارة القبور فزوروها ولتزدكم زيارتها خيرا …. (رواه النسائى )
• و حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنبأ ابن وهب أخبرني ابن جريج عن أيوب بن هانىء عن مسروق بن الأجدع عن عبد الله بن مسعود : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور و أكل لحوم الأضاحي فوق ثلاث و عن نبيذ الأوعية ألا فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا و تذكر الآخرة …. (رواه الحاكم )
• حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ هَانِئٍ عَنْ مَسْرُوقِ بْنِ الأَجْدَعِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ ». (رواه ابن ماجه )
• حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبًا مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَفَدَاهُ بِالأَبِ وَالأُمِّ وَقَالَ لَهُ : مَا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ :« إِنِّى اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى اسْتِغْفَارِى لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى فَبَكَيْتُ لَهَا رَحْمَةً مِنَ النَّارِ ، وَإِنِّى كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِىِّ أَنْ تُمْسِكُوهَا فَوْقَ ثَلاَثٍ فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشُّرْبِ فِى الأَوْعِيَةِ فَاشْرَبُوا فِى أَىِّ وِعَاءٍ شِئْتُمْ وَلاَ تَشْرَبُوا مُسْكِرًا ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ زُهَيْرٍ دُونَ قِصَّةِ أُمِّهِ. (رواه البيهقي )


Meskipun manfaat ziarah kubur sangat besar dan dalil yang menguatkannya juga sangat banyak, namun masih saja banyak kelompok yang menentang ziarah kubur. Dari literature yang kita baca yang ditulis oleh para penentang ziarah kubur dapat disimpulkan bahwa penentangan mereka bermuara pada beberapa alasan diantaranya adalah :
• Berbagai kemaksiatan banyak terjadi pada saat ziarah kubur.
• Kesyirikan banyak dilakukan oleh para peziarah.
Dua alasan di atas merupakan alasan yang bersifat ‘aridly (insidentil) dan bukan sesuatu yang pasti terjadi. Karena demikian, sebuah pembahasan akan menjadi bias dan tidak ilmiyah karena meninggalkan substansi permasalahan yang sebenarnya. Marilah kita mencoba untuk mengkritisi alasan yang mereka kemukakan.
http://www.aswaja-nu.com/2010/02/tahlilan-dan-ziarah-kubur-larangan-atau_20.html

E.  Sunnahnya membaca Al-quran diatas kubur dan mengirimkan pahalanya untuk mayyit.

Telah masyhur bahwa imam-imam madzab sunni menyatakan sampainya hadiah pahala kepada mayyit muslim, bahkan ibnu qayyim dan ibnu taymiyah yang katanya imamnya para salafi menyatakan demikian. Ini buktinya :
Ibnul Qayyim (Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca Al-Qur’an diatas kuburanScan Kitab bahasa Arab :Cover :
Baca Yang berwarna Merah  (page 5 digital book):
kitab ar-rooh (ar-ruh digital) Bisa di download di :
http://www.scribd.com/doc/21496576/alrooh
Scan kitab ar-ruh tarjamah (bahasa melayu) :
cover :
Kitab ar-ruh :
Teks Arab Kitab Arruh Ibnu qayyim pada halaman 5 (kitab digital) :
وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك   وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث   قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ
وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها   وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Membaca Al-qur’an Diatas Kubur Dan Mengadiahkan Pahalanya bagi Mayyit (Muslim)

Tarjamahannnya :
Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata abdul haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah al-baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh mu’alla bin hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini kerana masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.
Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ : Telah berkata kepadaku Al-Abbas bin Muhammad Ad-dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah !, Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat albaqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar ra. Menyuruh membuat demikian. Berkata Al-Abbas Ad-Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.
Berkata Khallal, telah memberitahuku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya :Sekalai peristiwa saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !. Apa bila kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari seterusnya : Aku menghafal sesuatu daripadanya ! Sangkal Imam Ahmad bin Hanbal : Yakah, apa dia ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, daribada Abdul Rahman Bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.
Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik tegahanku (Bhs Ind : penolakanku ) itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.
Berkata Al- Hasan  bin As-sabbah Az-za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !
Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshor, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada Al-Qur’an.
Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An-Naqid, katanya aku telah mendengar Al-Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki danmemberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.
Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar atrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !
Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.
(Tarjamah Kitab Ar-ruh  Hafidz Ibnuqayyim jauziyah, ‘Roh’ , Ustaz Syed Ahmad Semait, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1990, halaman 17 – 19)
untuk keterangan dan bukti scan kitab yang lain silahkan lihat di :

http://salafytobat.wordpress.com/2009/10/23/ibnul-qayyim-scan-kitab-ar-ruh-sampainya-hadiah-bacaan-alqur%E2%80%99an-dan-bolehnya-membaca-al-qur%E2%80%99an-diatas-kuburan/  

Dalil Ziarah Kubur, Tahlil, Talqin, Hadiah amalan, Kuburan

Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur’an, Talqin
dan Tahlil  untuk orang yang telah wafat

Sebelum saya mencantumkan dalil-dalil ziarah kubur, pembacaan ayat Al-Qur’an disana dan lain sebagainya, ingin mengupas sedikit mengenai kewajiban umat muslim bagi saudaranya kaum muslim yang sudah wafat. Sudah tentu hampir setiap saudara kita muslim mengetahui bahwa mayat tersebut harus dimandikan, dishalatkan dan diantarkan sampai keliang kubur. Ini adalah merupakan fardhu kifayah (kewajiban bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban seluruh muslimin).

Dengan adanya keterangan-keterangan berikut ini, Insya Allah cukup jelas bagi kita bahwa ziarah kubur, membaca ayat suci al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan pada si mayit dan sebagainya, itu semua menurut tuntunan syariat Islam yang benar serta diamalkan oleh para salaf dan ulama-ulama pakar.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut :
اَنَّ النَّبِيَّ .صَ. كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِِ الْمُتَوَفَّّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْألُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِـهِ فَضْلا ؟
فَاِنْ حُدَِّث اَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى, وَاِلاَّ قَاَل لِلْمُسْـلِمِيْنَ (صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ)(رواه البخاري و مسلم)
“Bahwa seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan berhutang disampaikan beritanya pada Nabi saw. Maka Nabi saw. menanyakan apakah ia ada meninggal kan kelebihan buat membayar hutangnya. Jika dikatakan bahwa ia ada meninggal kan harta untuk membayarnya, maka beliau menyalatkannya. Jika tidak beliau akan memerintahkan kaum muslimin; ‘Shalatkanlah teman sejawatmu’ “.
Begitu juga masih banyak hadits yang menyebutkan pahala-pahala orang yang menyalatkan mayat dan mengantarkannya sampai keliang kubur.

Shalat jenazah juga mempunyai rukun-rukun yang dapat mewujudkan hakikatnya, hingga bila salah satu rukun tersebut tak terpenuhi, maka ia dianggap kurang sempurna oleh syara’. Jumlah rukun-rukun tersebut menurut ahli fiqih ada delapan. Sudah tentu yang pertama niat, takbir dan terakhir salam, sebagaimana syarat dari semua macam shalat. Dan diantara rukun-rukun tersebut yaitu do’a untuk si mayat tersebut.

Sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Baihaqi serta disahkan oleh Ibnu Hibban sebagai berikut :
اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاء(رواه أيو داود والبيهقي وابن الحبّان وصححه)
Jika kamu menyalatkan jenazah, maka berdo’alah untuknya dengan tulus ikhlas”.

Disamping itu banyak juga riwayat hadits Rasulallah saw. yang mengajarkan kita kalimat-kalimat do’a yang diucapkan dalam shalat jenazah tersebut. Rasulallah saw. menganjurkan pada kaum muslimin yang masih hidup untuk menyalatkan yang mana do’a itu sebagai salah satu rukun daripadanya pada saudaranya muslim-muslimah yang wafat. Ini membuktikan bahwa semua amalan-amalan tersebut diantaranya do’a pengampunan dan lain sebagainya sangat bermanfaat baik bagi si mayat khususnya maupun kaum muslimin yang menyalatinya. Juga menunjukkan bahwa kita harus do’a mendo’akan sesama kaum muslimin baik waktu masih hidup atau sudah wafat. Jadi bukan sesat mensesatkan, kafir mengafirkan antara sesama muslimnya. Do’a itu tidak hanya dianjurkan pada waktu shalat jenazah saja, tapi untuk setiap waktu baik setelah shalat wajib atau dalam hidup sehari-hari, sebagaimana banyak hadits yang mengungkapkan hal tersebut dan ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan do’a-do’a yang diucapkan oleh manusia untuk pribadi mereka sendiri dan untuk muslimin lainnya.

Dalil-dalil Ziarah Kubur
Setelah kita membaca keterangan mengenai sholat Jenazah yang semuanya berkaitan dengan orang yang telah wafat, mari kita sekarang meneliti dalil-dalil ziarah kubur dan pembacaan Al-Qur’an dikuburan. Ziarah kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw., sebagaimana hadits dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:
كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ, فَزُورُوهَا, وَفِي
رِوَايَةٍ فَإنَّهَا تُذَكِّرُكُم.. بالآخرة
“Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian!. Dalam riwayat lain; ‘(Maka siapa yang ingin berziarah kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu mengingat- kan kalian kepada akhirat’. (HR.Muslim)

Juga ada hadits yang serupa diatas tapi berbeda sedikit versinya dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda :
Dahulu saya melarang kalian menziarahi kubur, sekarang telah diizinkan dengan Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu berziarah lah ke perkuburan sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat”. (HR. Muslim (lht.shohih Muslim jilid 2 halaman 366 Kitab al-Jana’iz), Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Ahmad).

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar [Hajaran]”. (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 603 jilid 1 hal. 217)

Dari hadits-hadits diatas jelaslah bahwa Nabi saw. pernah melarang ziarah kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (lega- litas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas).

Larangan Rasulallah saw. pada permulaan itu, ialah karena masih dekatnya masa mereka dengan zaman jahiliyah, dan dalam suasana dimana mereka masih belum dapat menjauhi sepenuhnya ucapan-ucapan kotor dan keji. Tatkala mereka telah menganut Islam dan merasa tenteram dengannya serta mengetahui aturan-aturannya, di-izinkanlah mereka oleh syari’at buat menziarahinya. Dan anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku baik untuk lelaki maupun wanita. Karena dalam hadits ini tidak disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja.

Dalam kitab Makrifatul as-Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh). Namun sewaktu menziarahi kubur hendak- nya tidak mengatakan hal-hal yang menyebabkan murka Allah”.
Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunnah yang sangat ditekankan”. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur) dan banyak lagi ulama Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunnah”.

Disamping itu semua, masih ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi saya hanya ingin menambahkan dua hadits lagi dengan demikian lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberi- an salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.

Masih ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi saya hanya ingin menambahkan dua hadits lagi dengan demikian lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberian salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.
Hadits dari Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulallah saw. melewati perkuburan di kota Madinah maka beliau menghadapkan wajahnya pada mereka seraya mengucapkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah atas kalian wahai penghuni perkuburan ini, semoga Allah berkenan memberi ampun bagi kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian’. (HR.Turmudzi)

Hadits dari Aisyah ra.berkata:
كَانَ النَّبِي .صَ. كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتَهَا يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَ ار قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ, وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجِّلُوْنَ,
وَاِنَّا اِنْشَا ءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَو اللهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْفَرْقَدْ (رواه المسلم)
“Adalah Nabi saw. pada tiap malam gilirannya keluar pada tengah malam kekuburan Baqi’ lalu bersabda: ‘Selamat sejahtera padamu tempat kaum mukminin, dan nanti pada waktu yang telah ditentukan kamu akan menemui apa yang dijanjikan. Dan insya Allah kami akan menyusulmu dibelakang. Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk Baqi’ yang berbahagia ini’”. (HR. Muslim).



Adab berziarah dan berdo’a di depan makam Rasulallah saw.
Sebagaimana yang telah kami singgung diatas bahwa adab berziarah kekuburan orang muslimin yang diajarkan oleh Rasulallah sw. yaitu meng- hadapkan wajahnya kekuburan itu kemudian memberi salam dan berdo’a.. Tetapi golongan Wahabi yang menjaga disekitar makam Rasulallah saw.sering membentak orang-orang yang sedang berziarah agar waktu berdo’a supaya menghadap ke kiblat.

Para ulama mengatakan, bahwa diperbolehkan bagi orang yang berziarah kemakam Rasulallah saw., berdiri mengucapkan do’a mohon kepada Allah swt. agar dikarunia kebajikan dan kebaikan apa saja yang diinginkan dan tidak harus menghadap kearah kiblat (Ka’bah). Berdiri seperti ini bukan bid’ah, bukan perbuatan sesat dan bukan pula perbuatan syirik. Para ulama telah menfatwakan masalah itu bahkan ada diantara mereka yang memandangnya mustahab/baik.

Masalah tersebut pada mulanya berasal dari peristiwa yang dialami oleh Imam Malik bin Anas ra., yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam Malik menjawab: “Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras didalam masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini dengan firman-Nya:‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam berbicara) melebihi suara Nabi….dan seterusnya’ (QS.Al-Hujurat:2). Allah swt. juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya : ‘Sesungguhnya mereka yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…dan seterusnya’ (QS.Al-Hujurat:3). Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya : ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…dan seterusnya’.(QS.Al-Hujurat :4).
Rasulallah saw. adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw., padahal beliau saw. adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as., kepada Allah swt. pada hari kiamat kelak ?. Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw. dan mohonlah syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah swt. Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuata dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu (Muhammad saw.)…dan seterusnya’ (QS. An-Nisa:64) “ . (Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah.) Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini.

Ibnu Taimiyyah sendiri menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam Malik bin Anas. “Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw., ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw., tidak kearahkiblat. Ia mendekat, mengucapkan salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh pusara dengan tangannya” (dari Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397).
(Mengenai riwayat menyentuh pusara silahkan baca bab Tawassul/Tabarruk di buku ini—pen).

Imam Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah itu. Demikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halalam 272.
Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabkiy mengata- kan sebagai berikut: “ Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw. menghadapkan wajahkepadanya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada beliau saw., beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw.) dan para sahabatnya, lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III halaman 398).
Lihat pula Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci, Makkah.

Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara berziarah yang tersebut diatas adalah haram, bid’ah, sesat dan lain sebagainya, kecuali golongan Wahabi dan pengikutnya.

Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur dan jawabannya.
Golongan yang melarang ziarah kubur menukil dalil-dalil sebagai berikut :
Fatwa Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadits yang lemah (Dzaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li)”.
Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadits lemah, bahkan hadits bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik oleh semua ulama Wahabi, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahabi lainnya.
Disamping dalil diatas mereka juga berdalih dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin. Dalil mereka yang disandarkan pada ayat 84 dari surat at-Taubah, dimana Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya”.
Kaum pengikut Wahabi menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal,berikut arti sebenarnya ayat 84 dari surat at-Taubah "Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik".  mayoritas ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum Kafir munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt..
Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 halaman 416 dan al-Alusidalam kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 halaman 155 dalam menafsirkan ayat tadi menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir. 
Bagaimana mungkin kelompok salafi memutlakkannya yang berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, termasuk mencakup kuburan wali Allah? Apakah kaum salafi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah salafi yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Pikiran semacam itu adalah pikiran yang dangkal sekali.

Kita ingin bertanya lagi pada golongan pengingkar itu; “Bagaimana dengan argumentasi hadits-hadits diatas dan hadits-hadits lainnya yang tercantum dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jama’ah? Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa Nabi saw. bukan hanya tidak melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna mengingat kematian dan akherat! Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur manusia akan mengingat akhirat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia beriman untuk semakin ingat dengan Tuhannya. Malah beliau saw. mengajarkan kepada kita bagaimana adab atau cara berziarah!! Begitu juga beberapa fatwa para Imam madzhab fikih Ahlusunah wal Jama’ah yang membuktikan bahwa ziarah kubur diperbolehkan.

Apakah Ibnu Taimiyyah dan golongan Wahabi serta pengikutnya akan meragukan keshahihan Sahih Muslim dan para perawi lainnya yang tersebut diatas, sehingga mereka mengatakan bahwa legalitas hadits ziarah kubur merupakan kebohongan? Jika menziarahi kuburan muslim biasa saja diper- bolehkan secara syariat lantas apa alasan mereka mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw. yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan?
Beranikah golongan pengingkar itu menvonis Umar bin Khatab ra. yang shalat dan menangis di depan kuburan orang tua itu sebagai seorang yang musyrik? Beranikah mereka mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah ra. dan Umar bin Khattab ra. telah melakukan hal yang tanpa dalil (bid’ah)? Beranikah golongan pengingkar ini mengatakan bahwa shalat, berdo’a dan tangisan Umar bin Khatab di sisi kuburan orang tua tadi merupakan perbuatan Syirik? Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah?
Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Sholeh yang konon ajaran- nya akan dihidupkan kembali oleh pengikut Salafi dan Wahabi, lantas mengapa mereka ini berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua, dan tidak sesuai dengan ajaran Rasulallah saw.?

Jika benar bahwa kelompok Wahabi memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf Sholeh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksanakan shalat di sisi kuburan dan atau menangis di samping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab (khalifah kedua)!

Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang ziarah kemakam Nabi saw. dengan alasan hadits berikut ini: “Jangan susah-payah bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku ini (di Madinah) dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”.
Sebenarnya hadits diatas ini berkaitan dengan masalah sembahyang jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin bersembahyang di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu’. Karena sembahyang disemua masjid itu sama pahalanya kecualitiga masjid tersebut. Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah saw. pernah bersabda:
“Orang tidak perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram(di Makkah), Al-Masjidul- Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di Madinah)Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.

Hadits yang semakna diatas tapi sedikit perbedaan kalimatnya yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu :
“Orang tidak perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku ini (di Madinah) . (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak hadits yang semakna tapi berbeda versinya.

Dengan demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan dengan sholat bukan sebagai larangan untuk berziarah kubur kepada Rasulallah saw. dan kaum muslimin lainnya!
Ada lagi pikiran yang aneh dari golongan pengingkar yang mengatakan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa awal perkembangan Islam karena masalah ini memang akan bisa menjatuhkan orang dalam bahaya kesyirikan dan kondisi keimanan seseorang.Jadi sebagai tindakan hati-hati sangatlah wajar jika kita kaum muslimin untuk tidak melakukan ziarah kubur.

Lebih lanjut kata mereka; Sering terjadi kekeliruan waktu Ziarah Kubur umpamanya: Mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah (bulan Sya’ban, idul Fithri dll), berdo’a kepada penghuni kubur, menyembelih binatang di sisi kuburan yang ditujukan kepada si mayit, sujud, membungkuk ke arah kuburan, kemudian mencium dan mengusapnya, shalat di atas kuburan. Ini semua tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah dan Nabi saw. bersabda, (Janganlah kalian sholat di atas kubur), menaburkan bunga-bunga dan pelepah pepohonan di atas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Nabi saw. ketika meletakkan pelepah kurma di atas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan berkaitan dengan perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa, mempunyai persangkaan bahwa berdo’a di kubur itu lebih terkabulkan sehingga harus memilih tempat tersebut, memakai sandal ketika memasuki pekuburan, duduk di atas kubur dan lain sebagainya.

Jawabannya:
Pemikiran-pemikiran seperti diatas dari golongan pengingkar sebagai alasan untuk mengharamkan ziarah kubur adalah tidak berdasarkan dalil dari Sunnah Rasulallah saw., tidak lain berdasarkan pikiran dan logika mereka sendiri. Begitu juga bila pemikiran diatas dijadikan alasan untuk melarang ziarah kubur maka hal itu akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih Rasulallah saw. yang membolehkan dan menganjurkan ziarah kubur, memberi salam dan berdo’a untuk dimuka makam ahli kubur, dan lain sebagainya (baca keterangan diatas dan selanjutnya pada bab ziarah kubur ini dan lihat juga bab tawassul/tabarruk dll. dibuku ini).

Hadits Nabi saw. tadi ‘Dahulu saya melarang ziarah kubur, namun kini berziarahlah….’. jelas sekali bagi orang yang mau berpikir hukum yang lama yaitu ‘larangan ziarah kubur’ akan terhapus/mansukh dengan hukum yang baru yaitu ‘diperbolehkannya’ziarah tersebut. Mengapa golongan pengingkar ini selalu takut-takut sendiri orang jatuh kedalam kesyirikan bila berziarah kekuburan ?Sedangkan manusia yang paling taqwa dan mulia disisi Allah swt. Muhammad Rasulallah saw. telah menganjurkannya!!
Apakah beliau saw. akan menganjurkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau kemungkaran atau mengakibatkan kesyirikan ? Apakah para sahabat Nabi saw. yang mulia dan tokoh dari para Salaf Sholeh serta para ulama pakar yang berziarah kemakam Rasulallah saw., kemakam para sholihin serta bertawassul dan bertabarruk (baca bab tawassul/tabarruk dibuku ini) kepada mereka tidak mengerti hukum syari’at Islam ?, dan hanya ulama dari pengikut madzhab Wahabi saja yang memahaminya ?

Waktu-waktu tertentu untuk berziarah: Rasulallah saw. tidak pernah mewajib kan maupun melarang waktu-waktu tertentu untuk berziarah kubur, orang boleh berziarah pada waktu apapun baik itu malam, pagi, siang hari dan pada bulan Sya’ban, Idul Fihtri dan lain sebagainya. Dimana dalilnya bahwa Rasulallah saw. melarang ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu? Kenapa justru golongan pengingkar ini yang melarangnya?

Dalam syari’at Islam telah menyatakan adanya bulan, hari yang mulia umpama bulan-bulan Hurum/suci (Muharram, Dzul-Kiddah, Dzul-Hijjah, Rajab) begitu juga bulan Sya’ban, Ramadhan, hari Kamis, Jum’at dan lain sebagainya (mengenai hal ini silahkan baca keterangan pada bab nishfu Sya’ban, majlis dzikir dan lainnya pada halaman lain dibuku ini atau dikitab-kitab ulama ahli fiqih). Pada bulan dan hari itu Allah swt. lebih meluaskan Rahmat dan Ampunan-Nya kepada makhluk yang berdo’a, beramal sholeh dan mengharapkan Rahmat dan Ampunan Ilahi.

Disamping bulan-bulan atau hari-hari biasa kaum muslimin berziarah ke pekuburan, mereka juga lebih memanfaatkannya pada bulan dan hari yang mulia untuk beramal sholeh diantaranya berziarah kekuburan kerabatnya atau para sholihin. Jadi tidak ada diantara kaum muslimin yang berfirasat hanya (khusus) pada bulan atau hari tertentu orang dibolehkan berziarah, ini tidak lain hanya pikiran dan karangan golongan pengingkar sendiri!!

Apakah mereka ini tahu hukumnya dalam Islam orang yang mengharamkan sesuatu amalan yang halal dan menghalalkan suatu amalan yang haram? Kalau sudah mengetahui hukumnya mengapa kok masih sering berani menghukumi setiap amalan yang tidak sepaham dengannya sebagai amalan haram, syirik dan lain sebagainya? Ingat firman Allah swt.dalam surat An-Nahl:116; “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan in haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah…sampai akhir ayat”

Golongan pengingkar ini sering mengharamkan suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan bahwa Nabi saw. atau para sahabat tidak pernah melakukan mengapa kita melakukan hal itu. Kaedah seperti inilah yang sering digembar-gemborkan oleh mereka. Padahal kalau kita teliti firman Allah swt. yang telah kami kemukakan sebelumnya 

dalam surat Al-Hasyr :7 :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakan nya). (QS. Al-Hasyr :7). Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.

Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘

Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidakmengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’

Begitu juga syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupanruh-ruh orang mu’min yang telah wafat dialam barzakh (bisa mengerjakan sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya, berdo’a kepada Allah swt. untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya baca keterangan selanjutnya dibab ini dan pada bab tawassul/tabarruk dibuku ini). Kalau ruhnya orang mu’min biasa saja bisa berbuat demikian apalagi dengan Ruhnya Rasulallah saw. para Nabi, para wali, dan kaum sholihin!! Dengan adanya hadits-hadits itu, disamping para penziarah berdo’a kepada Allah swt. untuk ahli kubur (bukan berdo’a kepada ahli kubur tetapi untuk ahli kubur) juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur agar penghuni kubur itu ikut berdo’a kepada Allah swt.untuk penziarah itu.

Menaburkan bunga, menanam pelepah pohon: Dengan adanya hadits-hadits tentang kehidupanruh-ruh itu itu, para penziarah ada yang menaburkan bunga diatas kuburan tidak lain hanya sebagai penghormatan atau kecintaan kepada ahli kubur itu, sebagaimana orang yang masih hidup yang sering antara satu dan lain memberi bunga untuk penghormatan. Itu semua tidak ada salahnya, selama penghormatan kepada manusia baik yang hidup maupun yang telah mati tidak dibarengi dengan keyakinan bahwa obyek yang dihormati itu memiliki sifat ketuhanan.

Sedangkan menaruh atau menanam pelepah diatas kuburan juga tidak ada salahnya, Nabi saw. sendiri telah mencontohkannya didalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lain-lain dari Ibnu ‘Abbas ra. Dalam hadits itu Nabi saw. …minta pelepah pucuk kurma lalu dibelahnya satu ditanamkannya kepada satu kubur dan satu lagi pada kubur yang lain dengan berdo’a semoga mereka berdua diberi keringanan (dari siksa kubur) selama pelepah ini belum kering.

Dengan adanya hadits itu ummat beliau saw. juga mencontoh perbuatan beliau saw. menanamkan pelepah pohonan diatas kubur sambil berdo’a kepada ahli kubur. Dalam hadits itu Nabi saw. tidak melarang atau menyuruh umatnya untuk berbuat seperti beliau saw., tapi bila ada kaum muslimin yang meniru perbuatan beliau saw. tidak lain karena beliau saw. sebagai contoh dari umatnya. Malah ada hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Buraidah Aslami berpesan agar pada kuburnya ditanamkan dua pucuk kurma. 

Ada juga riwayat hadits bahwa binatang-binatang dan pepohonan itu selalu bertasbih kepada Allah swt.
Pertanyaan sekarang terhadap golongan pengingkar, mengapa mereka mengharamkan perbuatan itu sedangkan Nabi saw. tidak melarang bila ada ummatnya yang meniru perbuatannya tersebut? Mana dalilnya dari Nabi saw. bahwa orang tidak bolehmenaburkan bunga atau menanam pelepah diatas kuburan? Apakah Buraidah Aslamiwaktu berwasiat itu tidak mengerti hukum syari’at Islam?

 Berdiri secara khidmat, atau berbuat tawadhu’ (rendah diri) dan sopan dihadapan kuburan itu tidak ada salahnya selama perbuatan itu sebagai penghormatan/ta’dim saja terhadap ahli kubur dan bukan sebagai ibadah. Begitu juga mencium atau mengusap-usap kuburan tidak ada salahnya selama niatnya sebagai tabarruk / pengambilan barokah (baca bab tawassul/ tabarruk). Apakah golongan pengingkar ini masih ingat ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sujudnya para malaikat kepada Adam as. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as. kepada Nabi Yusuf as. Semua ahli tafsir mengatakan bahwa sujud diayat itu sebagai sujud penghormatan bukan sebagai ibadah kepada obyek yang dihormati.

Kalau sujud disitu tidak dicela oleh Allah swt. karena tidak lain hanya merupakan penghormatan mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan sampai mensyirikkan orang yang berdiri khidmat dan lain sebagainya dihadapan kuburan Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin lainnya? Semua amalan itu tergantung dari niatnya….(hadits shohih), kalau niat orang itu untuk menghormat kepada ahli kubur, maka tidak ada masalah nya, tetapi kalau niatnya beribadah kepada kuburan, maka inilah yang tidak dibolehkan oleh syari’at. Sama halnya orang yang rukuk dan sujud dimuka bangunan dari batu yaitu Ka’bah, bila dia rukuk atau sujud menganggap sebagai ibadah kepada Ka’bah maka akan hancurlah keimanannya, karena ibadah hanya ditujukan kepada Allah swt.!!.

Bila ada penziarah kubur berkeyakinan bahwa ahli kubur (obyek yang diziarahi) itu bisa merdeka (tanpa izin Allah swt.) memberi syafa’at pada penziarah kubur, keyakinan inilah yang dilarang oleh agama. Jadi sekali lagi semua itu terletak pada keyakinan seseorang. Kita tidak boleh mengharam- kan ziarah kubur karena perbuatan perorangan/individu yang berkeyakinan salah itu. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan hukum syari’at Islam !

Maka dari itu janganlah seenaknya sendiri tanpa dalil agama yang jelas anda mensyirikkan seseorang karena melihat secara lahir perbuatan orang tersebut, karena anda tidak mengetahui keyakinan di hati setiap orang !! Ingatlah hadits riwayat Muslim (Shahih Muslim Bab 41 no. 158 dan hadits yang sama no.159)bahwa Usamah bin Zaid ra membunuh seorang pimpinan Laskar Kafir yang telah terjatuh pedangnya, lalu dengan wajah tidak serius ia (laskar kafir) mengucap syahadat, lalu Usamah membunuhnya. Betapa murkanya Rasulallah saw. saat mendengar kabar itu.., seraya bersabda : Apakah engkau membunuhnya padahal ia mengatakan Laa ilaaha Illallah !!? Lalu Usamah ra. berkata: Kafir itu hanya bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulullah.., maka beliau saw. bangkit dari duduknya dengan wajah merah padam dan membentak: Apakah engkau telah belah sanubarinya hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan ini diulangi tiga kali)…..sampai akhir hadits ? Renungkanlah !

 Allah swt. akan mengabulkan do’a para hamba-Nya dimanapun dia berada, tetapi bila kita berdo’a disekitar Ka’bah, Maqam Ibrahim dan tempat-tempat lain yang mulia disisi Allah swt. termasuk juga disekitar kuburan Rasulallah saw., kuburan para Nabi lainnya, para sahabat Rasulallah saw. dan para kaum sholihin yang pribadi mereka dimuliakan oleh Allah swt. harapan cepat terkabulnya do’a lebih besar daripada kalau kita berdo’a kepada Allah swt. dirumah atau dipasar. Banyak riwayat yang menceritera- kan tempat-tempat mustajab do’a, jadi tidak semua tempat sama !.

Memakai sandal di kuburan para ulama berbeda pendapat hukumnya. Kebanyakan ulamaberpendapat tak ada salahnya berjalan di pekuburan dengan memakai terompah dan ada lagi ulama yang memakruhkan memakai terompah yang mewah bila tidak ada udzurnya (banyak duri dll).
Jureir bin Ibnu Hazim berkata : ‘Saya melihat Hasan dan Ibnu Sirin berjalan diantara kubur-kubur dengan memakai terompah’.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw. bersabda : “Seorang hamba bila ia telah diletakkan dalam kuburnya dan teman-temannya telah berpaling, maka sesungguhnya ia (si mayyit) mendengar bunyi terompah-terompah mereka”. Hadits ini sebagai alasan dibolehkannya berjalan di kuburan memakai terompah. Karena tidaklah akan didengar bunyi terompah itu jika tidak dipakai.!!

Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal telah menganggap makruh memakai terompah Sibtitterompah mewah di pekuburan berdasarkan riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Basyir bekas budak Nabi saw. yang berkata: ‘Rasulallah saw. melihat seorang lelaki yang berjalan di pekuburan dengan berterompah, maka sabdanya; ‘Hai orang yang berterompah Sibtit, lemparkanlah terompahmu itu’!. Lelaki itu pun menoleh, dan demi dikenal nya Rasulallah saw. maka ditanggalkannya terompahnya lalu dilemparkan-nya’.
Imam Ahmad mengatakan makruh ialah jika tidak ada udzur. Maka jika terdapat sesuatu keudzuran yang mengharuskan seseorang buat memakai terompah misalnya karena banyak duri atau najis, lenyaplahhukum makruh itu !!
Berkata Khathabi: ‘Tampaknya hal itu dimakruhkan ialah karena menunjuk- kan kemewahan, sebab terompah Sibtit itu biasanya dipakai oleh golongan mampu yang bermewah-mewah’. Lalu katanya lagi : “Maka Keinginan Nabi saw. hendaklah memasuki pekuburan itu dengan sikap tawadhu’ (rendah diri) dan berpakaian seperti orang khusyu’ “.

Dengan adanya dalil-dalil diatas para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar komentar golongan pengingkar yang mengharamkan orang yang pakai sandal di pekuburan?.Hukum makruhnya saja masih belum mutlak!!

Duduk diatas kuburdianggap kurang penghargaan terhadap penghuni kubur, maka dari itu para ulama berbeda pendapat juga waktu menerangkan hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Lebih baik jika seseorang diantaramu duduk diatas bara panas hingga membakar pakaian- nya dan tembus kekulitnya daripada ia duduk diatas kubur’.

Dengan adanya hadits itu, jumhur (pada umumnya) ulama ada yang memakruhkan hal itu, ada lagi yang membolehkandan ada lagi yang mengharamkan. Untuk mempersingkat halaman marilah kita ambil dalil dari jumhur ulama yang memakruhkan.
Imam Nawawi berkata : ‘Melihat gelagat ucapan Syafi’i dalam kitab Al-Umm, begitu pun golongan terbesar dari kawan-kawan sealiran, dimakruhkan duduk dikubur, maksudnya larangan itu adalah buat makruh, sebagaimana biasa terdapat dalam pengertian fukaha, bahkan banyak diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas’. Ulasnya pula: ‘Demikian pula halnya pendapat jumhur ulama, termasuk didalamnya Nakh’i, Laits, Ahmad dan Abu Daud’. Imam Nawawi melanjutkan; ‘Juga sama makruh hukumnya, bertelekan diatasnya dan bersandar padanya’.

Sebaliknya Ibnu Umar dari golongan sahabat, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik menyatakan tidak ada salahnya (boleh)duduk di kubur. Sedangkan pendapat yang mengharamkan ialah Ibnu Hazmin. Wallahu a’lam
( Keterangan diatas mengenai memakai sandal dan duduk diatas kubur dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 cet.pertama th 1978 hal.175 dan 181)

 Sedangkan hadits riwayat Imam Bukhori mengenai membina masjid diatas (bukan disisi) kubur ialah: “Mereka (Yahudi dan Nasrani) itu, jika ada seorang yang sholeh diantara mereka meninggal, mereka binalah diatas makamnya sebuah masjid dan mereka buat didalamnya patung-patung….sampai akhir hadits” dan hadits lainnya tentang sholat diatas kuburan, itu tidak jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) menjurus kepada hukum haramataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadits-hadits semacam itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruhsaja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram. Begitu juga hadits diatas itu jelas makruh membina masjid atau sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan.

Larangan Nabi saw. dalam hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Lainnya halnya dengan orang muslimin yang mengambil tempat sholat disisi kuburan orang sholeh hanya sebagai tabarrukan bukan sebagai arah kiblat.
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm bab ‘Pekerjaan setelah penguburan’ mengatakan: “Saya memandang makruh membangun masjid di atas kuburan, atau diratakan kemudian sholat diatasnya. Namun apabila ia telah sholat, maka ia tidak mengapa, tapi ia telah berbuat yang tidak baik”.
Kalau golongan pengingkar tetap bersikeras mengharamkansholat meng- hadap kuburan dan lain sebagainya seperti yang telah dikemukakan, kami ingin bertanya kepada mereka: Dimana letak kuburan Rasulallah saw. khalifah Abubakar dan khalifah Umar bin Khattab [ra], apakah tidak terletak didalam masjid Nabawi? Mengapa ulama-ulama mereka yang di Madinah membiarkan orang muslimin sholat dihadapan, dibelakang, disamping kuburan tersebut? Malah kebanyakan kaum muslimin ingin sholat dekat atau disekitar kuburan Rasulallah saw. dan dua sahabatnya itu, sebagai tabarrukan.
Keterangan lebih mendetail masalah ini silahkan baca halaman selanjutnya mengenai membina masjid disisi kuburan dan memberi penerangan dikuburan. Wallahu a’lam

Pembacaan Al-Qur’an di kuburan untuk orang yang telah wafat
Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458 :
عَنِ إبْنِ عُمَر(ر) أوْصَى أنْ يُقْرَأ عَلَى قَبْرِهِ وَقْتَ الدَفنِ بِفَوَاتِحِ سُوْرَةِ البَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا
“Dari Ibnu Umar ra : “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya..”.
“Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya..”.

Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasandan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkar- annya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).
Ada hadits yang serupa dalam Sunan Baihaqidengan isnad Hasan:
“Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”.

Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda :”Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah mem- bawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda :
Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat”.

Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahalapembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah [ra] mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu gaib (yaitu mengenai imbalan pahala) tidak dari Rasulallah saw. atau meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau larangan dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah satu tokoh dari golongan Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini menolaknya ?
Imam Nawawi dalam Syahrul Muhadzdzibmengatakan: ‘Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk  penghuni kubur’.

Imam Nawawi menyimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah wafat dilakukan juga oleh kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi mengutip penegasan Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyyah) sebagai berikut :
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari  ijma’ para ulama dan dilihat dari berbagai sudut pandang keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan”.

Juga keterangan singkat yang diungkapkan seorang ulama terkemuka di Indonesia Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah halaman 27 mengenai ‘berdo’a dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’ adalah sebagai berikut :
“Berdo’a untuk kaum Muslimin yang hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits, ditemukan yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat. Diantara- nya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin Yasar, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Bacalah surat Yaa Sin untuk orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim).

Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih ada yang memper selisihkannya. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan) !

Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’anpada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid–pen.) dan dimanapun berada (kecuali di wc–pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak! (Jadi bukan masalah pembacaannya! –pen.)

Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori :
a).  Disepakat tidak bermanfaat: memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat.
b).  Disepakati bermanfaat: seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat.
c)  Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Qur’an untuk orang yang telah meninggal.

Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati. Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.

Perbedaan pendapat terjadi bukan pada hukumboleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknya pahala bacaan itu kepada si mayit!“ Demikianlah keterang- an yang diungkapkan oleh Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.

Untuk mempersingkat halaman, penulis ingin mengutip sebagian saja nama ulama-ulama pakar dan kitab mereka yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan yang ditujukan untuk si mayit diantaranya sebagai berikut:
“Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa  “Al-Khallal  dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi  (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi ( Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

Dan masih banyak lagi ulama-ulama berbeda madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas bagi kita setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan berikut ini banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan ulama-ulama pakar tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan orang yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi pembacanya kapan dan dimanapun, yang mana pahala itu selalu diharapkan oleh setiap muslim.

Kita tidak boleh langsung menuduh semua amalan yang menurut pendapat sebagian ulama haditsnya terputus, lemah, palsu, atau tidak ada haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya. Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut  menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak ?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh dijalankan ! Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan sesat amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka, menghukum suatu amalan sebagai haram, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari Rasulallah saw.

Pahalanya membaca Al-Qur’an
Setelah keterangan singkat diatas mengenai membaca Al-Qur’an untuk si mayyit dikuburan, marilah kita meneliti dalil-dalil dan wejangan ulama pakar mengenai pahala orang yang membaca ayat Al-Qur’an, juga anjuran-anjuran untuk membaca surat Yaasin, surat Al-Ikhlas dan lainnya pada orang-orang yang akan atau sudah wafat. Dengan demikian buat pembaca lebih jelas lagi bahwa bacaan yang dibaca (didalam majlis-majlis dzikir termasuk tahlilan/ yasinan dan lainnya) pasti akan mendapatkan pahala dari Allah swt., jadi bukan sebaliknya akan mendapat dosa dan sebagainya sebagaimana yang dikatakan oleh golongan pengingkar .
Ibn Mas’ud ra berkata: Rasulallah saw. bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُود(ر) ِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله.صَ. مَنْ قَرَأ حَرْفاً مِنْ كِتَابِ الله فَلَهُ حَسَن,
وَالحَسَنَة بِعَشْرِ أمْثَالِهَا, لآ أقوْلُ الم حَرْفٌ, بَلْ ألِفْ حَرْفٌ, وَلاَمْ حَرْفٌ وَمِيْم حَرْفٌ. (رواه الترميذي)
“Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka mendapat hsanat/ kebaikan dan tiap hsanat mempunyai pahala berlipat sepuluh kali. Saya tidak berkata: Alif lam mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.(HR. Attirmidzy).

Lihat Hadits ini siapa yang membaca al-Qur’an akan dilipatkan pahala setiap hurufnya menjadi sepuluh kali. Pahala apa yang akan diberikan Allah swt. setiap hurufnya itu tidak ada keterangan yang jelas. Untuk lebih gampangnya kita ambil misal saja, bila pahala yang diberikan Allah swt. untuk satu huruf tersebut misalnya sudah kita ketahui yaitu berupa satu pohon di surga dan Dia akan melipatkan 10x pahalanya berarti kita akan memperoleh 10 pohon untuk setiap hurufnya, jadi kita bisa hitung sendiri berapa pohon yang akan kita peroleh hanya dengan bacaan surat Fatihah saja??. Ingat Rahmat dan Kurnia Allah swt. tidak ada batasnya. Jangan kita sendiri yang mem- batasinya !

Mari kita teruskan membaca dalil-dalil mengenai pembacaan Al-Qur’an yang bermanfaat bagi orang yang akan atau sudah wafat berikut ini :
‘Bacalah Yaa Siin bagi orang-orang yang (akan atau telah) meninggal diantara kalian (muslimin)’.
Riwayat serupa oleh Abu Hurairah ra  juga telah dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad beliau dan Hafidz ibn Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (sanadnya) sebagai Hasan/baik (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 hal. 570).

Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman menjelaskan sebuah hadits riwayat Mi’qal bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda :
مَنْ قَرَأ يَس إبْتِغَاء وَجْه اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ , فَاقْرَؤُاهَاعِنْدَ مَوْتَاكُمْ.
“Barangsiapa membaca Yaa Sin semata-semata demi keridhaan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaklah kalian membacakan Yaa Sin bagi orang yang (akan atau telah) wafat diantara kalian (muslimin)”. (Hadits ini disebutkan juga dalam Al-Jami’us Shaghier dan Misykatul Mashabih).

Ma’aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda;
“Yasin adalah kalbu (hati) dari Al-Qur’an. Tak seorang pun yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang (akan dan telah) wafat diantaramu.”(Sunan Abu Dawud). Imam Hakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai Shohih/ Autentik, lihat Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376.
Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Hafidz As–Salafi (Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26).

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad dari Safwaan bahwa ia berkata: “Para ulama biasa berkata bahwa jika Yaasin dibaca oleh orang-orang yang akan wafat, Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Lihat tafsir Ibnu Katsir jild 3 halaman 571).
Dari Jund bin Abdullah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barang siapa membaca Surat Yaasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah dosa-dosanya akan diampuni” (Imam Malik bin Anas, dalam kitabnya Al Muwattha’). Ibnu Hibban menshohihkannya (lihat shohih Ibn Hibban jilid 6 halaman 312, juga lihat At Targhiib jilid 2 hal. 377).

Lihat hadits ini pahala tertentu bacaan Yaasin Allah swt akan mengampuni dosa-dosa si pembacanya. Manfaat pengampunan ini yang selalu diharap- kan oleh setiap Muslimin !!
Riwayat serupa dari Abu Hurairah ra juga dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya dan Ibnu Kathir telah mengklasifikasikan rantai perawinya sebagai Hasan/baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 3 hal.570).
Syaikh Muhammad Al-‘Arabi At-Tibani, seorang ulama Masjidil Haram dalam risalahnya yang berjudul Is’aful Muslimin wal Muslimat bi Jawazil Qira’ah wa Wushulu Tsawabiha Lil Amwat mengatakan membaca Al-Qur’an itu dapat sampai kepada arwah orang yang telah meninggal.

Juga mengenai fadhilah/pahala membaca surat Al-Ikhlas, Abu Muhammad As-Samarkandy, Ar-Rafi’i dan Ad-Darquthni, masing-masing  menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw bahwa Rasulallah saw. bersabda:
Ma’aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda;
مَنْ مَرَّ عَلَى المَقَبِرِ وَقَرَأ قُلْ هُوَا الله اَحَدٌ إحْدَ عَشَرَةَ مَرَّةٌ, ثُمَّ وَهَـبَ أجْرُهَا لِلأَمْوَاتِ , أعْطِي مِنَ الأجْرِ بِعددِ الأمْوَات
Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh pahala sebanyak orang yang mati disitu (atau mendapat pahala yang diperoleh semua penghuni kubur)”.

Berdasarkan riwayat surat Yaasin yang cukup banyak maka ulama-ulama pakar atau orang-orang lainnya yang memegang hadits-hadits ini, mengamal kannya baik secara individu atau berkelompok sebagai amalan tambahan.Hadits-hadits diatas mengenai keistemewa an dan pahala-pahala tertentu surat Yaasin.

Mari kita rujuk lagi hadits-hadits mengenai pahala-pahala dan keistemewaan tertentu surat Al-Qur’an selain surat Yaasin. Walaupun kita setiap hari membaca berulang-ulang hanya satu surat saja dari Al-Qur’an tersebut akan tetap dapat pahala bagi yang membacanya karena termasuk ayat Al-Qur’an dan tidak ada satu hadits atau ayat ilahi yang melarangorang membaca hanya satu ayat dari Al-Qur’an. Dan tidak ada satu orang pun dari kaum muslimin yang mengamalkan ini berkeyakinan atau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanya terdiri dari satu ayat yang dibaca itu saja serta mengharus- kan/mewajibkan orang membaca hanya ayat itu saja !
Golongan pengingkar ada yang mengatakan bahwa Ibnul Qayyim berkata : “Barangsiapa membaca surat ini akan diberikan pahala begini dan begitu semua hadits tentang itu adalah Palsu ! Beliau dengan alasan bahwa orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri bahwa tujuan mereka membuat hadits palsu tersebut adalah agar manusia sibuk dengan membaca surat-surat tertentu dari Al Qur’an serta menjauhkan mereka membaca isi Al Quran yang lain ” !!!

Umpama saja Ibnul Qayyim benar berkata demikian, ini juga bukan suatu dalil/hujjah untuk melarang membaca ayat-ayat tertentu dari ayat Al-Qur’an, karena tidak sedikit hadits yang menyebutkan keistemewaan tertentu dan pahala tertentu pada ayat-ayat Al-Quran, dengan demikian pendapat Ibnul-Qayyim terbantah dengan hadits-hadits tentang bacaan surat Yasin diatas dan surat-surat lain berikut ini :

Hadits dari Abu Sa’id ra bahwa Nabi saw bersabda: ‘Apakah kalian sanggup membaca sepertiga (1/3) Qur’an dalam satu malam?’ Rupanya hal itu memang terasa berat bagi mereka, maka jawab mereka: ‘Siapa pula yang akan sanggup melakukan itu diantara kami, ya Rasulallah!’. Maka sabda Nabi saw ’Allaahul wahidus shamad ’ maksudnya surat Al Ikhlas  adalah sepertiga dari Al- Qur’an”.    (HR.Bukhori, Muslim dan An-Nasa’i)

Ada riwayat yang serupa dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Muslim.
Lihat hadits diatas ini termasuk juga sebagai pahala tertentu, siapa baca sekali surat Al-Ikhlas sudah memadai seperti baca sepertiga ayat dari Al- Qur’an. Disini tidak berarti kita mengharuskan dan hanya membaca surat Al-Ikhlas saja, seperti isu-isu belaka golongan pengingkar ini !

Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra bahwa Nabi saw bersabda: ‘Adanya Rasulallah saw. berlindung dari gangguan jin dan mata manusia dengan beberapa do’a, tetapi setelah diturunkan kepadanya Almu’awwidatain (Surat Al-Falaq dan An-Naas), beliau saw. membaca keduanya itu dan meninggalkan segala do’a-do’a lainnya’. (HR At Tirmidzi)
Hadits diatas ini menunjukkan dua surat (Al-Falaq dan An-Naas) mempunyai keistemewaan tertentu juga, bisa menghalangi dan menolak gangguan jin dan mata manusia. Juga mendapat pahala yang membacanya. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Falaq dan An-Naas saja dan kita hanya diharuskan membaca dua surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !

Hadits dari Abu Mas’ud Al Badry ra berkata, bersabda Nabi saw: ‘Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat Al-Baqoroh pada waktu malam telah mencukupinya’. (HR.Bukhori dan Muslim).
Kata-kata telah mencukupinya dalam hadits itu berarti ia telah terjamin keselamatannya dari gangguan syaithon pada malam itu. Ini juga termasuk keistemewaan tertentu dari dua ayat terakhir dari surat Al Baqoroh (yaitu dimulai dari Aamanar Rosuulu bimaa unzila ilaihi ayat 285…sampai akhir ayat al Baqoroh Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!

Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ‘Didalam Qur’an ada surat berisi tiga puluh ayat dapat membela seseorang hingga diampunkan baginya yaitu Tabarokalladzi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk)’. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan keistemewaan dan pahala tertentu juga bahwa siapa yang membacanya akan dapat membelanya dan mengampunkan dosanya ! Pahala pengampunan ini sangat diharapkan oleh semua kaum muslimin. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Mulk saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !

Hadits dari Abu Hurairah ra Nabi saw bersabda: ‘Jangan kamu menjadikan rumahmu bagaikan kubur (hanya untuk tidur belaka), sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqoroh’. (HR.Muslim)
Hadits ini juga mempunyai keistemewaan tertentu Al-Baqoroh bisa mengusir setan dari rumah kita. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !

Hadits dari Abu Darda ra, Sabda Rasulallah saw : ‘Siapa yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat Al-Kahfi, akan terpelihara dari godaan fitnah Dajjal’. (HR.Muslim). Dalam lain riwayat: ‘Sepuluh ayat dari akhir surat Al Kahfi’.
Hadits ini menunjukkan keistemewaan tertentu yaitu siapa yang dapat menghafal dan membacanya dari ayat tersebut, terhindar dari fitnahan Dajjal. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari 10 ayat dari surat Al-Kahfi saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!
Dan masih banyak lagi mengenai keistemewaan dan pahala tertentu mengenai Ayat Kursi, ayat Al-Fatihah (Ummul Kitab/ibunya Qur’an), mengenai keutamaan mengucapkan Laa ilaaha illallah, membaca Tasbih, Takbir dan Sholawat atas Nabi saw. dan sebagainya yang tidak saya sebutkan satu persatu disini. Juga pahala-pahala tertentu amalan-amalan puasa, sholat dan sebagainya.

Apakah semua hadits-hadits keistemewaan dan pahala tertentu tersebut diatas yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terkenal adalah hadits palsu ? Apakah dengan adanya hadits-hadits tersebut, orang mempunyai firasat hanya harus membaca ayat-ayat tertentu itu dan meniadakanayat Al-Qur’an lainnya ? Sudah Tentu Tidak !
Pandangan yang demikian itu menunjukkan kedangkalan ilmu serta kefanatikan golongan pengingkar ini terhadap fahamnya sendiri sehingga semua hadits yang tidak sefaham dengan mereka dianggap tidak ada, palsu, lemah dan melarang dan lain sebagainya ! Saya berlindung pada Allah swt.. dalam hal ini.

Amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayit
Mari kita telaah lagi amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayit. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas ra berkata:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّـاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ
فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَـازَتِهِ أرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا اِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ بِهِ (رواه مسلم)
Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda: ‘Tiada seorang muslim wafat, maka berdiri menyembahyangkannya empat puluh (40) orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan dapat dipasti- kan Allah menerima syafa’at dan permintaan ampun mereka itu’. (HR. Muslim)
Hadits dari Martsad bin Abdullah Alyazani berkata:
وَعَنْ مَرْثََـدِ ابْنِ عَبْدِاللهِ اليَزَنِيِّ (ر) قَالَ: كَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ اِذَا صَلَّى عَلَى الْجَنَازَةِ فَتَقَالَّ النَّاسَ
عَلَيْهَا جَزَّئَهُمْ ثَلاَثَةَ أجْزَاءٍ ثًمَّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ فَقَدْ أوْجَبَ (رواه ابو داود و الترميذي)
“Adalah Malik bin Hubairoh jika menyembahyangkan jenazah dan melihat orang-orangnya hanya sedikit, maka dibagi mereka tiga (3) baris, kemudian ia berkata: Rasulallah saw. bersabda:Siapa yang disembahyangkan oleh tiga barisan, maka telah dapat dipastikan’ ”. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Maksud kata-kata dapat dipastikan dalam hadits itu ialah pasti diampunkan mayitnya dan Allah akan menerima syafa’at dan permohon an mereka.

Hadits dari Abu Hurairah berkata: “Ada seorang tukang sapu masjid, pada beberapa hari tidak terlihat oleh Rasulallah saw. sehingga beliau bertanya tentang orang itu. Dijawab; Ia telah wafat. Nabi bersabda: Mengapakah kamu tidak memberitahu padaku? Tunjukkan padaku kuburannya. Maka orang-orang menunjukkan kepada Nabi saw. kuburan tukang sapu itu, dan disitu Nabi sholat mayat (jenazah). Kemudian setelah sholat bersabda: Sesungguhnya kubur-kubur ini tadi penuh kegelapan, dan Allah telah menerangi padanya dengan sholatku pada mereka”. (HR.Bukhori, Muslim)
Hadits-hadits diatas ini menunjukkan juga bahwa seorang yang telah wafat masih dapat tertolong oleh bantuan amalan orang yang masih hidup, dan yang demikian ini terserah pada Allah, karena rahmat Allah dan kurnia-Nya tidak terbatas. Juga hadits terakhir diatas menunjukkan dibolehkannya orang yang ketinggalan sholat jenazah untuk bersholat didepan kuburannya. Ini berlaku untuk semua muslimin karena dihadits itu tidak disebutkan sholat jenazah ditempat kuburan tersebut hanya khusus berlaku untuk Nabi saw. Beliau saw. adalah contoh bagi ummatnya, bila itu dilarang atau khusus untuk beliau saja, maka beliau saw. pasti akan memberitahunya ! Semuanya ini menunjukkan bahwa do’a itu manfaatnya sangat banyak baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Allah swt. sendiri telah menjanjikan siapa yang berdo’a kepada-Nya pasti akan dikabulkannya. 

Firman-firman Allah swt. agar manusia selalu berdo’a baik untuk dirinya maupun untuk lainnya : “Dan Tuhanmu berfirman; ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu’ ”. (Al- Mu’min :60).
Firman-Nya: “Dan seandainya hamba-hambaKu bertanya padamu (Muhammad) mengenai Aku, maka sesungguhnya Aku ini Maha dekat. Aku akan mengabulkan  permohonan dari orang yang berdo’a, jika ia berdo’a pada-Ku”. (Al-Baqoroh : 186)

Juga firman Allah swt.: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ”. (Al-Hasyr:10)
Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatwamengatakan bahwa manfaat terbesar yang dapat diperoleh dengan do’a ialah orang yang berdo’a tidak akan dikecewakan sama sekali. Bila takdirnya bergantung  pada do’a, maka ia akan melihat manfaat do’anya, namun bila takdirnya itu tidak bergantung pada do’a maka manfaat do’a adalah ganjaran pahala, karena do’a termasuk ibadah.

Sedangkan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan do’a berikut ini :
Hadits dari Salman Farisi bahwa Rasulallah saw. bersabda; ‘Tidak dapat menolak gadha/takdir (Allah swt.) kecuali do’a’, dan tidak bisa menambah umur kecuali kebaikan !” (HR.At-Tirmidzi).

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar dan Thabrani juga oleh Hakim yang menyatakan isnadnya sah dari Aisyah ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Tidak mempan (tidak bisa menolak) sikap berhati-hati terhadap takdir, sedang do’a itu akan memberi manfaat, baik terhadap hal-hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan sungguh, malapetaka itu turun, lalu disambut oleh do’a, maka bergulatlah keduanya sampai hari kiamat”.
Maksud hadits itu ialah Allah swt. bisa merubah takdir malapetaka yang akan dikenakan pada hamba-Nya dikarenakan do’a hamba itu kepada-Nya.

Masih banyak lagi ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai do’a ini yang tidak bisa kami kemukakan satu persatu disini. Kita dibolehkan berdo’a apa saja kepada Allah swt. yang penting dalam kebaikan, tetapi bacaan atau kalimat do’a yang terbaik ialah yang diajarkan oleh Rasulallah saw. termasuk disini ialah bacaan/kalimat do’a pada waktu sholat jenazah atau waktu ziarah kubur. Sudah tentu dalam sholat jenazah atau ziarah kubur kita dibolehkan membaca do’a selain yang diajarkan oleh Rasulallah saw. yang terpenting semua ini terfokus (tertuju) untuk mohon pengampunan bagi si mayat. (info: berdo’a pada waktu sholat banyak ahli fiqih mengatakan harus berbahasa Arab, bila tidak bisa membatalkan sholatnya).
Ini semua sunnah Rasulallah saw. serta menunjukkan bahwa si mayit itu masih bisa menerima syafa’at dari amalan orang lain yang masih hidup. Dengan demikian isi dan inti do’a dalam sholat jenazah dan ziarah kubur ialah  mohon ampunan untuk si mayit, ampunan ini adalah salah satu syafa’at dan manfaat yang besar serta selalu diharapkan oleh setiap  muslimin.
Ingat sekali lagi, jangan melihat cara atau bagaimana orang melakukan suatu amalan, tapi lihatlah apakah amalan tersebut melanggar yang telah digariskan oleh syari’at Islam atau tidak?

Begitu juga halnya dalam majlis tahlilan/yasinan(baca keterangan selanjut- nya) tujuan utama setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan sebagainya adalah membaca do’a pada Allah swt. khusus untuk si mayyit. Semua bacaan dzikir yang dibaca dalam majlis ini sudah pasti akan mendapat pahala, banyak hadits yang meriwayatkan- nya.

Kalau ada ulama yang mengatakan bahwa membaca hal-hal tersebut berdosa, haram dan tidak mendapat pahala, ini hanya fitnahan-fitnahan ulama dari kalangan orang  yang tidak senang menghadiri majlis dzikir tersebut, serta omongan mereka ini tidak berdasarkan dalil. Ingat sekali lagi bahwa membaca dzikir dan do’a ini tidak diperlukan waktu, tempat dan cara-cara tertentu yang disyariatkan, jadi bebas setiap waktu hanya pembacaan Al-Qur’an-nya saja menurut para ulama ahli fiqih yang mempunyai syarat-syarat tertentu, umpamanya wanita yang sedang haidh atau orang yang sedang junub (suami istri belum bersuci setelah berkumpul) itu dilarang membaca ayat-ayat Al Qur’an.

Beliau saw. juga menganjurkan kita untuk ziarah kubur dan mengajarkan kalimat-kalimat salam dan do’a untuk ahli kubur tersebut. Disini tidak ada bedanya orang yang baru wafat atau sudah lama wafat semuanya adalah mayit. Karena mayyit itu bisa mendengar salam dan bacaan kita tersebut sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Rasulallah saw.. Pendengaran mereka itu lebih tajam dari pendengaran kita yang masih hidup ini. Begitu juga tidak ada larangan dalam syari’at untuk membacakan Al-Qur’an, dan berdo’a untuk mayat baik waktu baru di kubur, waktu ziarah kubur maupun setiap waktu baik habis sholat atau lainnya.

Kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ruh-ruh orang yang telah wafat.

Firman Allah swt.: “Janganlah kalian berkata; bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup (dialam lain), tetapi kalian tidak menyadarinya”.(Al-Baqarah : 154)

Dan firman-Nya: “Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dan mereka memperoleh rizki (kenikmatan besar)” ( Ali Imran : 169)

Firman-Nya juga: “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang ruh. Jawablah : ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi ilmu (pengetahuan)melainkan sedikit” (Al Israa : 85)

Dua firman Allah diatas disamping menyebutkan orang-orang yang gugur dijalan Allah itu tidak mati tetap hidup (ruhnya) mendapat kenikmatan, juga dalam ayat-ayat itu tidak menyebutkan pembatasan yakni hanya ruh-ruh orang-orang yang gugur dalam peperangan saja yang masih hidup. Dengan demikian baik wafatnya itu waktu dalam peperangan sabil maupun wafat diatas tempat tidur, ruh-ruh (jadi bukan jasadnya) ini semuanya masih hidup dialam barzakh, makna yang demikian ini sejalan dengan hadits-hadits Rasulallah saw. tentang ruh manusia yang telah wafat (baca keterangan selanjutnya).

Malah ada riwayat waktu sahabat selesai dari perang besar, mereka gembira tetapi Rasulallah saw. bersabda : Kita sekarang selesai perang yang kecil dan menghadapi perang yang lebih besar. Sahabat bertanya; Perang apakah itu Ya Rasulallah, beliau saw. menjawab ; Memerangi hawa nafsu !
 Firman Allah swt.: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi(Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS 4:41)

 Firman-Nya juga; “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu“ (QS 2:143)

Para Muthawwi’ sekitar makam Rasulallah saw. di Madinah selalu berteriak-teriak kepada para penziarah dengan ucapan, ‘Wahai haji, Rasul telah mati, berikan salam dan segera pergilah’ dan jika ada yang sedikit berlama-lama dalam berziarah lantas diteriaki, ‘Wahai haji, syirik…!!’. Bagi si pembaca bisa menyaksikan sendiri bila nantinya berziarah ke makam Rasulallah saw.. Apa maksud kata-kata itu?.Apakah mereka ini tidak memahami ayat-ayat ilahi diatas? Kalau golongan Wahabi mengatakan Rasulallah sudah wafat, bagaimana beliau saw. mau menjadi saksi bagi ummatnya yang setelah wafatnya beliau saw.? Tidak mungkin pula Nabi saw. dipanggil sebagai seorang saksi atas apa yang tidak beliau ketahui atau tidak beliau lihat!!

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya jilid III halaman 3 dari Abu ‘Amir, Abu ‘Amir menerimanya dari ‘Abdulmalik bin Hasan Al-Haritsiy, ‘Abdulmalik menerimanya dari Sa’id bin ‘Amr bin Sulaim, yang menuturkan sebagai berikut : “Saya mendengar dari seorang diantara kita, namanya aku lupa, tetapi (menurut ingatanku) ia bernama Mu’awiyah atau Ibnu Mu’awiyah. Ia menyampaikan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. yang mengatakan, bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan ; ‘Seorang mayyit mengetahui siapa yang mengangkatnya, siapa yang memandikannya dan siapa yang menurunkannya ke liang kubur’. Ketika dalam suatu majlis Ibnu ‘Umar mendengar hadits tersebut ia bertanya; ‘Dari siapa anda mendengar hadits itu’ ? Orang yang ditanya menjawab; ‘Dari Abu Sa’id Al-Khudri’. Ibnu ‘Umarpergi untuk menemui Abu Sa’id, kepadanya ia bertanya; ‘Hai Abu Sa’id, dari siapakah anda mendengar hadits itu ?’ Abu Sa’id menjawab; ‘Dari Rasulallah saw.’ “.

Ibnul Qayyim didalam kitabnya Ar-Ruh menyatakan, bahwa ruh Abubakar Ash-Shiddiq ra. tampak (setelah ia wafat) didalam suatu peperangan bertempur bersama-sama pasukan muslimin melawan kaum musyrikin.

Ibnul-Wadhih pun dalam Tarikh-nya mengemukakan kesaksian seorang yang melihat Rasulallah saw. (beliau saw.telah lama wafat) membawa sebuah tombak pendek ikut berperang melawan musuh-musuh Ahlul-Bait beliau di Karbala, medan perang tempat Al-Husain ra. gugur sebagai pahlawan syahid.

Dalam hadits-hadits Nabi saw. menerangkan bahwa ruh-ruh orang yang wafat itu hidup dialam barzakh, bisa mendengar terompah-terompah kaki orang yang mengantarkan kekuburnya (HR Bukhori, Muslim dan lain-lain), bisa mendo’akan kerabatnya dan sebagainya (HR Ahmad dan Turmudzi dari Anas).

Rasulallah saw. juga bersabda bahwa arwah kaum mu’minin bisa terbang kemana saja yang mereka kehendaki (dari Salman Al-Farisy yang ditulis oleh Ibnul Qayyim ‘Mengenai soal ruh’ halaman 144, serta ada sabda Rasulallah saw. yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik ra). Begitu juga mengenai adzab/siksa didalam kubur dan lain sebagainya.
Agama Islam mewajibkan mempercayai adanya alam ruh walaupun semua- nya ini belum terjangkau dengan akal manusia. Semuanya ini telah dijelas- kan baik dalam ayat ilahi maupun sunnah Rasulallah saw.. Hadits-hadits diatas ini (bisa melihat siapa yang memandikannya, yang mengantarkan keliang kubur, bisa terbang kealam mana saja yang dia dikehendaki dan lain sebagainya) juga menunjukkan dan memperkuat kenyataan adanya kehidupan dialam ghaib (barzakh).

Didalam perang Badr pun banyak sahabat Nabi saw. melihat sejumlah Malaikat turun dari langit, berpakaian jubah dan serban berwarna kuning dan membawa pedang ditangan ikut berperang dipihak pasukan muslimin. Riwayat ini juga menunjukkan bahwa ada manusia-manusia yang bisa melihat Malaikat, yaitu orang-orang yang diberi ilmu dan dikarunia kemuliaan khusus (karamah/keramat) diantara para waliyullah.
Mari kita teliti lagi hadits-hadits mengenai orang-orang yang telah wafat berikut ini:

Hadits dari Anas bin Malik sebagai berikut :
عَنْ أنَسٍ بْنِ مَالِكٍ (ر) أنَّ رَسُوْلَ الله .صَ. تَرَكَ قََتـْلَى بَدْ ٍر ثَلاَثًا ثُمَّ أتَاهُـمْ فَقَامَ عَلَيْهِمْ فَنَادَاهُمْ فَقَالَ:
يَا أبَا جَهَلٍ ابْنَ هِشَـامٍ يَا أمَيَّةُ ابْنَ خَلَفٍ يَا عُتْبَةُ ابْنَ رَبِيْعَة يَا شَيْبَة ابْنَ رَبِيـْعَة اَلَيْسَ قَدْ وَجَدْتُمْ
مَا وَعَد رَبُّكُمْ حَقـًّا فَاِنّيِ قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقـًّا.فَسَمِعَ عُمَرُ قَوْلَ النَّبِي فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله
كَيْفَ يَسْمَعُوْا وَأنىِّ يُجِيبُوْا جَيِِّفُوْا. قَالَ: وَالَّـذِي نَفْسِي بِيَدِهَ مَا أنْـتُمْ بِأسْمَعِ لِمَا أقُوْلُ مِنْهُمْ
وَلَـكِنَّهُمْ لاَ يَقـدِرُوْنَ اَنْ يَجِيْبُوا (رواه البخاري ومسلم)
“Bahwa Rasulallah saw. membiarkan mayyit orang kafir yang terbunuh dalam peperangan Badar selama tiga hari. Kemudian beliau saw mendatangi mereka lalu berdiri sambil menyeru mereka: ‘ Hai Abu Jahal bin Hisyam, Hai Umayyah bin Khalaf, Hai Utbah bin Rabi’ah, Hai Syaibah bin Rabi’ah! Bukankah kamu telah mendapatkan janji Tuhanku sebagai sesuatu yang benar (yakni kalah dan terbunuh). Sesungguhnya aku telah mendapatkan janji Tuhanku sebagai sesuatu yang benar (yakni memperoleh kemenangan)’ Umar bin Khattab ra mendengar ucapan Nabi saw. bertanya: ‘ Wahai Rasulallah, bagaimana mereka bisa mendengar dan bagaimana pula mereka bisa menjawab sedangkan mereka telah menjadi bangkai ? Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Demi zat yang diriku ada di tangan-Nya, tidaklah kamu memiliki kemampuan mendengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan, akan tetapi mereka tidak mampu menjawab’ “. (HR.Bukhori, Muslim).

Lihat hadits terakhir diatas ini yang mana Rasulallah saw. telah tegas menjawab pertanyaan Umar bin Khattab ra bahwa mayyit itu bisa mendengar perkataan Nabi saw. malah pendengaran mereka itu lebih tajamdari para sahabat yang hadir. Hadits ini menunjukkan kebolehan kita untuk memanggil orang yang telah wafat dengan kata-kata Ya Fulan ( Hai anu)  atau memanggil Ya Rasulalllah dan sebagainya. Begitu juga apa salahnya kalau kita sering memanggil junjungan kita Muhammad saw. dengan kata-kata Ya Rasulallah…? (silahkan baca bab tawassul dan tabarruk dalam website ini)

Ada golongan yang senang memutar balik makna hadits dari Anas bin Malik tersebut dengan mengatakan hal ini karena Rasulallah saw. yang berkata kepada si mayyit bila selain beliau saw. maka mayyit tersebut tidak akan bisa mendengar. Pikiran mereka semacam ini sudah tentu salah karena yang pertama dalam hadits itu  Rasulallah saw. tidak mengatakan khusus untuk beliau mayyit tersebut bisa mendengar ucapannya, sedangkan selain beliau mayyit itu tidak bisa mendengar. Bila demikian Rasulallah saw akan menjawab terhadap Umar ‘mereka itu mendengar karena aku yang berbicara padanya dan selain aku maka mereka tidak bisa mendengarnya’ tapi jawaban beliau saw. adalah: ‘tidaklah kamu memiliki kemampuan men- dengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan’..

Yang kedua; banyak hadits lain mengatakan bahwa orang yang sudah dikuburkan itu dikembalikan ruhnya kedalam tubuhnya dan dia bisa mendengar terompah para pengantar jenazahnya, bisa merasakan hidup bahagia atau sengsara (adzab kubur) di-alam barzakh, dan lain sebagainya. Dalam hadits lain Rasulallah saw. menyuruh kita menziarahi kubur dan memberi salam kepada mereka. Tidak lain yang menjadikan semua mayyit bisa mendengar dan sebagainya ini adalah Allah swt. dan tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa Allah swt. mampu melakukan yang demikian ini.
Telitilah hadits-hadits Rasulallah baik yang telah kami kemukakan maupun pada halaman berikut yang mana beliau saw. bisa menjawab semua salam yang disampaikan kepadanya. Beliau saw. juga bisa berdo’a kepada Allah swt. untuk kaum muslimin yang masih hidup dan lain sebagainya, walaupun beliau saw. sudah wafat. Begitupun juga ruh kaum mukminin lainnya.

 Hadits dari Abu Ya’la dalam mengemukakan persoalan Nabi ‘Isa as. dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Jika orang berdiri diatas kuburku lalu memanggil ‘Ya Muhammad Rasulallah’ pasti kujawab”. Hadits ini dikemukakan juga oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Mathalibil-Aliyah jilid 4/23 pada bab : ‘Kehidupan Rasulallah saw. didalam kuburnya’.

 Anas bin Malik ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. pernah menerangkan: “Para Nabi hidup didalam kubur mereka dan mereka bersembahyang”. Hadits ini diketengahkan oleh Abu Ya’la dan Al-Bazaar di dalam kitab Majma’uz- Zawaid jilid 8/211. Imam Al-Baihaqi juga menge- tengahkan juga dalam bagian khusus dari risalahnya.

 Anas bin Malik ra. juga mengatakan, bahwa Rasulallah saw. pernah memberitahu para sahabatnya bahwa : “Para Nabi tidak dibiarkan didalam kubur mereka setelah empat puluh hari, tetapi mereka bersembah-sujud dihadapan Allah swt.hingga saat sangkala ditiup (pada hari kiamat)

 Al-Baihaqi menanggapi hadits ini dengan tegas mengatakan : ‘Tentang kehidupan para Nabi setelah mereka wafat banyak diberitakan oleh hadits-hadits shohih’. Setelah itu ia menunjuk kepada sebuah hadits shohih yang meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :“Aku melewati Musa (dalam waktu Isra’) sedang berdiri sembahyang didalam kuburnya”.

 Sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin, bahwa dalam perjalanan Isra’ Rasulallah saw. melihat Nabi Musa as.sedang berdiri sholat, Nabi ‘Isa as.juga sedang berdiri sholat. Bahkan Rasulallah saw. mengatakan bahwa Nabi ‘Isa as mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafy. Beliau saw. juga melihat Nabi Ibrahim as. sedang berdiri sholat dan Nabi ini mirip dengan beliau saw. Setiba saat sholat berjama’ah beliaulah yang meng- imami para Nabi dan Rasul sebelumnya. Usai sholat malaikat Jibril as berkata kepada beliau saw.: ‘Ya Rasulallah, lihatlah, itu malaikat Malik, pengawal neraka, ucapkanlah salam kepadanya’. Akan tetapi baru saja Rasulallah saw. menoleh ternyata malaikat Malik sudah mengucapkan salam lebih dahulu.
Riwayat tentang Isra’ ini dapat kita baca dalam Shohih Muslim yaitu riwayat yang berasal dari Anas bin Malik dan diketengahkan oleh ‘Abdurrazzaq didalam Al-Mushannaf jilid 3/577.

 Dalam Dala’ilun-Nubuwwah Al-Baihaqi mengetengahkan sebuah hadits shohih dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah saw. mengatakan setelah Isra’: “Pada malam Isra’ aku melihat Musa dibukit pasir merah sedang berdiri sembahyang dalam kuburnya”. Hadits ini diketengahkan juga oleh Muslim dan Shohihnya jilid 11/268.

Banyak hadits dari Rasulallah saw. waktu beliau saw. Isra’ dan Mi’raj telah melihat para Nabi dan Rasul ; Musa as. ‘Isa as. Ibrahim as. Idris as., Yunus, Yusuf as. dan lain-lain. Ini juga membuktikan bahwa para Nabi dan Rasul hidup dialam barzakh dengan kemuliaan, keagungan dan keluhuran yang serba sempurna berkat karunia Allah swt. dan mereka tetap bersembah sujud kepada Allah swt. Begitu juga dalam riwayat Isra’ dan Mi’raj ini, setiap Rasulallah saw. bertemu para Rasul selalu berdo’a kepada Allah swt. kebaikan dan kebajikan untuk Rasulallah saw. Dengan demikian menunjuk kan bahwa orang yang telah wafat masih bisa juga berdo’a kepada Allah swt. untuk orang yang masih hidup.

Sedangkan hadits-hadits Nabi saw. mengenai pertanyaan dan siksa kubur diantaranya: Diriwayatkan oleh Muslim dari Zaid bin Tsabit, diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Qatadah yang diterimanya dari Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ash Habus Sunan dari Barra’ bin ‘Azib, dan yang tercantum dalam Musnad Imam Ahmad, dan shohih Abu Hatim, diriwayatkan shohih Bukhori yang diterima dari Samurah bin Jundub, diriwayatkan oleh Thahawi dari Ibnu Mas’ud, diriwayatkan oleh Nasa’i dan Muslim yang diterima dari Anas, yang diriwayatkan oleh Nasa’I, Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar. (Kami sengaja mencantumkan perawi-perawi nya saja dan tak mencantumkan hadits-haditsnya karena cukup panjang sehingga memerlukan halaman yang lebih banyak lagi. Bagi pembaca yang ingin mengetahui hadits mengenai ruh-ruh dialam barzakh dan adzab kubur, lebih mudahnya silahkan rujuk pada buku terjemahan bahasa Indonsia Fikih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 dari halaman 221).

Jadi jelas sekali banyak riwayat hadits mengenai ruh-ruh dialam barzakh, mereka bisa tetap mendapat pahala, bisa merasakan sedih dan bahagia dan sebagainya. Yang mana semuanya ini adalah kekuasaan Ilahi yang kadang kala tidak terjangkau oleh pikiran manusia biasa, yang belum diberi ilmu oleh Allah swt. mengenai hal itu. Dan dengan adanya hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa ruh-ruh tersebut ada yang masih tetap di alam kubur nya, sedih, bahagia, bisa juga terbang kemana-mana menurut kehendaknya, dan lain sebagainya.
Nabi saw. mensunnahkan memohon ampun bagi mayat pada waktu sholat jenazah, ziarah kubur dan waktu lainnya atau berdo’a pada waktu selesai dimakamkan agar dikuatkan pendiriannya sebagaimana hadits yang diterima dari Usman bin Affan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga oleh Al Bazzar.
كَانَ النَّبِي.صَ. إذَا فُرِغَ مِنَ الدَّْفْنِ المَيِّت وَقَفَ عَلَيْهِ, فَقَالَ: إستَغْفِرُوا ِلأخِيْكُمْ وَسَلوُا لَهُ التَثبِـيْتَ فَإنّـَهُ الأنَ يُسْألُ
(رواه ابو داود والحكم وصححه والبزار)
“Bila selesai menguburkan mayat, Nabi saw., berdiri di depannya dan bersabda: Mohonkanlah ampun bagi saudaramu, dan mintalah dikuatkan hatinya, karena sekarang ini ia sedang ditanya (oleh Malaikat Munkar dan Nakir)”.

Talqin
Dengan adanya ayat ilahi dan hadits-hadits diatas dari Anas bin Malik mengenai mendengarnya gembong-gembong kafir yang telah wafat atas ucapan Rasulallah saw. dan hadits terakhir diatas dari Utsman bin Affan serta hadits-hadits lainnya tentang kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat. Banyak ulama pakar membolehkan bacaan Talqin (berarti mengajari dan memberi pemahaman/ peringatan) dimuka kuburan mayyit yang baru selesai dimakamkan yang akan berhadapan dengan malaikat Munkar dan Nakir untuk menanyainya. Sudah tentu semua orang itu tergantung dari amal sholehnya waktu dia masih hidup bukan hanya tergantung dari Talqin ini. Tapi ini bukan berarti si mayyit tidak bisa mengambil manfa’at dari amalan orang yang masih hidup (diantaranya Talqin ini), juga bukan berarti Allah swt. telah menutup manfa’at amalan orang yang masih hidup pada si mayyit ini. (baca keterangan amalan pahala yang manfaat bagi si mayyit pada buku ini). Rahmat, Kurnia dan Ampunan Ilahi sangat luas sekali, janganlah kita sendiri yang membatasinya !

Menurut istilah talqin ini memiliki dua pengertian yaitu; Mengajarkan kepada orang yang akan wafat kalimat tauhid yakini Laa ilaaha illallah yang kedua ialah: Mengingatkan orang yang sudah wafat yang baru saja dikuburkan beberapa hal yang penting baginya untuk menghadapi dua malaikat yang akan datang padanya.

Didalam kitab Fikih Sunnah (bahasa Indonesia) oleh Sayyid Sabiq bab Hukum menalkinkan mayyit jilid 4 halaman 168-169 cetakan pertama 1978, cetakan (angka terakhir) 2019181716151413 diterbitkan oleh PT Alma’arif, dihalaman buku ini ditulis :
Dianggap sunnah oleh Imam Syafi’i dan sebagian ulama lainnya menalkin- kan mayat yakni yang telah mukallaf, bukan anak kecil setelah ia (mayit) dikuburkan, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Rasyid bin Sa’ad dan Dhamrah bin Habib dan Hakim bin ‘Umeir (ketiga mereka ini adalah tabi’in yakni yang bertemu dengan para sahabat dan tidak menjumpai Nabi saw.) kata mereka: “Jika kubur mayat itu telah selesai diratakan dan orang-orang telah berpaling mereka menganggap sunnah mengajarkan kepada mayat dikuburnya itu sebagai berikut: ‘ Hai Anu (nama si mayit disebutkan), ucapkanlah Laa ilaaha illallah asyhadu allaa ilaaha illallah’, sebanyak tiga kali ! Hai Anu, katakanlah; ‘Tuhanku ialah Allah, agamaku ialah Islam dan Nabiku Muhammad saw.’  Setelah mengajarkan itu barulah orang tadi berpaling “.

Riwayat dari tabi’in diatas ini ada disebutkan juga oleh Hafidz dalam At-Takhlis dan beliau berdiam diri mengenai hal itu.
Dan diriiwayatkan oleh Thabarani dari Abu Umamah yang katanya sebagai berikut:
“Jika salah seorang diantara saudaramu meninggal dunia, dan kuburnya telah kamu ratakan, maka hendaklah salah seorang diantaramu berdiri dekat kepala kubur itu dan mengatakan : ‘Hai Anu anak si Anu ! Karena sebenar nya ia (si mayit) bisa mendengarnya tetapi tidak dapat menjawab. Lalu hendaklah dipanggilnya lagi ; Hai Anu anak si Anu ! Maka mayit itu akan duduk lurus. Lalu dipanggilnya lagi ; Hai Anu anak si Anu ! Maka ia (si mayit)akan menjawab ; Ajarilah kami ini ! Hanya kamu (orang-orang yang masih hidup) tidak menyadarinya. Maka hendaklah diajarinya (sebagai berikut): ‘Ingatlah apa yang kaubawa sebagai bekal tatkala meninggalkan dunia ini, yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan, melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Nya, dan bahwa engkau telah meridhoi Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai Imam’. Maka Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan sahabatnya dan mengatakan : Ayolah kita berangkat ! Apa perlunya klita menunggu orang yang diajari jawabannya yang benar ini ! Seorang lelaki bertanya: Ya Rasulallah, bagaimana kalau ibunya tidak dikenal ?. Ujarnya (Nabi saw.) ‘Hubungkan saja dengan neneknya Hawa dan katakan; Hai Anu anak Hawa ‘ “.
Berkata Hafidz dalam At-Talkhish : ‘Isnad hadits itu baik dan dikuatkan oleh Dhiya’ dalam buku Ahkam-nya. Dan pada sanadnya terdapat: ‘Ashim bin Abdullah, seorang yang lemah. Berkata Haritsanisetelah mengemukakan hadits diatas ini: ‘Pada sanadnya terdapat sejumlah orang yang tidak saya kenal’. Sedangkan kata Imam Nawawi: ‘Hadits ini walaupun lemah, tapi dapat diterima’!

Para ulama hadits dan lain-lain telah menyetujui sikap yang luwes dalam menerima hadits-hadits mengenai keutamaan-keutamaan, anjuran-anjuran dan ancaman-ancaman. Apalagi ia telah dikuatkan oleh keterangan-keterangan lain seperti hadits yang lalu; ‘..Dan mohonlah agar hatinya dikuatkan’ (hadits yang diterima dari Usman bin Affan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga oleh Al Bazzar). Dan wasiat dari ‘Amar bin Ash, sedang keduanya merupakan keterangan yang sah. Dan hal ini (talqin) tetap dilakukan oleh penduduk Syria dari masa ‘Amr itu hingga sekarang.

Ada juga yang memakruhkan (tidak mengafirkan atau membid’ahkan sesat) talqin ini diantaranya sebagian golongan Maliki dan sebagian golongan Hanbali.
Untuk menyingkat halaman dibuku ini, lebih mudahnya, maka saya anjurkan bagi pembaca yang ingin tahu mendetail mengenai dalil-dalil dan wejangan para ulama pakar tentang pembolehan talqin ini bisa membaca buku yang berjudul Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ust.H.Mujiburrahman atau langsung merujuk kitab-kitab ulama yang disebutkan dibuku itu.
Diantara ulama-ulama yang membolehkan talqin ialah Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhazzab 5/303 dan kitabnya Al-Azkarhal.206 didalam kitab ini disebutkan juga nama ulama salaf yang membolehkan talqin ; Syaikh Dr.Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Al-Fighul Islami 11/536 ; Syaikh Yusuf Ardubeli dalam kitabnya Al-Anwar1/124 ; Syaikh Khatib Syarbini dalam kitabnya Al-Iqna’/183 ; Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj 3/207; Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj 3 /40. Dan masih ada lagi ulama pakar lainnya yang membolehkan ini tallqin, tidak lain semuanya ini merupakan Fadha’ilul A’mal amalan-amalan yang mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir .

Dengan demikian amalan Talqin sudah dikenal dan diamalkan oleh para salaf serta ulama-ulama pakar dari zaman dahulu. Bagi orang yang tidak mau mengamalkan hal ini karena mengikuti wejangan ulamanya itu silahkan karena hal ini bukan amalan wajib, tapi janganlah mencela, mensesatkan, mengharamkan sampai-sampai berani mensyirikkan orang yang mau mengamalkan talqin ini, karena mereka ini juga mengikuti wejangan ulamanya. Hati-hatilah !! Ingat hadits-hadits Rasulallah saw. yang telah saya cantumkan didalam website ini mengenai orang yang mengafir kan saudaranya mulsim.

Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits mengenai talqin diatas adalah lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk mengamalkan amalan-amalan yang mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir. Sebagaimana kaidah yang dikenal para ulama hadits diantaranya Ibnu Hajr dalam kitab Fathul Mubin :32 yang mengatakan: “Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa hadits lemah/dho’if boleh dipakai/diamalkan pada Fadha’ilul ‘Amal (amal-amal yang mengandung keutamaan)”.

Mari kita lanjutkan mengenai ruh manusia yang telah wafat dapat berdo’a, melihat para kerabatnya yang masih hidup didunia.
Firman Allah swt. dalam At-Taubah : 105 :
“Dan katakanlah (hai Muhammad); Hendaklah kalian berbuat. Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mu’minin akan melihat perbuatan kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada-Nya Maha Mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, lalu oleh-Nya kalian akan diberitahukan apa yang telah kalian perbuat”.
Sekaitan dengan makna ayat diatas ini, ada beberapa hadits Nabi yang menerangkan bahwa semua perbuatan kaum Mu’minin akan dihadapkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. dan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat yang telah wafat. Mereka yang telah meninggal itu akan bersedih hati bila kerabat mereka yang didunia melakukan amalan-amalan yang dilarang oleh Allah swt., sehingga mereka berdo’a pada Allah swt. agar kerabatnya yang didunia mendapat hidayah dari Allah sebelum mereka wafat. Mereka juga akan merasa bahagia bila mendengar amalan-amalan baik dari kerabatnya yang didunia.

Ibnu Mas’ud ra menuturkan, bahwasanya Rasulallah saw. telah menyata kan:
“Hidupku adalah suatu kebaikan bagi kalian. Kalian akan memberitakan hadits-hadits dan akan diberitakan (periwayat-periwayat hadits). Wafatku pun suatu kebaikan bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan dihadapkan kepada- ku. Tiap aku melihat yang baik, kupanjatkan puji syukur kepada Allah, dan tiap aku melihat yang buruk akan kumohonkan ampunan-Nya bagi kalian”.

Hadits lainnya :
إنَّ أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقرَبَائِكُمْ مِنْ مَوْتَاكـُمْ فَإنْ رَأوْا خَيْرًا فَرِحُوا بِهِ, وَإذَا رَأوا شَرًّا كَرِهُوْا (رواه ابن جرير
“Sesungguhnya perbuatanmu akan dihadapkan pada kaum kerabatmu yang telah meninggal. Jika dilihatnya baik, maka mereka akan gembira, dan jika dilihatnya jelek, mereka akan kecewa”. (Riwayat Ibnu Jarir dari Abu Hurairah)
Ibnu Katsir juga menerangkan bahwa amal perbuatan orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum
kerabat yang telah wafat, dialam barzakh. Kemudian ia mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayalaisi, berasal dari Jabir ra. yang menuturkan, bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan:
“Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat. Jika amal kalian itu baik mereka menyambutnya dengan gembira. Jika sebaliknya mereka berdo’a; ‘Ya Allah berilah mereka ilham agar berbuat baik dan ta’at kepada-Mu’ “.

 Selanjutnya Ibnu Katsir mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berasal dari Anas bin Malik ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan :
إِنَّ أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقرَبَائِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ اللأمْوَاتِ فَإنْ كَاَن خَيْرًا إسْتَبـْشِرُوْا بِهِ,
وَإنْ كَانَ غَيْرَذَالِكَ قَالُوْا: اللَّـهُمَّ لاَ تَمُتْهُمْ حَتىَّ تُهْدِيْـهِمْ كَمَا هَدَيْتَنَا. (رواه احمد و الترميذي)
Sesungguhnya amal perbuatanmu akan dihadapkan kepada kaum kerabat dan keluargamu yang telah meninggal. Jika baik, mereka akan gembira karenanya, dan jika tidak mereka akan memohon: ‘Ya Allah, janganlah mereka diwafatkan sebelum mereka Engkau tunjuki, sebagaimana Engkau telah menunjuki kami’“.(Riwayat Ahmad dan Turmudzi dari Anas)

Begitu juga masih banyak hadits yang serupa tapi versinya berbeda. Tidak lain semuanya menunjukkan bahwa rahmat dan karunia Allah ta’ala tidak ada batasnya. Jika kita tidak mempercayai kehidupan selain dialam dunia saja, seperti yang disebutkan oleh ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw., serta tidak mau tahu hal-hal ghaib maka kita bukan tergolong sebagai orang yang beriman. Allah sendiri menerangkan bahwa urusan ruh tersebut adalah urusan Allah swt., (Al-Israa : 85), karena ilmu manusia yang sangat minim ini sangatlah sulit untuk menjangkau hal-hal yang ghaib, kecuali orang-orang pilihan yang diberi ilmu oleh Allah swt. untuk mengetahuinya.

Mungkin golongan pengingkar akan mengatakan sebagaimana kebiasaan mereka bahwa hadits-hadits yang telah dikemukakan semuanya tidak dapat dipercaya, bukan hadits shohih ! Baiklah, tetapi apakah mereka ini dapat membuktikan atas dasar kesaksiannya sendiri bahwa hadits itu bohong atau tidak shohih? Tidak lain mereka ini akan mengemukakan hadits atau wejangan menurut pandangan ulama mereka mengenai masalah diatas. Apakah mereka hendak memaksakan dan mewajibkan kepada orang lain supaya mempercayai atau mengikuti ulama mereka mengenai ‘kebenar- annya hadits atau wejangan ulamanya ’ ?Renungkanlah !

Banyak sekali contoh pada zaman modern ini yang kita lihat dan dengar sendiri tentang kejadian yang menakjubkan tapi tidak semua yang terjadi tersebut terjangkau oleh setiap akal manusia. Begitu juga ayat-ayat Ilahi yang menerangkan kejadian-kejadian yang semuanya masih diluar jangkau an akal manusia, seperti kejadian pada zaman Nabi Sulaiman as. yang tercantum didalam surat An-Naml; 38-40, kejadian para pemuda yang berada di gua Kahfi (Al-Kahfi: 9-12), juga mengenai orang yang dimatikan oleh Allah swt. selama seratus tahun kemudian dihidupkannya kembali ( Al-Baqarah: 259) dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Semua kisah ini adalah firman Ilahi yang harus kita imani/percayai walaupun belum bisa terjangkau dengan akal manusia kecuali mereka yang telah diberikan ilmu oleh Allah swt. Wallahu a’lam .

Tahlilan/Yasinan (amalan atau hadiah pahala untuk orang mati serta dalilnya)
Setelah kita membaca uraian diatas mengenai amalan orang hidup yang bisa bermanfaat bagi si mayit, pembacaan Al-Qur’an dikuburan, ruh-ruh kaum muslimin, talqin dan lain sebagainya insya Allah jelas bagi pembaca bahwa amalan-amalan yang dikerjakan saudara-saudara kita itu mempunyai dalil dan akar yang kuat. Begitu juga dengan majlis dzikir tahlilan/yasinan yang sering kita lihat, dengar atau kita alami sendiri terutama di Indonesia. Didalam majlis ini diadakan pembacaan bersama ayat Al-Qur’an dan berdo’a yang ditujukan untuk kita, kaum muslimin umumnya dan khususnya untuk saudara-saudara kita muslimin yang baru wafat atau yang telah lama wafat. Tahlilan ini boleh diamalkan baik secara berkumpul maupun perorangan.

Hal yang sama ini dilakukan juga baik oleh ulama maupun orang awam dibeberapa kawasan dunia umpamanya: Malaysia, Singapore, Yaman dan lainnya.
Memang berkumpul untuk membaca tahlilan ini tidak pernah diamalkan pada zamannya Rasulallah saw. dan para sahabat. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasa terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada bacaan yang dibaca pada majlis tersebut. Karena bacaan yang dibaca disana banyak diriwayatkan dalam hadits Rasulallah saw. Tidak lain semuanya ini sebagai ijtihad para ulama-ulama pakar untuk mengumpulkan orang dan mengamalkan hal tersebut.

Bacaan Tahlilan yang dibaca di Indonesia, Malaysia, Singapora, Yaman  ialah: Pertama-tama berdo’a dengan di-iringi niatuntuk orang muslimin yang telah lama wafat dan baru wafat tersebut, kemudian disambung dengan bacaan surat Al-Fatihah, surat Yaasin, ayat Kursi (Al-Baqoroh :255) dan beberapa ayat lainnya dari Al-Qur’an, tahlil (Pengucapan Lailahaillallah) tasbih (Pengucapan subhanallah), sholawat Nabi saw. dan sebagainya. Setelah itu ditutup dengan do’a kepada Allah swt. agar pahala bacaan yang telah dibaca itu dihadiahkan untuk orang-orang yang telah wafat terutama dikhususkan untuk orang yang baru wafat itu, yang oleh karenanya berkumpulnya orang-orang ini untuk dia. Juga berdo’a pada Allah swt. agar dosa-dosa orang muslimin baik yang masih hidup maupun telah wafat diampuni oleh-Nya. Nah, dalam hal ini apanya yang salah…? Allah swt. Maha Pengampun dan Dia telah berfirman akan mengabulkan do’a sese- orang yang berdo’a pada-Nya !

Sedangkan mengenai makanan-makanan yang dihidangkan oleh sipembuat hajat itu bukan masalah pokok tahlilan ini tidak lain hanya untuk menggembirakan dan menyemarakkan para hadirin sebagai amalan sedekah dan dan tidak ada paksaan ! 

Bila ada orang yang sampai hutang-hutang untuk mengeluarkan jamuan yang mewah, ini bukan anjuran dari agama untuk berbuat demikian, setiap orang boleh mengamalkan menurut kemampuannya. Dengan adanya ini nanti dibuat alasan oleh golongan pengingkar untuk mengharamkan tahlil dan makan disitu. Ini sebenarnya bukan alasan yang tepat karena Tahlil tidak harus diharamkan atau ditutup karena penjamuan tersebut. Seperti halnya ada orang yang ziarah kubur beranggapan bahwa ahli kubur itu bisa merdeka memberi syafa’at pada orang tersebut tanpa izin Allah swt., keyakinan yang demikian ini dilarang oleh agama. Tapi ini tidak berarti kita harus mengharamkan atau menutup ziarah kubur karena perbuatan perorangan tersebut. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan hukum syari’at Islam !

Sekali lagi penjamuan tamu itu bukan suatu larangan, kewajiban dan paksaan, setiap orang boleh mengamalkan menurut kemampu annya, tidak ada hadits yang mengharamkan atau melarang keluarga mayyit untuk menjamu tamu orang-orang yang ta’ziah atau yang berkumpul untuk membaca do’a bersama untuk si mayyit..

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Ummmengatakan bahwa disunnahkan agar orang membuat makanan untuk keluarga mayyit sehingga dapat menyenang kan mereka, yang mana hal ini telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw.  
 tatkala datang berita wafatnya Ja’far bersabda; ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan’ (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 602 jilid 1 hal. 216)
Tetapi riwayat itu bukan berarti keluarga si mayyit haram untuk mengeluar- kan jamuan kepada para tamu yang hadir. Begitu juga orang yang hadir tidak diharamkan untuk menyuap makanan yang disediakan oleh keluarga mayyit. Penjamuaan itu semua adalah sebagai amalan sedekah dan suka rela terserah pada keluarga mayyit. Rasulallah saw. sendiri setelah mengubur mayit pernah diundang makan oleh keluarga si mayyit dan beliau memakan nya.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Baihaqi dari Ashim bin Kulaib dari ayah seorang sahabat Anshar, berkata:
“Kami telah keluar menyertai Rasulallah saw. mengiringi jenazah, maka kulihat Rasulallah saw. berpesan kepada penggali kubur, kata beliau saw., ‘perluaslah arah kedua kakinya, perluaslah arah kepalanya’. Ketika beliau pulang ditemuilah orang yang mengundang dari pihak istrinya (istri mayyit), beliaupun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya lalu dihidangkan makanan, maka beliau mengulurkan tangannya, kemudian hadirin mengulur- kan tangan mereka, lalu mereka makan, dan aku melihat Rasulallah saw. mengunyah suapan di mulutnya”.

Golongan pengingkar majlis tahlilan ada juga yang mengatakan bahwa membaca Tahlilan/Yasinan dirumah si mayyit yang baru wafat, diadopsi oleh para Da’i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animesme ruh-ruh keluarga yang wafat akan datang kerumahnya masing-masing setelah pada hari 1-3-7 dan seterusnya, dan ruh-ruh ini mengharap sajian-sajian dari keluarganya, bila tidak mereka akan marah dan lain-lain. Setelah mereka masuk Islam, akidah yang sama tersebut masih dijalankan golongan ini (repot untuk dihilangkannya). Maka para Da’i penyebar pertama Islam di Indonesia termasuk wali songo merubah keyakinan mereka dan memasukkan ajaran-ajaran dzikir untuk orang yang telah wafat itu. Jadi para Da’i/ahli dakwah ini tidak merubah adat mereka ini tapi memberi wejangan agar mereka berkumpul tersebut membaca dzikir pada Allah swt. dan berdo’a untuk si mayat, sedangkan sajian-sajian tersebut tidak ditujukan pada ruh mayat tapi diberikan para hadirin sebagai sedekah/ peng hormatan untuk tamu !

Penafsiran golongan ini bahwa majlis tahlilan sebagai adopsi dari Hindu yang tidak beragama Islam dan mempunyai banyak Tuhan dan sebagainya ini ialah pemikiran yang tidak benar serta dangkal sekali! Penulis sejarah seperti ini adalah penulis yang hanya mengarang-ngarang saja dan anti majlis dzikir. Pengarang ini tanpa memperhatikan tulisan atau ucapannya sehingga dia telah menyamakan kaum muslimin termasuk para Da’i, ulama pakar maupun orang awam yang ikut bercengkerama pada majlis tahlilan/ yasinan ini dengan orang-orang kafir Hindu yang tidak bertauhid. Hati-hatilah !!

Para Da’i sebelum datang di Indonesia sudah mengenal dan mengamalkan majlis dzikir, walaupun cara mereka mengamal kan berbeda dengan kita yang di Indonesia tapi intinya sama mereka mengenal riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hadiah pahala amalan yang bermanfaat untuk mayit. Semuanya ini (dzikiran, hadiah pahala amalan) sudah diterangkan dalam hadits Rasulallah saw.,  wejangan para ulama pakar dari semua madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad beberapa ratus tahun sebelum para Da’i datang ke Indonesia.

Sedangkan cara pengamalan majlis dzikir ini berbeda-beda tapi inti dan maknanya sama yaitu pembacaan doá dan penghadiahan pahala bacaan ini kepada orang yang telah wafat. Ada yang mengamalkannya sendirian/per-orangan saja dan ada yang mengamalkan dengan mengumpulkan orang banyak untuk berdo’a bersama yang ditujukan untuk si mayyit. Bertambah banyak orang yang berdo’a kepada Allah swt. sudah tentu bertambah baik dan lebih besar syafa’at yang diterima untuk si mayyit itu .

Didalam Islam kita dibolehkan serta dianjurkan untuk berdakwah dengan cara apapun selama cara tersebut tidak keluar dari garis-garis syariat akidah Islam. Dengan demikian para Da’i merubah keyakinanorang-orang Hindu yang salah kepada yang benar yang sesuai dengan syari’at Islam. Dakwah mereka ini sangat hebat sekali mudah diterima dan dipraktekan oleh orang-orang yang fanatik dengan agama dan adatnya yang tadinya di Jawa 85 % beragama Hindu menjadi 85% beragama Islam sehingga mereka memeluk agama yang bertauhid satu !

Berdzikir pada Allah swt. itu boleh diamalkan setiap detik, menit, hari, bulan dan lain-lain lebih sering lebih baik. Dakwah yang bisa merubah adat buruk suatu kaum kepada adat yang sejalan dengan syari’at Islam serta bernafaskan tauhid adalah dakwah yang sangat baik sekali. Dengan demikian kaum itu akan kembali kejalan yang benar yang diridhoi Allah swt. Jadi para Da’i waktu itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagai mana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajaripengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dalam hal ini apanya yang salah….?

Sejarah mencatat juga bahwa penyebar Islam yang pertama kali ke Indonesia  dari Gujarat, Cina, Persia dan Iraq dimulai pada permulaan abad ke-12 M ( jadi sebelum wali songo). Di negara penyebar-penyebar Islam (para Da’i) yang pertama kali di Indonesia ini sudah sering diadakan kumpulan/majlis dzikir dan peringatan-peringatan keagamaan diantaranya peringatan hari lahir dan wafatnya Nabi saw. (silahkan baca bab maulidin Nabi saw. dalam buku ini), peringatan kelahiran dan kewafatan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., peringatan kelahiran dan kewafatan Sayyidah Fatimah Az-Zahra putri Muhammad saw. dan lain sebagainya, walaupun cara mereka mengadakan peringatan-peringatan tersebut tidak persis atau sama dengan kita di Indonesia, tapi inti dan maknanya sama memperingati, menghadiahkan pahala bacaan dan mendo’akan orang-orang yang telah wafat.

Jadi majlis dzikir dan penghadiahan pahala bacaan yang dibaca ini sudah diamalkan oleh para ulama pakar sebelum penyebar-penyebar Islam ini datang ke Indonesia ! Hal yang sama sering diamalkan juga oleh kaum muslimin dari berbagai madzhab: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan sebagainya diseluruh dunia, yang mana pengikut madzhab-madzhab ini sudah ada dimulai pertengahan abad ke 8 M atau sekitar tahun 100 Hijriah yaitu mulai zamannya Imam Ja’far Shodiq ( 80-148 H/ 699-765 M) bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib kw., yang mana Imam Hanafi, Imam Malik ra pernah berguru pada Imam Ja’far ini.

Tidak lain mengumpulkan orang untuk peringatan keagamaan ini dan berkumpulnya orang-orang untuk membaca tahlil adalah hasil ijtihadyang baik dari para ulama pakar, yang semuanya ini tidak keluar dari garis yang telah ditentukan oleh syari’at. Amalan ini mereka teruskan dan jalankan di negara kita yang mana sampai detik ini diamalkan oleh sebagian besar kaum muslimin di Indonesia.

Malah sekarang bisa kita lihat bukan hanya di negara kita saja, tetapi peringatan-peringatan Maulidin Nabi saw. dan kumpulan majlis dzikir ini sudah menyebar serta dilaksanakan oleh sebagian besar kaum muslimin diseluruh dunia dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan lain-lain) diantaranya: Malaysia, Indonesia, Mesir, Irak, Iran, Afrika, Turki, Yemen, Marokko, negara Saudi Arabia, Pakistan dan sebagainya.
Umpama saja, kita tolerans dan benarkan sejarah yang ditulis oleh golongan pengingkar ini mengenai majlis tahlilan tersebut, sekali lagi umpamanya diketemukan sejarah yang benar/authentik dari zamannya para Da’i ke Indonesia yaitu meneruskan adat Hindu ini dengan mengarahkan kepada amalan-amalan dzikir/tahlilan yang ditujukan untuk yang hadir dan si mayit apanya yang salah dalam hal ini ?

Para Da’i merubah dan mengarahkan adat Hindu yang keliru ini yang mempercayai akan marahnya ruh kerabat-kerabat mereka yang baru wafat bila tidak diberi sajian-sajian kepada si mayyit ini selama 1-3-7 hari  kepada adat yang dibolehkan dan sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian adat-adat hindu yang masih dilakukan oleh orang-orang yang baru memeluk agama Islam/ muallaf ini, diteruskan dengan bacaan-bacaan dzikir serta do’a-do’a pada Allah swt. yang bisa bermanfaat untuk si mayyit. Sedangkan sajian-sajian yang biasanya oleh kaum Hindu disajikan kepada ruh si mayyit, dirubah oleh para Da’i untuk disajikan kepada para kerabat mereka atau kepada para hadirin yang ada disitu.

Sedangkan waktu pelaksanaan berdzikir dan berdo’a kepada Allah swt. untuk si mayyit  selama 1-3-7 hari atau lebih banyak hari lagi, ini semua boleh diamalkan. Karena didalam syari’at Islam tidak ada larangan setiap waktu untuk berdzikir dan berdo’a kepada Allah swt. yang ditujukan baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Malah sebaliknya banyak riwayat-riwayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk berdzikir dan berdo’a setiap saat, lebih banyak waktu yang digunakan untuk berdzikir dan berdo’a itu malah lebih baik!!

Sekali lagi bahwa para Da’i waktu itu bukannya mengadopsiadat-adat hindu sebagaimana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dua kata-kata mengadopsi dan mengajari itu mempunyai arti yang berbeda!

Jika pikiran golongan pengingkar yang telah dikemukakan dituruti, beranikah mereka ini menuduh puasa sunnah ‘Asyura (10 Muharram) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan beliau anjurkan kepada para sahabatnya sebagai perbuatan meniru-niru orang Yahudi atau sebagai adopsi dari kaum ini? Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu ? Mereka menjawab; Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Kemudian Nabi saw. menjawab: Kami lebih berhak memperingati Musa dari- pada kalian! (Nahnu aula bi muusaa minkum).

Begitu juga Nabi saw. pernah ditanya mengenai puasa sunnah setiap hari Senin, beliau saw. menjawab; ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga (Allah swt.) menurunkan wahyu kepadaku’.Mengapa golongan pengingkar ini tidak menuduh puasa sunnah hari Senin yang dilakukan Nabi saw. untuk memperingati hari kelahiran beliau dan menghormati turunnya wahyu yang pertama, sebagai perbuatan meniru-niru golongan Kristen yang memperingati hari kelahiran Yesus ?

Wahai golongan pengingkar, janganlah kalian selalu mencari-cari alasan untuk melarang orang tahlilan dengan memasukkan macam-macam riwayat atau sejarah yang mana semuanya ini tidak ada sangkut pautnya dengan larangan agama untuk membaca tahlilan dan hanya menambah dosa kalian saja !! Jadi selama ini yang mengatakan menurut ceritera bahwa tahlilan, yasinan adalah warisan atau adopsi dari kepercayaan Animesme, Hindu atau Budha adalah tidak benar! Ini hanya sekedar Dongengan Belakayang diada-adakan oleh mereka yang anti majlis dzikir.

Mereka juga mengatakan seperti biasanya amalan-amalan tersebut adalah Bid’ah, Syirk dan sebagainya karena tidak pernah dilakukan atau dianjurkan oleh Rasulallah saw., para sahabat atau tabi’in, dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sambil mengambil dalil hanya dari beberapa bagian al-Qur’andan Sunnah yang sepaham dengan pikiran mereka dan meninggalkan serta melupakan dari surat-surat Al-Qur’an dan Sunnah yang lainnya. Mereka lebih mengartikan Bid’ah secara tekstual (bahasa) daripada secara Syari’at. (Baca keterangan mengenai Bid’ah).

Ingatlah saudara-saudaraku, mereka ini berkumpul untuk berdzikir pada Allah swt. dengan niat dan tujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya yang mana dzikir ini sudah pasti mendapat pahala karena banyak ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai pahala bacaan-bacaan dzikir (tahmid, sholawat, takbir, tahlil dan lain-lain) yang dibaca dimajlis-majlis tersebut (rujuklah pahala baca Al-Qur’an dan sebagainya dibuku ini). Bila golongan yang tidak senang amalan tersebut serta ingin menyerukan yang baik dan melarang yang munkar/jelek, laranglah dan nasehatilah  secara baik pada orang-orang yang melanggar agama yang pelanggaran tersebut sudah disepakati oleh seluruh ulama madzhab Sunnah tentang haramnya (pelacuran, peminum alkohol dan lain-lain). Janganlah selalu menteror, mensesatkan atau mengharamkan majlis dzikir, tawassul, tabarruk dan sebagainya yang semuanya mempunyai dalil.

Dan janganlah mudah mengafirkan golongan muslimin yang berdosa tersebut selama mereka masih mentauhidkan Allah swt. dan mengakui kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Camkanlah hadits Rasulallah saw. yang mengecam orang yang menuduh muslimin sebagai kafir, fasiq, munafik karena hanya amal perbuatan mereka tersebut !

Bila golongan pengingkar ini tidak mau mengamalkan tawassul, tabarruk, ziarah kubur, kumpulan majlis dzikir dan sebagainya, disebabkan mengikuti wejangan ulama-ulama mereka yang melarang hal tersebut, silahkandan itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada kaum muslimin lainnya yang mencela, mensesatkan mereka atau merasa rugi dalam hal ini, karena semuanya itu amalan sunnah bukan wajib. Tapi janganlah, karena keegoisan dan kefanatikannya pada wejangan ulamanya sendiri, menyuruh dan mewajibkanmuslimin seluruh dunia untuk tidak melaksanakan tawassul, tabarruk, kumpulan dzikir bersama dan sebagainya, sampai-sampai berani mengkafirkan, menghalalkan darahnya, mensesatkan dan memunkarkan mereka karena mengamalkan hal-hal tersebut. Orang-orang yang mengamal kan kebaikan ini sebagai amalan tambahannya serta mereka tidak mensyariatkan atau mewajibkan amalan-amalan tersebut.

Pikiran mereka seperti itu juga akan dibodohkan oleh muslimin, karena banyak  wejangan ulama-ulama pakar yang berkaitan dengan amalan-amalan diatas serta mereka ikut bercengkerama didalam majlis-majlis tersebut ! Bagi non-muslim akan lebih mempunyai bukti atas kelemahan muslimin dan mereka akan berpikiran bahwa agama Islam adalah agama yang suka mencela, tidak toleransi, dengan sesama agamanya saja mereka mensesatkan atau menghalallkan darahnya apalagi dengan kita yang non-muslim !
Perselisihan/perbedaan dalam  hal tersebut seharusnya diselesaikan secara baik oleh sesama ulama-ulama Islam, sehingga bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perbedaan pendapat setiap manusia atau golongan itu selalu ada, tetapi bukan untuk diperuncing atau dipertajam. Setiap golongan muslimin berdalil pada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penafsiran dan penguraiannya. Alangkah baiknya kalau sesama muslim satu sama lain tidak mengkafirkan, mensesatkan pada orang yang senang mengamalkan amalan-amalan sunnah yang baik itu ! Begitupun juga kita harus saling toleransi baik antara muslimin sesamanya atau antara muslimin dan non-muslimin (yang tidak memerangi kita). Dengan demikian keharmonisan hidup akan terlaksana dengan baik.

Telah dikemukakan juga bahwa kita dibolehkan mengeritik, mensalahkan akidah atau keyakinan suatu golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas dilarang oleh agama umpamanya; menyembah berhala, mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai anak Allah swt., menyerupakan/tasybih Allah swt. dengan makhluk-Nya, tidak mempercayai adanya Malaikat, menghalalkan makan babi, main judi, membolehkan orang meninggalkan sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya, ini semua sudah jelas bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Semoga kita semua diberi Taufiq oleh Allah swt. Amin

Keterangan singkat mengenai Peringatan Haul
Orang-orang Arab Jahiliyyah setelah menunaikan haji mereka hanya bermegah-megahan tentang kebesaran nenek moyangnya saja. Kemudian turun perintah Allah swt. agar mereka sebagaimana mereka menyebut-yebut nenek moyangnya agar banyak berdzikir pada Allah swt.:
‘Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-bangga kan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu’. (Al-Baqarah: 200)
Dalam ayat diatas ini, Allah swt. tidak melarang adat mereka setiap tahun setelah usai haji menceriterakan riwayat hidup dan membangga-bangga kan nenek moyangnya, hanya Allah swt. menghendaki agar orang Arab Jahiliyyah disamping membangga-banggakan tersebut juga banyak berdzikir pada Allah swt.!

Sebagian ulama mengatakan ayat ini bisa dijadikan sebagai dalil diboleh- kannya orang-orang setiap tahun memperingati para wali atau sholihin yang telah wafat (Haul). Karena dalam peringatan ini para ulama akan menyebut- kan/mengumandangkan kepada hadirin riwayat hidup para wali/sholihin yang diperingati ini, kemudian diakhiri dengan berdo’a kepada Allah swt. agar  amalan-amalan para wali/sholihin ini diterima oleh Allah swt. dan para hadirin diberi taufiq oleh Allah sehingga bisa mencontoh amal perbuatan para sholihin yang terpuji, dimasa hidupnya mereka.
Kita juga telah membaca beberapa riwayat mengenai ruh-ruh sedemikian besar artinya dan sedemikian tinggi martabat yang dikaruniakan Allah swt. kepada para waliyullah khususnya dan hamba Allah mukminin pada umum nya. Mereka bisa berdo’a pada Allah swt. baik untuk para kerabatnya maupun para hadirin yang berziarah dimakam-makam mereka. Ruh-ruh mereka bisa hadir dimakamnya atau ditempat lainnya yang mereka kehendaki setiap waktu.

Dengan demikian peringatan Haul ini banyak manfaat baik bagi orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Bagi yang sudah wafat mendapat do’a dari jama’ah, fadhilah atau pahala pembacaan Al-Qur’an yang ditujukan kepadanya. Sedangkan berkumpulnya jama’ah (para hadirin) yang membaca do’a ini sudah tentu akan mendapat pahala, rahmat dan berkah dari Allah swt., karena ziarah kubur pada orang muslim yang biasa saja sudah termasuk sunnah Rasulallah saw. apalagi menziarahi para ulama, para sholihin dan para wali yakni orang-orang yang dibanggakan, dipuji oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.

Jika haul yakni berkumpulnya orang banyak untuk ziarah dimuka kuburan para wali sebagai bid’ah, itu sungguh merupakan bid’ah mahmudah (bid’ah yang terpuji) atau bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) karena sejalan dengan kaidah hukum syari’at Islam (baca bab Bid’ah di buku ini).Tidak ada alasan untuk menuduh penyelenggaraan Haul itu bid’ah dholalah (bid’ah sesat) atau haram, selagi tuduhan itu tidak didasarkan pada nash-nash Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. yang dengan tegas dan jelas mengharamkan Haul. Mengharamkan sesuatu yang oleh syara’ tidak diharamkan, apalagi jika tidak disertai dalil yang tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah, itu bukan lain hanyalah omong kosong dan semata-mata mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan sama sekali bukan dari ajaran agama ! Ingat ayat Allah swt. dalam surat Asy-Syuraa:21: “….mereka yang mensyari’atkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak di-izinkan Allah”.

Jadi sesuatu yang menurut asalnya (pada dasarnya) halal tidak boleh diharamkan kecuali atas dasar dalil yang benar dan jelas serta sejalan dengan penegasan Allah dan Rasul-Nya tentang pengharamannya.
Banyak masalah ilmu figih yang tidak menghapus sama sekali adat-adat Jahiliyyah. Nabi saw. meneliti adat-adat Jahiliyyah yang baik dan tidak melanggar syari’at Islam itu boleh diamalkan sedangkan adat Jahiliyyah yang buruk dan melanggar syari’at itu harus dihapus. Umpama hal meminang dalam perkawinan, perceraian, masa iddah dan lain sebagainya ini sudah ada pada zaman jahiliyyah jadi bukan masalah yang baru dalam agama Islam. Rasulallah saw. meneliti kembali masalah-masalah tersebut untuk bisa disesuaikan dengan hukum syari’at Islam.
Demikianlah sekelumit keterangan mengenai peringatan Haul, sebagai tambahan setelah keterangan mengenai tahlilan/yasinan. Semoga Allah swt. memberi petunjuk yang benar kepada kita semua. Amin

Demikianlah keterangan mengenai ziarah kubur, alam ruh dan lain sebagainya, insya Allah semuanya ini bisa memberi manfaat bagi saya sekeluarga khususnya dan semua kaum muslimin, khususnya bagi orang yang mendapati kesalahan informasi mengenai ziarah kubur dan lain-lain yang telah dikemukakan tadi. Semoga hidayah Ilahi selalu mengiringi kita semua. Amin


Shahihnya Hadits Riwayat Thawus Attabi’in dan Umair bin Ubaid : Dalil Selamatan / Kenduri Arwah / Tahlilan 7 hari & 40 Hari
Posted on September 29, 2012 by admin
Dalil-dalil sunat membuat kenduri tahlil arwah:
1. hadis Thawwus:

 ( ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا . فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام . )  
Ertinya “ Berkata Thawwus, bahawasanya segala orang yang mati itu difitnah/diuji akan mereka itu didalam kubur, didalam masa 7 hari. Maka adalah mereka itu ( Para Sahabat) suka bahawa memberi makan mereka itu ganti daripada mereka itu pada demikian itu hari.” ] – Hadits Shahih marfu’

2. Berkenaan hadis Umair bin Ubaid yang sahih yang tiada pertikaian , disudut hubungannya dengan Thawus  tersebut apabila digabungkan (dikompromikan kesemua hadis-hadis tersebut ) beliau  memberi komentar :

عن عبيد بن عمير: قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن أربعين صباحا.


Dari Ubaid bin Umair r.a , berkata “ Difitnahkan (dalam kubur) dia jenis orang , yang beriman dan yang munafik . maka yg beriman difitnahkan/diuji selama 40  pagi (hari)”

3.
عَنْ اَبِىْ ذَرٍّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَيْضًا اَنَّ نَاسًا مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُُُُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ اَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ .
قَالَ اَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ اِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَاَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْىٍ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِى بُضْعِ اَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ اَيَأْتِىْ اَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنَ لَهُ فِيْهَا اَجْرٌ قَالَ اَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ اَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ فَكَذَلِكَ اِذَا وَضضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ اَجْرٌ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Ertinya: Diriwayatkan daripada Abi Zar r.a, telah bertanya oleh beberapa orang sahabat kepada Nabi s.a.w, “wahai Rasulullah telah pergilah orang-orang hartawan dengan pahala yang banyak maka sembahyang mereka itu sepertimana kami sembahyang dan puasa mereka itu sepertimana kami puasa dan bersedekah mereka itu dengan kelebihan daripada kekayaan mereka”. Telah menjawab oleh Nabi s.a.w, “adakah kamu bersusah hati?. Bukankah telah dijadikan oleh Allah bagimu sesuatu yang boleh kamu bersedekah dengannya. 

Sesungguhnya bagi tiap-tiap tasbih itu sedekah, tiap-tiap pujian itu sedekah, tiap-tiap tahlil itu sedekah, menyeru dengan pekerjaan yang baik-baik itu sedekah, melarang kemungkaran itu sedekah dan pada berjimak kamu itu juga sedekah”. Berkata para sahabat, “adakah bagi seseorang kami pahala dengan menunaikan shahwat?”. Jawab Rasulullah s.a.w “bagaimanakah perkiraan kamu jika kamu tunaikan shahwat itu kepada yang haram?, adakah kamu berdosa?. Maka seperti demikian pulalah apabila kamu menunaikan shahwat pada yang halal nescaya bagimu itu pahala”.
 

Hadis riwayat Muslim.
وَرَوَيْنَا فِى سُنَنِ الْبَيْهَقِىْ بِاِسْنَادٍ حَسَنٍ اَنَّ اِبْنَ عُمَرَ اِسْتَحَبَّ اَنْ يُقْرَأَ
عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ دَفْنِ اَوَّلُ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا
Ertinya: Telah kami meriwayatkan di dalam sunan Al-Baihaqi dengan isnad yang hasan bahawa Ibnu Umar menyunatkan bahawa dibacakan atas kubur selepas wafat, awal surah Al-Baqarah dan akhirnya (Kitab Futuhat Ar-Robbaniah Syarah Al-Azkar Nawawiah – juzuk 3 m/s 194).
 

Hadis riwayat Ibnu Mubarak daripada Sulaiman At-Taimi daripada Abi Usman daripada Ma’qil bin Yasar, beliau berkata: “Telah bersabda Nabi s.a.w
اِقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ
Ertinya: Bacalah surah Yasin atas mereka yang mati dikalangan kamu.
Telah mensahihkan hadis ini oleh Ibnu Hibban di dalam kitab Al-Ihsan no 3002.

قَالَ اَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَرُوْزِىْ سَمِعْتُ اَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ يَقُوْلُ اِذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرَ فَاقْرَأُوْا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمَعُوْذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ثَوَابَ ذَلِكَ ِلاَهْلِ الْمَقَابِرِ فَاِنَّهُ يَصِلُ اِلَيْهِمْ
Telah berkata oleh Ahmad bin Muhammad bin Maruzi, aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata “apabila kamu masuk kepada perkuburan baca olehmu surah Fatihah dan mauzatain dan Qulhuallahuahad, lalu kamu jadikan pahalanya bagi ahli kubur. Maka sesungguhnya ia sampai kepada mereka (Ihya’ Ulumuddin).

وَاَمَّا مَا رَأَهُ الصَّالِحُوْنَ فِى الْمَنَامِ فَرُؤْيَاهُمْ كُلُّهَا مُتَوَاطِئَةٌ بَعْدَ مَا يَقْرَءُوْنَ وَيَهْدُوْنَ لِلْمَيِّتِ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى وُصُوْلِ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ اِلَيْهِمْ وَانْتِفَاعُهُمْ بِذَلِكَ لاَ يُحْصى
Adapun barang yang melihat oleh orang-orang soleh pada ketika tidur, maka mimpi mereka itu sekeliannya muafakat mereka itu yakni barang yang mereka baca dan mereka hadiahkan bagi si mati itu sampai pahala bacaan kepada si mati dan mereka mengambil manfaat dengan demikian itu adalah riwayat tersebut tidak terhingga banyaknya.
حَدَّثَناَ هاَشِمُ بْنُ قَاسِمٍ قَالَ حَدَّثَناَ اْلاَشْجَاعِيْنَ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ : قَالَ طَاوُسٌ اِنَّ الْمَوْتَ يُفْتَنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَياَّمَ
Ertinya: Telah berkata oleh Tawus (tabii’n) sesungguhnya orang yang mati itu difitnahkan mereka di dalam kubur selama 

7 hari. Maka adalah mereka (para sahabat) kasih bahawa mensedekahkan makanan kepada orang ramai untuk si mayat pada demikian hari.
وَكَانَ عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ عَذَابٌ يَسِيْرٌ فَاَخَذَ جَدِيْدَةً مِنْ نَخْلٍ وَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ وَغَرَسَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى قَبْرٍ فَقَالَ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا الْعَذَابُ مَا لَمْ يَجُفَّ رَوَاهُ الْبُخَارِىْ
Adalah Nabi s.a.w lalu disamping 2 buah kubur, maka beliau bersabda “azab yang sedikit”. Maka mengambil pelepah kurma daripada pohon kurma lalu membelahnya menjadi dua dan ditanamkan tiap-tiap satu di atas kubur. Lalu baginda bersabda “diringankan azab selama pelepah ini tidak kering”.
(Riwayat Imam Bukhari)


Pembahasan  hadis Thawwus:
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut: scan kitab 

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
 

Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”

———————————————-
Keterangan:

 ( ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا . فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام . )  
Ertinya “ Berkata Thawwus, bahawasanya segala orang yang mati itu difitnah akan mereka itu didalam kubur, didalam masa 7 hari. Maka adalah mereka itu ( Para Sahabat) suka bahawa memberi makan mereka itu ganti daripada mereka itu pada demikian itu hari.” ]

Berkata Sayuti. Katanya : ( Kaanu Yastahibbu )  maknanya, “Adalah manusia buat mereka itu akan demikian itu pada zaman Nabi S.A.W, dan mengetahui ia dengan dia dan tidak engkar Nabi S.A.W atas dia– Al Hawi lil Fatawa juzu’2 m/s 377.

Berkata Ibrahim Al Halabi, didalam Syarah Al Kabir kemudian daripada naqal beberapa nas yang menunjuk atas makruh buat makanan daripada ahli mayat :[ Dan tiada sunyi daripada Nazar (kecedraan yang perlu dibahas), kerana bahawasanya tidak ada dalil atas makruh melainkan hadis Jarir bin Abdillah jua. Kerana bahawasanya melawani akan dia oleh hadis yang diriwayatkan akan dia oleh Imam Ahmad dengan sanad yang sahih. Dan barang yang diriwayat oleh Abu Daud daripada Ashsim bin Kulaib daripada bapanya daripada seorang laki-laki daripada Ansar             

( قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فى جنازة  فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصى الحافر يقول  أوسع من قبل رجليه  اوسع من قبل رأسه  فلما رجع استقبله داعى امرأته فجأ وجىء بالطعام فوضع  بين يديه ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله وسلم يلوك لقمة فى فيه ثم قال انى أجد لحم شاة أخذت بغير اذن اهلها. )
Ertinya, “ Berkata ia, keluar kami serta Rasullah S.A.W pada suatu jenazah, maka lihat aku akan Rasulullah S.A.W dan ia atas kubur berpesan akan yang menggali kubur, perluaskan olehmu akan pihak kaki, perluaskan olehmu daripada pihak kepalanya. Maka takala kembali daripada kubur itu, berhadap akan dia oleh yang menyuruh suruhannya daripada perempuan si mati itu, yakni isteri si mati itu. Maka datang Nabi S.A.W  didatang dengan makanan, maka dihantar dihadapan Nabi S.A.W dan menghantar oleh Sahabat maka makan oleh mereka itu. Dan Rasulullah makan  ia, akan satu suap, kemudian bersabda Ia, “ Aku dapati daging kambing yang diambil dengan tidak izin oleh ahlinya”. Maka ini hadis, menunjuk ia atas harus membuat ahli mayat atas makanan dan seru  (panggil) atas manusia atasnya dan pada setengah riwayat  “imraah.” … dengan tidak ada dhomir. Maka kaedah usul fiqh, mesti kena :             
( حمل المطلق على المقيد )                                                                             
Maksudnya diambil qaid yang muqayyad  itu, buat qayyid pada yang  yang muthlaq  itu. Ertinya ditanggung (lafaz) “ imro ah” yang tidak ada dhomir itu ialah  “imro a ytil mayyit”,  seperti hak dhomirnya itu jua, Wallahu`alam].
Dan lagi barang yang tersebut di dalam kitab Fawakihud Diwani  :
[Dan adapun barang yang membuat akan dia oleh qirobah  ( kaum kerabat ) mayat, daripada makanan dan menghimpun akan manusia atasnya. Maka jika ada ia kerana baca quran dan lain lagi daripada barang yang diharapkan pahalanya bagi mayat, maka tiada mengapa dengan dia. Dan adapun jika kerana lain daripada demikian itu, maka makruh ia. Dan tidak seyogia bagi seseorang makan daripadanya,melainkan jika adalah yang membuatnya itu waris yang baligh lagi cerdik, maka tidak mengapa kita makan dengannya. Dan adapun jika wasiat oleh si mati dengan dibuat akan makanan pada matinya, maka bahawasanya sah pada thulus (1/3) hartanya. Dan wajib diluluskan akan dia, kerana diamalkan dengan fardhunya]- juzu’2 m/s 289.

Adapun kitab Al Anwar :[ Dan adapun jika wasiat seseorang dengan baca quran di kubur atau bersedekah daripadanya, atau umpama demikian itu, nescaya lulus ia] – juzu’ 1 m/s 126.

Adapun  jika buat dengan sebab adat hingga mereka yang tiada kuasa pun tebing ( buat-buat ) juga takut jadi keaiban (kalau tidak dibuat jamuan) , kerana adat jua belaka. Inilah ynag dinamakan Takalluf pada bahasa Arab. Maka inilah yang dinamakan bida’ah yang dicela oleh syarak, yang ditegah oleh segala Ulamak didalam kitab Jawi ( Melayu) dan Arab. Seperti kata Syekh Ibnu Hajar di dalam Tuhfah :[ “Dan bermula barang yang diadatkan, daripada membuat ahli mayat didalam makanan supaya menyeru akan mereka diatasnnya itu, makruh lagi bida’ah. Seperti  (itu juga hukumnya untuk sesiapa yang) memperkenankan (jemputan) mereka itu, kerana barang yang datang daripada hadis yang Sahih daripada Jarir :

                                      
( كنا نعد الأجتماع الى أهل الميت  وصنعهم الطعام  بعد دفنه من النياحة )
Ertinya, “Adalah kami sekelian, sangkakan  berhimpun pada ahli mayat dan buat mereka itu akan makanan kemudian daripada tanamnya setengah daripada meratap (Niyahah) ”].

Maka zahirnya berlawan antara hadis Ashim dan hadis Jarir ini, maka kaedah (usul fiqah)
[ Apabila berlawan dua dalil, wajib dihimpun jika mungkin berhimpun], maka disini boleh dihimpun, maka hadis Ashim itu ditanggungkan atas barang yang dibuat tidak kerana adat. Bahkan buat kerana tarahum dan niat hadiah pahalanya kepada si mati. Dan yang ditegah pada hadis Jarir itu, jika buat kerana adat seperti barang yang kami kata satni (sebentar tadi). Wa Allahu`alam bis Sowab.

Berkata Ibnu Hajar di dalam Tuhfah , juzu’ 3 m/s 207. “Bermula wajah dibilangkan dia daripada Niyahah itu, barang yang ada padanya, daripada bersangat-sangatan beramat- amati dengan pekerjaan kerunsingan dan dukacita” .

Maka ini illat tidak ada pada kebanyakan pada orang jawi kita, dan apabila tidak ada illat tidak ada hukum. Kerana kata mereka itu, “ Bermula hukum itu berkeliling ia serta illatnya, maka murad dengan hukum disini ialah makruh berhimpun dan buat kenduri di rumah si mati”. Wa Allahu` alam.

Maka berhimpun yang dilarang pada hadis Jarir itu jika tidak kerana baca quran dan zikir. Adapun jika berhimpun kerana baca quran dan zikir pada si mati adalah sunat, seperti barang yang  sorih perkataan Imam Nawawi di dalam Majmuk :
(لا كراهة قرأة القرأن مجتمعين  بل هى مستحبة)
Ertinya, “ Tidak makruh baca quran berhimpun bahkan ia itu sunat- juz’1 m/s 126.”Riwayat daripada Abi Hurairah R.A dan daripada Abi Said Al Kudri, ertinya kedua mereka berkata,

(قالا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا يقعد قوم يذكرون الله الا حفتهم الملأيكة وغشيتهم الرحمة وأنزلت عليهم  السكينة )
“Sabda Rasullah S.A.W, tidak duduk oleh satu kaum, menyebut mereka itu akan Allah Taala, melainkan berkelilingi oleh malaikat akan mereka itu. Kerana memuliakan akan mereka itu dan menutupi akan mereka itu oleh rahmat. Dan turun atas mereka itu oleh ketetapan pada hati”. Qauluhu [Yazkuruna] : ertinya, “Barangmana kelakuan daripada segala kelakuan dan barangmana seorang ada ia. Qauluhu [Yazkuruna] : Bermula zikir itu melengkapi akan sembahyang, baca quran dan doa dengan yang lebih pada dunia dan akhirat-Dalilul Faalihin m/s 248. 

Maka kami faham daripada nas- nas ini, bahawasanya baca quran dengan berhimpun itu afdhal, daripada baca seorang diri pada Mazhab kita Syafie. Kerana tidak ada nas daripada alquran dan hadis, melarang tidak boleh baca quran di rumah si mati. Bahkan setengah mereka itu, dia kiaskan makruh baca quran di rumah si mati, dengan baca quran di jamban. Maka ini qias batal, kerana “Qias ma’alfaariq”. Kerana syarat sah qias itu hendak ada jamik antara “maqis” dan “maqisu a`laih”. Maka jauh sekali perbezaan, antara rumah si mati dengan jamban itu, kerana rumah si mati tidak ada najis dan jamban itu kotor (tempat najis), maka disini nyata batal qias itu. Maka jika engkau kata, ijtimak pada hadis Jarir itu, am melengkapi ia, barangmana ijtimak nescaya kami jawab, “ Apa faedah boleh ia datang dengan lafaz ma’rifah pada lafaz al ijtimak”. Maka kami faham daripada lafaz al ijtimak, dikehendaki dengan ijtimak yang membawa kepada niyahah yang dilihat dengan mata kepala sendiri di Mekah sana. Maka dimana- manapun, jika ijtimak seperti itu, “Bidaah Mazmumah Muharamah” pada syarak.
Kerana kaedah:( للوسائل حكم المقاصد)

Murad dengan wasaail itu ijtimak dan murad dengan maqasid itu Niyahah. Dan jika engkau kata, alif lam pada ijtimak itu. Alif lam apa? Nescaya kami jawab, (الف لام للعهد العمى)
(iaitu barang yang hasil pada ilmu mukhatab dengan ketiadaan sebutnya yang telah lalu). Dan makna: العهد , الشيء المعهود Ertinya: suatu yang diketahui.

Dan jika engkau kata : (الف لام للاستغراق الجنس )?.
Nescaya kami jawab tidak betul, kerana syarat     الف لام للاستغراق الجنس    itu bahawa sah kita letak lafaz  (كل)kullu pada tempat dia itu. Maka disini tidak sah kerana jadi fasad (rosak) makna, kerana bunyi maknannya:
(كل اجتماع وصنع الطعام من اهل الميت من النياحة )
Ertinya, tiap- tiap berhimpun dan buat makan daripada ahli mayat daripada niyahah, maka ini nyata fasad (rosak makna).

Ini kesemuanya jika kita berlaku atas qaul yang berkata hadis Jarir itu marfu’. Adapun jika kita berlaku atas qaul yang berkata hadis Jarir itu mauwquf,  tidak jadi hujjah ( yakni tidak boleh buat dalil dengan dia), kerana syarat perkataan Sahabi ( hadis mawquf ), hendak jadi marfu’ itu, jika ia idofat kepada Rasulullah S.A.W, seperti dia kata :
كنا فى زمن النبى  كذا وكذا  اتو كنا فى حياته كذا وكذا….
seperti barang yang berkata oleh jumhur Muhaddisin dan Ashabul fiqh wal Usul. Dan berkata Imam Nawawi dalam syarah Muslim, “Adakah ia, yakni hadis Mauwquf  itu, jadi hujjah atau tidak?”. Ada padanya dua qaul, bagi Imam kita Syafie yang masyhur keduanya. Bermula yang Asah, ialah Qaul Jadid, baginya tidak menjadi hujjah dengan hadis Mauwquf. Dan yang kedua, ialah Qaul Qadim baginya ini dhoif. Maka apabila berlaku kita, atas qaul yang berkata tidak menjadi hujjah, maka bermula Qiyas didahulukan atasnya dan harus bagi Tabi’in menyalahi akan dia, yakni harus kita tidak berdalil dengannya.-Syarah Muslim juzu’1 m/s 45 — mulakhisan ( Diringkaskan).
Maka difaham daripada perkataan Imam Nawawi ini, tidak boleh kita bermudah- mudah hukum dengan kufur orang itu dan kufur orang ini, dengan makanan kenduri dan baca Qul`hu wallah di rumah si mati. Takut terbalik kepada yang berkata, wa`iyya zabillah.
Tammat.


Ulasan: Bagi saya,  jawapan daripada Tuan guru ini adalah sejelas-jelas hujjah dan memadai serta merangkumi seluruh jawapan dan hujjah para ulama Melayu . Jawapan yang ringkas serta padat dengan hujjah yang Ilmiyah . Syukur Alhamdulillah , dapat  kita menumpang ilmu Tuan Guru kita serta boleh dijadikan asas pengkajian selanjutnya. Kita cuba ringkaskan jawapan tuan Guru kita ini :
1.     Kenduri arwah hukum asalnya Harus . boleh bertukar hukumnya mengikut niat pembuatnya.  Berdasarkan kaedah Feqah : “Semua perkara mengikut Niat”.
2.     Jamuan makan adalah perkara yang terpuji didalam Islam selama mana mengikut lunas-lunasnya.
3.     Tuan Guru mendasarkan hadis Thawwus yang sahih isnadnya , menunjjukkan amalan jamuan makan yang berkaitan kematian telah berlaku semenjak zaman Salaf As Soleh lagi.
4.     Semua dalil-dalil atau hadis-hadis yang zohirnya menunjjukan larangan mengadakan kenduri / jamuan yang berkaitan dengan kematian , mempunyai masalah . Kalau tidak disudut sanad/isnad maka disudut maknanya.
5.     Tuan Guru telah membuktikan kepakaran beliau dibidang Usul Fiqah dengan mencerna hadis-hadis yang berkaitan, dengan kaedah-kaedah Usul yang mantap. Kepakaran beliau  ini telah maklum  bagi sesiapa yang mengenali beliau.
6.     Hadis Mauwquf riwayat Jarir tidak boleh dijadikan hujjah mengharamkan kenduri / jamuan makan dimajlis kematian lantaran ketiadaan sah sebagai dalil keharaman disudut maknanya  dan disudut isnad kerana ketiadaan rofa’ nya kepada Nabi s.a.w.
7.     Semua kenyataan yang memakruhkan adalah ditujukan kepada majlis jamuan yang jikalau diadakan akan membangkitkan kesedihan, ratapan dan pemberatan atas ahli mayyit. Ini dinamakan illah-illat atau sebab bagi hukum Makruh atau haram. Sedangkan ia kebiasaannya tiada berlaku dikalangan orang-orang Melayu.
8.     Membaca al-quran di kuburan adalah sunat hukumnya. Tidaklah pembacanya dinamakan penyembah kubur. Mengqiyaskan bacaan dikuburan sebagai membaca al-Quran diTandas adalah suatu yang keterlaluan dan tidak mengikut ciri-ciri qiyas yang sebenar.
9.     Tuan guru menasihatkan mereka yang kontra agar tidak keterlaluan sehingga menghukum kufur mereka yang mengadakan Tahlil / kenduri/ bacaan al-Quran dikuburan sebagai   {kuburiyyun}.
10.                        Dan Ilmu Tuan Guru ini boleh di cerna sehingga terhasil satu kertas kerja yang tebal  yang akan memantapkan keharusan mengadakan Kenduri Arwah atau  Tahlil Arwah.  Wallahu a’lam.
              
 Kesahihan Hadis Thawwus r.a.

Dalam Kitab Al Hawi lil Fatawa m.s 178 , juzuk 2 :

( ذكر الرواية المسندة عن طاوس )  قال  الامام أحمد بن حنبل رضى الله عنه فى كتاب الزهد له : . حدثنا هاشم بن القاسم قال : حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام.
قال الحافظ أبو نعيم فى الحلية :   . حدثنا أبو بكر بن مالك ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل ثنا أبى ثنا هاشم بن القاسم ثنا الأشجعى عن سفيان قال : قال طاوس : ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام .

( ذكر الرواية المسندة عن عبيد بن عمير ): قال ابن جريج فى مصنفه عن الحارث بن أبى الحارث عن عبيد بن عمير قال :
يفتن رجلان مؤمن و منافق فاما المؤمن فيفتن سبعا . واما المنافق فيفتن أربعين صباحا .

  الكلام على هذا من وجوه .

( الوجه الاول ) رجال الاسناد الأول رجال الصحيح – و طاوس من كبار التابعين . قال ابو نعيم فى الحلية : هو أول الطبقة أهل اليمين , و روى أبو نعيم عنه انه قال : أدركت خمسين من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم . وروى غيره عنه قال : أدركت سبعين شيخا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم . قال ابن سعد : كان له يوم مات بضع وتسعون سنة .
وسفيان- هو الثورى- وقد أدرك طاوسا فان  وفاة طاوس سنة بضع عشرة  ومائة فى أحد الأقوال , ومولد سفيان سنة سبع وتسعين الا أن أكثر رواته عنه بواسطة .     

Sudut pertama: Sanadnya.
Kedua-dua hadis tersebut adalah Sahih Isnadnya dan Marfu’. Imam As Sayuthi mengulas dalam kitab tersebut katanya:
 Rijal Isnad hadis yeng pertama adalah rijal yang sahih. – Thawwus – seorang dari kalangan pembesar Tabi’en. Abu Nuim berkata dalam kitab al Hilyah beliau : Beliau ( thawwus ) adalah dikalangan angkatan pertama dari orang Yaman . Abu Nuim juga meriwayatkan , Thawwus berkata: Saya berjumpa 50 guru dari kalangan Sahabat Rasulullah  s.a.w.  ( Berkata Ibnu Sa’ad : Pada hari kewafatannya beliau berumur awal 90 tahun. Sufiyan Athhawri Sesungguhnya menjumpai Thawwus , maka sesungguhnya kewafatan beliau awal tahun 110 hijrah menurut salah satu pendapat, sementara Sufiyan Athhawri pula dilahirkan pada tahun 97 hijrah  tetapi (sekalipun ) kebanyakan riwayat beliau dari Thawwus adalah melalui wasitah perantaraan seseorang (maka itu tidak jadi muskil sebab “kebanyakan” tidak menafikan terdapatnya sebahagian riwayat Sufian dari thawus tanpa wasithah.)}         


Sudut kedua: Maknanya:

قال الرافعى فى شرح المسند : مثل هذا اللفظ يراد به أنه كان مشهورا فى ذلك العهد من غير نكير . فقول طاوس ذلك فكانوا يستحبون : ان حمل على الرفع كما هو القول الأول كان ذلك من تتمة الحديث المرسل ويكون الحديث اشتمل على امرين: احدهما أصل  اعتقادى وهو فتنة الموتى سبعة ايام. والثانى حكم شرعى فرعى وهو استحباب التصدق والاطعام عنهم تلك الأيام السبعة . كما استحباب سؤال التثبيت بعد الدفن ساعة ويكون مجموع الأمرين مرسل الاسناد لاطلاق التابعى له وعدم تسمية الصحابى الذى بلغه ذلك  فيكون مقبولا  عند من يقبل المرسل  مطلقا . و عند من يقبله  يشرط الاعتضاد لمجيئه عن مجاهد, وعن عبيد بن عمير . وحينئذ فلا خلاف بين الأئمة فى الاحتجاج بهذا المرسل.        
Ertinya: Imam Rafie r.a berkata didalam Syarah Musnad: Perkara yang seumpama lafaz  ( yang diucapkan oleh Thawus ) ini , yang dikehendaki maksudnya bahawa berlaku pada masa  ( para Sahabat) tersebut tanpa ada pengingkaran. Maka perkataan Thawus r.a yang tersebut : “ Maka adalah mereka menyukai”.  Jika diihtimalkan (di maksudkan) ianya adalah marfu’ sebagaimana pendapat yang pertama, nescaya adalah yang demikian menyempurnakan Hadis Mursal. Dan jadilah hadis Thawus tersebut melengkapi dua perkara: Pertamanya ; Asal I’tiqod. Yaitu fitnah kubur bagi mayyit-mayyit dalam masa 7 hari. Keduanya; Hukum  Syara’ yang cabang; yaitu KESUNNATAN bersedekah dan menjamu makan ganti daripada mereka (maksudnya bersedekah makanan untuk disedekahkan pahalanya kepada mayyit) selama 7 hari selepas kematian. Himpunan dua sebab tersebut menjadikan nya Isnad yang Mursal kerana ditujukan kalimat Tabi’en kepada Thawus, tidak di dinamakan beliau sebagai Sahabat yang telah memberitakan kepada nya berita tersebut. Maka jadilah ia Maqbul disisi mereka yang menerima Hadis Mursal sebagai hujjah secara muthlaq  dan Maqbul juga disisi mereka yang mensyaratkan terdapat penguat-penguat (untuk diterima sesuatu hadis Mursal) kerana adanya hadis Mujahid dan Ubaid bin Umair .
Maka ketika itu tiada Ikhtilaf pendapat dikalangan para imam untuk berhujjah dengan Hadis Mursal
 (Thawus) ini.   Tammat.



As- Sayuthy  berkata dimuka surat 185:
        
فالحديث مقبول ويحتج به لأن الامر دائر بين أن يكون متصلا وبين أن يكون مرسلا. وضده مرسلان آخران. وفعل بعض الصجابة أو كلهم أو كل الأمة فى ذلك العصر فهذا تقرير الكلام على قبول الحديث والأحتجاج به من جهة فنى الحديث او الأصول . والله أعلم. ص 185
Maka hadis Thawus  tersebut Maqbul( diterima disisi ulamak hadis ) dan dibuat hujjah dengannya , kerana perkara beredar diantara bahawa samada dihukumkan muttasil dan antara mursal. Sedangkan yang berlawanan dengan hadis Thawus itu pula adalah mursal  kedua-duanya.

Sementara “perbuatan sebahagian sahabat atau perbuatan semua mereka ” ,  atau “ perbuatan kesemua umat yang berada dimasa tersebut” pula maka ini memaksudkan satu pengakuan atas qobulnya hadis tersebut dan berhujjah dengannya dari dua sudut yaitu pelajaran hadis dan usul fekah.
  
Berkenaan hadis Umair bin Ubaid yang sahih yang tiada pertikaian , disudut hubungannya dengan hadis Thawus  tersebut apabila digabungkan (dikompromikan kesemua hadis-hadis tersebut ) beliau  memberi komentar :

عن عبيد بن عمير: قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن أربعين صباحا.


Dari Ubaid bin Umair r.a , berkata “ Difitnahkan (dalam kubur) dia jenis orang , yang beriman dan yang munafik . maka yg beriman difitnahkan selama 40  pagi (hari)”


ان قال القائل : لم يرد فى سائر الأحاديث تصريح بذكر سبعة أيام. قلنا : ولا ورد فيها تصريح بنفيها ولا تعرض لكون  الفتنة مرة أو أكثر بل هى مطلقة صادقة بالمرة وبأكثر . فاذا ورد ذكر السبعة من طريق مقبول وجب قبوله وكان عند أهل الحديث من باب  زيادات الثقات المقبولة وعند أهل الأصول من باب  حمل المطلق على المقيد.


Jika berkata orang yang bertanya “ Tiada warid pada seluruh hadis-hadis  tersebut keterangan dengan menyebut 7 hari?. Kami menjawab:Tiada jelas juga  menafikan (7 hari)  dan tiada warid juga ( acara) keadaan masa fitnah tersebut  sekali atau banyak , bahkan muthlak , boleh dikatakan sekali atau banyak. Maka apabila telah  warid  sebutan “7 hari” yang datang dari jalan periwayatan yang maqbul  , wajiblah menerimanya . Adalah disisi ahli hadis  dikatakan bab “ Tambahan dari rawi yang thiqah , adalah diterima”. Sementara disisi ahli usul pula termasuk dalam kaedah “ mengihtimalkan yang muthlak atas muqayyad”.  
Tammat  muka surat 187.


Ringkasan: Hadis Thawus ini adalah  Mursal yang Marfu’ pada maknanya samada pada perkara Tauhid yaitu “Fitnah Kubur” atau  Furu’ Fekah yaitu “Sunat membuat jamuan makan selepas kematian selama 7 hari ”. Kesimpulan hadis tersebut, matan hadis adalah diterima pakai dari awal hingga akhirnya, samada berkenaan perkara akidah azab kubur  maupun adanya acara kenduri 7 hari yang dilakukan salaf .Ini kerana kaedah “ TAMBAHAN PARA RAWI THIQOH , DITERIMA”.  Oleh itu jika diterima berita azab , wajib juga diterima berita berkenaan adanya acara kenduri jamuan makan sebab kematian yang pernah dilakukan oleh Para salaf as-Soleh. 




 Ada setengah orang menuduh Tuan-tuan  Guru pondok telah tergesa-gesa mensahihkn hadis kenduri 7 hari Imam Sayuthi tersebut?.  Siapa pula yang tergesa-gesa mensahihkan hadis yang memang telah telah disahihkan oleh Imam Sayuthi itu. Yang mana Imam Sayuthi telah menyatakan kesahihannya berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah. Bukan fikiran rasa-rasa taksub pada pendapat sendiri. Kalau pembantah cuba untuk menolak pentashihan Imam Sayuthi tersebut, silakan dan cuba lah buat sedaya upayanya  dengan apa jalan pun. Habis bahas pun akan berakhir juga  dengan kesimpulan  itu perkara ikhtilaf yang telah diizinkan oleh Syariat Allah s.w.t dan Rasulullah s.a.w.   

Ada pula setengah yang lain pula cuba mentarjih dan tajrih hadis A’shim Kulaib tersebut , mana yang mahfuzh , mana yang tidak mahfuzhnya…. Dan dikomentari dengan ayat-ayat yang seolah-olahnya hadis Ashim bin Kulaib  itulah semata-mata tunjang dalil kenduri arwah yang diamalkan masyarakat?..
Tak ada sesiapa pun dikalangan ulamak yang mengharuskan kenduri tahlil arwah dengan semata-mata berteraskan hadis ‘ashim tersebut.  Hadis tu  sebahagian dalil sokongan. Bukan asasnya. Lagi pula pendapat dan komen para muhadisin terhadap status hadis yang menyebut  “penyeru isteri mayat” dengan muqayyad itu  telah berikhtilaf ulamak. Ada yang mensahihkannya bukannya takde seperti dakwaan pembantah.  Jadi apa salahnya beramal dengan hadis-hadis yang begitu. Ke saja nak taksub ke pendapat sendiri?..
Ini perbahsan  berkenaan hadis-hadis yang seperti ini yang sangatlah panjang. Kalau nak meluaskan pengetahuan rajin-rajin lah membelek kitab-kitab musthalah dan usul fikah.      
 
Akhirnya:
Perbahasan yang panjang lebar telah di bawakan oleh Imam Sayuthi didalam kitab beliau Al Hawi lil Fatawa juzuk 2 . m.s 178-196 , hampir 19 muka surat membahaskan hadis tersebut , samada disudut sanadnya maupun maknanya. Sesiapa yang berminat bolehlah merujuk kitab tersebut.  Wallahu a’lam.

Saya menyeru kepada mereka yang berkebolehan dalam menyelidik dalil-dalil,  terutamanya Tuan-tuan Guru dan para penuntut Ilmu , agar lebih peka untuk memberi penerangan dengan lebih jelas kepada masyarakat berkenaan perkara sebegini . Sekalipun ianya dianggap perkara kecil , furu; remeh tetapi akan menjadi perkara besar jika sampai ketahap membid’ah dan menghukum kufurkan segolongan besar umat Islam. Lihatlah kepada usaha-usaha mereka yang semakin berkembang terutamanya dikalangan mereka yang tiada asas pengetahuan agama.  

Setelah kita meneliti dan menghalusi perbincangan , dimanakah lagi logik dan betulnya dakwaan mereka yang mengharamkan dan membid’ahkan kenduri arwah dengan alasan-alasan yang keliru dan samar? . Alasan yang remeh temeh, yang hanya menunjjukan kebodohan diri sendiri disisi para ilmuan?.  Alasan yang sentiasa bertukar-tukar apabila ternyata rapuh setelah dijawab . Maka mudahan-mudahan risalah ini dapat meredakan ketegangan yang sentiasa akan menyala apabila ditiup oleh mereka yang nampaknya bagus ideanya tapi hakikat batinnya siapa yang tahu hanya Allah saja, mungkin mencari publisiti saja.
Sesiapa saja yang membaca risalah ini , jika terdapat musykil, sila lah merujuk kepada ahlinya atau berhubung terus dengan penulis untuk mendapat penerangan lanjut.  Wassalam.

Dalam qasidah Nuniyyah (bait ke 4058) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama “Diantara amalan yang paling utama dalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”.
Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan takdzim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia
menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata (bait 4048).
Hal ini sangat kontradiksi dengan pemandangan sekarang. Suasana khusyu’ dan khidmat di makam Nabi SAW kini berubah menjadi seram. Orang-orang bayaran wahhabi dengan congkaknya membelakangi makam Nabi yang mulia. Mata mereka memelototi peziarah dan membentak-bentak mereka yang sedang bertawassul kepada beliau SAW dengan tuduhan syirik dan bid’ah. Tidakkah mereka menghormati jasad makhluk termulia di semesta ini..?  Tidakkah mereka ingat firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara  keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap  yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS Al Hujarat, 49: 2-3).

Ibnu taymiyah dan imam madzab iktiraf sampainya hadiah pahala
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barang siapa  mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah pahala orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.
Lebih lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah “dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39) ia menjelaskan, Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang
hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya.
Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain”
Dalam kitab Ar-Ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal. Bahkan tak tangung-tanggung Ibnul Qayyim menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman tentang hal tersebut.

0 komentar:

Yang Mampir

Flag Counter

Translate

Paling Banyak Dibaca

Diberdayakan oleh Blogger.
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail