MUSHAF MUSHAF
BAB I
[23]Lihat Abdul Moqsith Ghazali, dkk, Metodology Studi al-Qur’an (Jakarta: PT Gramedia, 2009) h. 27.
BAB II
Mushaf Ali
Kata Mushaf atau Shuhuf berasal dari bahasa Arab Selatan kuno. Kata shuhuf bentuk jamak dari shahifah yang
berarti selembar bahan yang digunakan untuk tempat menulis, tetapi
berbagai lembaran tersebut masih terpisah-pisah tidak terjilid.[3]
Mushaf al-Qur’ān adalah berbagai
lembaran yang memuat catatan tentang ayat-ayat al-Qur’ān yang masih
terpisah-pisah dan tidak dijilid atau dibukukan dalam satu buku khusus.
Jadi
mushaf adalah kumpulan wahyu al-Qur’an dalam bentuk catatan tertulis.
Dalam konteks ini, jika al-Qur’an bersifat terbuka maka mushaf merupakan
wahyu tercatat yang sudah tertutup. Al-Qur’an dibaca dan dihapal secara
lisan oleh para sahabat Nabi dengan berbagai bacaan yang berbeda, baik
baris/harakat, huruf, maupun lafaz/kata. Sedangkan mushaf merupakan
bacaan dan catatan al-Qur’an menurut versi tertentu yang bentuknya
sesuai dengan pengetahuan atau kebiasaan sahabat yang mencatatnya.
Pada
awalnya bentuk mushaf al-Qur’an beragam atau bermacam-macam. Namun
nantinya pada era khalifah Utsman mushaf yang beragam itu diseragamkan
menjadi satu mushaf, yang sampai saat ini dikenal sebagai Mushaf Utsmani.
Ketika standarisasi mushaf terjadi, maka dampaknya tidak sebatas
penyeragaman bentuk, tetapi juga berpengaruh terhadap pembatasan dalam
pemahaman dan keleluasaan dalam mengungkapkan bacaan al-Qur’an dan
pemaknaannya. Di sinilah Arkoun menegaskan bahwa penyeragaman mushaf
sebenarnya berakibat kepada upaya penyeragaman pemahaman, dan lebih jauh
lagi pembakuan mushaf tersebut juga dapat berakibat kepada pembekuan
pemikiran.
B. Keragaman Penulisan al-Qur’an
Catatan-catatan
al-Qur’ān dari masa Rasul SAW yang masih berserakan dikumpulkan oleh
Zaid ibn Tsabit atas instruksi Khalifah Abu Bakar Shiddiq. Kumpulan
catatan tersebut dinamakan Mushaf. Setelah wafatnya Abu Bakar, maka
mushaf tsb disimpan oleh Umar. Ketika Umar meninggal, maka mushaf tsb
disimpan oleh Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab.
Di
samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak
masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai
mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka
masing-masing, atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam.
Mushaf-mushaf yang terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay
bin Ka’ab, mushaf Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
Masing-masing versi mushaf memiliki perbedaan, banyak atau sedikit, sebagai berikut:
1. Mushaf Ali bin Abi Thalib
Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh mushaf lainnya. Karakter khusus mushaf ini adalah:
a. Ayat dan surat tersusun rapi sesuai dengan urutan turunnya, maka ayat-ayat makkiyah diletakkan sebelum ayat-ayat madaniyah, ayat-ayat yang turun masa awal diletakkan lebih dahulu dari pada ayat-ayat yang turun belakangan.
b. Bacaan yang tercantum dalam mushaf ini lebih mendekati keaslian sehingga lebih sesuai dengan bacaan Rasul;
c.
Ada catatan tanzil dan takwil di tepi mushaf yang menjelaskan situasi
dan kondisi serta latar belakang ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
Penjelasan ini sangat berguna dalam menggali maksud ayat-ayat al-Qur’an
diturunkan serta menyingkap makna-makna ayat yang masih samar.
Dari
mushaf Ali ini sebenarnya banyak manfaat yang dapat digali, antara lain
dapat diketahui perjalanan tasyri’ hukum, proses gradualisasi dakwah,
dan pentahapan ajaran Islam, demikian pula proses nasikh dan mansukh
dalam al-Qur’an. Seandainya mushaf Ali ibn Abi Thalib ini masih ada saat
ini tentu akan banyak problem dalam memahami al-Qur’an akan teratasi.[4]
2. Mushaf Ibn Mas’ud
Mushaf Ibn Mas’ud memiliki ciri yang juga berbeda dari mushaf lainnya, yaitu:
a. Hanya memuat 111 surat dan minus surat al-Fatihah dan al-Mu’awwizatain (surat al-Falaq dan an-Nas).
b. Kata-kata dalam ayatnya banyak berbeda dengan kebanyakan catatan sahabat lain, karena menurutnya kata-kata al-Qur’ān boleh diganti dengan sinonimnya, baik untuk lebih menjelaskan maknanya, atau agar mudah dibaca orang suku tertentu.
c. Sebagian kata dalam ayat diganti dengan kata lain dengan maksud agar lebih jelas. Misalnya kata shauman (puasa) dalam surat Maryam ayat 26 diganti shamtan (diam), karena meksud ayat tersebut adalah nazar berpuasa untuk diam tidak berkata-kata.[5]
3. Mushaf Ubay ibn Ka’ab:
a. Urutan surat berbeda dengan urutas mushaf Utsmani.
b.
Jumlah surat lebih banyak, dengan tambahan surat al-Khal’u dan al-Hafdu
yang keduanya memuat doa qunut, karena menurut Ubay kedua doa tsb
termasuk yang diwahyukan.
Doa Khal’u sbb:
اللهم انا نستعين بك ونستغفرك و نثني عليك الخير ولا نكفرك ونخلع
Doa Khafdhu sbb:
بسم االله الرحمن الرحيم اللهم اياك نعبد ولك نصلي ونسجد واليك نسعى ونخفض
c. Surat al-Fiil dan al-Quraisy disatukan karena dianggap satu surat dan tidak dimulai dengan Basmalah.[6]
d. Surat az-Zumar diawali dengan “Hamim”, sehingga dalam al-Qur’ān terdapat 8 surat yang dimulai dengan “Hamim”.
e.
Dalam mushaf Ubay ini banyak terdapat bacaan yang berbeda dengan bacaan
masyhur, seperti beberapa kata dalam ayat-ayat tertentu diganti dengan
kata-kata lain yang dianggap sinonim dan maknanya tetap sama.[7]
Misalnya Q.S. Yaasin ayat 52:
(#qä9$s% $uZn=÷ƒuq»tƒ .`tB $uZsVyèt/ `ÏB 2$tRωs%ö¨B 3
Dalam Mushaf Ubay tertulis:
(#qä9$s% $uZn=÷ƒuq»tƒ .`tB هبانا `ÏB 2$tRωs%ö¨B 3
Demikian pula pada Q.S. al-Baqarah ayat 20:
ߊ%s3tƒ ä-÷Žy9ø9$# ß#sÜøƒs† öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 (#öqt±¨B ÏmŠÏù
Dalam Mushaf Ubay tertulis:
ߊ%s3tƒ ä-÷Žy9ø9$# ß#sÜøƒs† öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 مروا ÏmŠÏù
Kadang-kadang dalam mushaf Ubay terdapat kalimat tambahan yang tidak ditemukan dalam mushaf lain, misalnya Q.S. al-Baqarah 196:
(#q‘JÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ...4 `yJsù öN©9 ô‰Ågs† ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$ƒr& ’Îû Ædkptø:$#
Dalam Mushaf Ubay ibn Ka’ab tertulis:
ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$ƒr& متتابعين’Îû Ædkptø:$#
Masih
banyak mushaf lain yang krang terkenal, yang juga berbeda jika
dibandingkan dengan mushaf Utsmani a.l. mushaf ‘Aisyah dan mushaf Anas
ibn Malik.[8]
Bentuk-bentuk
perbedaan di antara mushaf sahabat berupa sistem penulisan,
susunan/urutan, bacaan, jumlah surat dan ayat, serta tambahan atau
pengurangan tertentu.
Demikianlah
para sahabat memiliki mushaf masing-masing. Sahabat yang tidak memiliki
catatan akan meminta bantuan agar dibuatkan sebuah naskah mushaf sesuai
dengan yang diinginkan. Wilayah Islam yang semakin luas menyebabkan
semakin banyak jumlah dan macam-macam mushaf. Apalagi kebutuhan umat
Islam terhadap al-Qur’ān semakin meningkat. Perbedaan
antar mushaf di atas disebabkan banyak faktor. Di samping memang banyak
yang tidak memiliki hubungan kegiatan dan kerjasama dalam penulisan,
sebab lainnya adalah karena perbedaan kemampuan dalam kegiatan
penulisan, sehingga menyebabkan perbedaan dalam sistem, bacaan, susunan,
dll.
Walaupun demikian, masing-masing
mushaf di atas mendapatkan penghormatan tinggi di dunia Islam saat itu,
sesuai dengan domisili sahabat yang menulis mushaf atau umat Islam yang
mempelajarinya. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, menjadi rujukan
penduduk Kufah.[9] Contoh
lain adalah mushaf Ubay ibn Ka’ab yang banyak dipelajari dan dirujuk
oleh penduduk Madinah. Demikian pula mushaf Abu Musa al-Asy’ari di
Basrah dan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad di Damaskus.
C. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
Dalam
perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan sahabat
besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan
di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan
berbagai bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang
satu sama lain sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān
versi mereka sebagai bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam
yang salat berkelompok-kelompok dalam satu masjid, sesuai
dengan bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi
terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan
penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi di
kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan
sahabat. Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān
dan penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang
belakangan yg tidak menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan
kurangnya pengetahuan justru menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi
perbedaan demikian, terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari
pusat pemerintahan di Madinah atau di Makkah, atau di kalangan umat
Islam yang banyak masih baru memeluk Islam atau jarang bertemu dengan
banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam peperangan di Armenia,
umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi
demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada Khalifah
Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan membaca
mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu riwayat
dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn
Mas’ud yang menolaknya.[10]
Komite
penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan Zaid
ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong
muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui
tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman,
apalagi ketika ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud
menilai penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan
umat dalam membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh
Nabi SAW sejak masa awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada
di tangah Khalifah Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an
terus dijalankan. Untuk mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan
tersebut dibimbing oleh Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas ibn
Malik, dll.[11]
Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2 atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman.[12]
Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar yang menjadi acuan
satu-satunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini dinamakan
Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda
dari mushaf standar ini harus dimusnahkan dengan cara dibakar
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1.
Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada perbedaan
sedikit dengan beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan surat.
Misalnya jika mushaf sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam
tujuh surat besar dan di urutuan ke-7, maka mushaf Utsmani
menggolongkannya ke dalam kelompok Ma’in. Ini menunjukkan bahwa susunan
al-Qur’ān yang ada saat ini adalah hasil ijtihad sahabat, dan bukan tauqifi dari Allah SWT atau Nabi SAW.[13]
2. Tanda baca seperti titik dan harakat tidak ada, sehingga masih sulit membedakan huruf dan tata bahasa (i’rab dan wazan kalimat). Beberapa contoh kesalahfahaman dalam bacaan kalimat misalnya:
- Sulit dibedakan “yablu, nablu, tablu, tatlu, yatlu, natlu”
- Sulit membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu, na’lamuhu, bi’ilmihi’, dll.
- Maka ayat “litakuuna liman khalfaka ayatan” sering dibaca “litakuuna liman khalaqaka ayatan”.
- “Nunsyizuha, Nunsyiruha, Tunsyiruha”. (Al-Baqarah: 259)
- “Yuallimuhu, nu’allimuhu, ya’lamuhu, na’lamuhu”( S. Ali ‘Imran: 48)
- “Nunajjika” atau :Nunahhika” (Yunus 92).
- “Lanubawwiannahum” atau “lanubawwiyannahum”.
3. Tata tulisan tidak konsisten sebagai akibat kesalahan dalam imla’ dan penulisananya, misalnya :
- الكتاب kadang ditulis dengan الكتب
- الرحمان banyak ditulis dengan dengan الرحمن
الصلو ة – الزكوة ditulis menjadi الصلاة – الزكاة-
- اختلاف اليل و النهار menjadiاختلف اليل و النهار
- Ada penulisan “basthah” dengan huruf sin, ada pula penulisannya dengan huruf shad menjadi “Bashthah”, demikian pula pada kata “Yabsuthu” ditulis dengan “Yabshuthu”, dll
Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan penulisan di atas bukan perintah dari Nabi atau hal yang bersifat Tauqifi. Hal itu juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah
di awal surat yang memang mengandung misteri dan mutawatir. Semua
kesalahan itu memang dilakukan oleh tim penulis yang dibentuk Utsman,
baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya atau tidak”.[14]
D. Respon Nabi SAW Terhadap Perbedaan Bacaan al-Qur’an.
Pembacaan
al-Qur’ān pada masa Nabi saw ternyata sangat dinamis, ada toleransi
keragaman dan perbedaan dalam huruf, bunyi, ucapan, kata bahkan juga
tulisan, sepanjang tidak mengubah maksud dan tujuan ayat itu sendiri.
Maka
perbedaan dalam pembacaan dan pencatatan al-Qur’ān yang menimbulkan
keragaman mushaf memang ada dan terjadi di kalangan sahabat. Data bukti
tersebut ditemukan dalam banyak dokumen otentik, baik dari hadis maupun
kutipan para ulama dalam berbagai kitab tafsir dan ulum al-Qur’ān.
Hadis riwayat Imam Muslim berikut ini menjelaskan keragaman bacaan di kalangan sahabat dan sikap toleran Nabi dalam meresponnya:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ
الْقَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُا سَمِعْتُ
هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى
غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ
أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ
بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ
عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ الَّتِي
سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ
هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ
أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ [15]
Hadis
di atas secara tegas menunjukkan kebolehan berbeda dalam membaca
al-Qur’an berdasarkan pernyataan Nabi yang berbunyi “ ... sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam huruf (tujuh macam bahasa Arab) maka bacalah dengan cara yang mudah“.
Hadis-hadis
semakna dan searah dengan hadis di atas hampir bernilai mutawatir
karena sangat banyak jumlahnya. Berbagai hadis tersebut secara jelas
membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan berbagai bahasa Arab yang ada
saat itu, baik Arab Quraisy atau lainnya.
Para ulama memberikan makna “tujuh huruf” dengan makna beragam, yaitu makna:
1. Bacaan (Qiraat) seperti pendapat Ibn al-Jazari, misalnya dalam ungkapannya “Penduduk Syam ketika membaca al-Qur’ān, membacanya dengan bacaan (biharfi) Ibn ‘Amir”.[16] Menurut Khalil ibn Ahmad, pendapat yang mengartikannya sebagai qiraat atau cara bacaan adalah lemah.[17]
2. Makna atau arah (al-makna wal jihat) seperti pendapat Muhamaad ibn Sa’dan an-Nahawi (w. 231 H).[18]
3. Tujuh macam ilmu, terutama tauhid dengan berbagai cabangnya.
4. Tujuh macam pemaknaan al-Qur’ān, yaitu muthlaq - muqayyad, ‘amm - khas, nasikh – mansukh, mujmal – mufassar, dll.[19]
5. Banyak
(Tujuh) makna yang sama (sinonim) pada kata-kata yang berbeda-beda.
Misalnya kata “marilah” dalam bahasa Arab dapat berupa “aqbil”, “halumma” atau “ta’aal). Kata “asri’” atau ‘ajjil bermakna cepat. Demikian pula kata “Akhkhir, anzhir, atau amhil
berarti tundalah. Pendapat ini sama dengan kebolehan periwayatan hadis
secara makna sepanjang tidak merubah yang halal menjadi haram atau
sebaliknya. Inilah pendapat Ibn Mas’ud dalam menulis mushafnya.
Contohnya adalah pembacaan ayat sbb:
bqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$#
Diganti dengan
bqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Çكالصوف Â\qàÿZyJø9$#
6. Dialek (Lahjah) bahasa Arab, yaitu dialek Quraisy, Huzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d ibn Bakar.[20]
Jadi lafaz al-Qur’ān tetap satu, namun cara membacanya dapat
berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemudahan dan kesulitas. Inilah
pendapat jumhur dan dianggap paling kuat. Pendapat ini merujuk kepada
perintah Utsman yang memerintahkan agar menulis mushaf dengan lahjah
Quraisy jika terjadi perbedaan. Misalnya kata Ikhsi’uu (rendahkanlah) dalam bahasa Arab umum dapat diganti dengan ukhzuu dalam dialek kabilah Azrah, Kata Laa taghluu (Jangan melapauai batas) sama dengan laa tuziiduu dalam dialek bani Lakhm, atau kata Khaluu’an (cemas) sama dengan dhajiiran dalam dialek. [21]
Makna
angka “tujuh” dalam hadis di atas masih diperdebatkan ulama tentang
maksud dan batasnya. Sebagian ulama mengatakan tujuh huruf tsb bermakna
batas maksimal sehingga tidak boleh lebih atau tidak bermakna lebih dari
tujuh macam. Sebagian menyatakan angka tujuh tersebut sebagai batasan
yang berarti al-Qur’ān hanya boleh
dibaca dengan tujuh macam bacaan). Pembatasan ini merupakan pendapat
jumhur. Sedangkan sebagian ulama lainnya memaknainya sebagai makna
banyak, sehingga al-Qur’ān boleh dibaca dengan berbagai dialek Arab yang
ada, tidak hanya tujuh dialek atau baacaan tetapi boleh lebih dari itu.
III. ASUMSI TENTANG SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF
Persoalan
mengapa terjadi perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an
(perbedaan mushaf) telah mendapat perhatian dan dijawab oleh kalangan
ilmuwan muslim dengan berbagai pendekatan.
A.
Pendekatan tradisionalis melihat perbedaan dalam bacaan dan tulisan
al-Qur’an sebagai ketentuan dari Nabi atau bahkan langsung dari Allah
SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy ini ada anggapan kuat bahwa
berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah standar bahasa
Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan urutan serta nama
ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif tradisionalis ini
memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun cenderung tidak
kritis karena kurang menggali latar belakang perbedaan dalam penulisan
atau pembacaan al-Qur’an. Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah
kurang mengungkap nilai-nilai positif dan pemanfaatan perbedaan untuk
menggali kekayaan dan kedalaman pemikiran Islam ke depan. Kata
shalat dan zakat dalam mushaf Utsmani misalnya ditulis dengan huruf
waw, padahal kaidah standar menggunakan huruf alif. Namun ada yang
meyakini penyimpangan seperti ini memang berasal dari Nabi SAW sehingga
harus diikuti apa adanya. Bagi kalangan ini, dispensasi kebolehan
berbeda dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an hanya bersifat darurat,
untuk sementara pada situasi saat itu saja, dan tidak berlaku lagi untuk
masa dan orang-orang sesudahnya. Asumsi seperti ini ternyata banyak
dipertahankan oleh banyak ulama tafsir atau penulis kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an.
Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu cenderung bersifat taqlid
sehingga kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas umat Islam.
Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Said Sukamta yang
menyatakan bahwa kebolehan berbeda dalam bacaan atau tulisan al-Qur’an
pada masa Nabi memang ada namun kebolehan itu bersifat terbatas dan
darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada perbedaasn lagi.[22]
B. Pendekatan Kritis memandang
perbedaan dan penyimpangan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an bukan
sebagai hal yang alami, tetapi justru mencurigai memang ada unsur-unsur
kesalahan di dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin dilakukan oleh tim
penulis mushaf bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh Zaid ibn
Tsabit atau juga dilakukan oleh individu sahabat tertentu ketika menulis
mushaf untuk pribadinya. Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat
dan zakat dengan huruf waw. Sedangkan hadis “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf
...” dianggap sebagai hasil rekayasa untuk pembenaran terhadap
kekeliruan yang terjadi. Pandangan dan sikap kritis seperti ini
dikemukakan antara lain oleh beberapa intelektual dari Jaringan Islam
Liberal atau JIL.[23]
C. Pendekatan Fenomenologis
melihat adanya perbedaan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an memang
terjadi sejak zaman Nabi. Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan
secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan
oleh Beliau dengan mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat
Islam dalam hal pengetahuan, kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek
bahasa Arab di kalangan sahabat itu sendiri. Bagi kalangan fenomenologis
ini, kebolehan untuk berbeda dalam membaca al-Qur’an ini menunjukkan
tingginya toleransi Nabi dalam menghadapi perbedaan di kalangan umat
Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif saja, seperti bacaan dan
tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi kelonggaran, apalagi
perbedaan dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih dibolehkan.
Pendekatan fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan
serasi dan harmonis di tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting
lainnya adalah kemampuan pandangan fenomenologis ini dalam menciptakan
kebebasan dan mendorong umat Islam untuk tetap kreatif dan inovatif
dalam membangun peradaban, sebagaimana dicontohkan oleh keragaman banyak
sahabat dalam menulis mushaf, dan sikap Nabi SAW yang tetap
mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.
IV. PENGARUH TERHADAP DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM
Dua
macam sikap sahabat dalam menanggapi perbedaan bacaan dan penulisan
al-Qur’an ternyata dalam jangka panjang menunjukkan atau bahkan
melahirkan dua macam pola pemikiran, yaitu:
A. Pola pemahaman tekstual
Pola
ini yang menganggap bacaan dan tulisan al-Qur’an harus seperti yang
dibaca Nabi, atau harus sesuai dengan bahasa Arab Quraisy yang menjadi
acuan mushaf Utsmani. Bacaan dan tulisan al-Qur’an harus ta’abbudiy,
tidak boleh berbeda dari contoh yang ditulis dalam mushaf standar.
Perbedaan dari ketentuan itu dianggap sebagai penyimpangan yang
menyesatkan dan harus diberantas. Sikap seperti ini melahirkan pemikiran
umat Islam yang sangat ketat dan kaku berpegang kepada teks (sumber
tertulis) sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan cara untuk
memperoleh kebenaran. Dalam sejarah hukum Islam, pemahaman seperti ini
dikembangkan oleh aliran Ahl al-Hadis di wilayah Hijaz dengan imam Malik, al-Syafi’i, dan ulama ilmu riwayah
lainnya sebagai tokohnya. Pola seperti inilah yang didengungkan oleh
ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang populer di kalangan umat Islam.
B. Pola pemahaman rasional – kontekstual
Pola
ini memandang pembacaan dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak harus
persis sama seperti yang tertulis dalam mushaf Utsmani. Dengan kata
lain, pemahaman seperti ini membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan
bacaan lafaz dan dialek atau tulisan Arab yang berbeda dari mushaf
Utsmani dengan syarat makna atau maksudnya tetap sama. Kebolehan ini
memiliki dasar pijakan sebagaimana boleh meriwayatkan hadis Nabi secara
makna (al-riwayah bil makna). Kebolehan pembacaan seperti ini
tetap memiliki dasar rujukan karena masih mengacu kepada kebebasan yang
pernah terjadi pada zaman Nabi dan era sahabat. Pola pemahaman rasional
ini dalam sejarahnya berpusat di Iraq, yang dasar-dasarnya dibawa oleh
sahabat Nabi bernama Ibn Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud). Dari murid atau
pengikut beliau inilah kemudian lahir ulama-ulama rasional dari kalangan
tabi’in yang terkenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi. Perjalanan
panjang sejarah Islam memperlihatkan wilayah Iraq, dengan pusat-pusat
kota seperti Baghdad, Kufah dan Basrah, menjadi tempat subur lahirnya
peradaban Islam dengan tokoh-tokoh intelektual muslim ternama masa itu,
baik dalam bidang fiqh, kalam, filsafat, tasawuf, sains, dan sebagainya.
V. PENUTUP
Keleluasaan
dalam membaca al-Qur’an pada masa Nabi SAW merupakan bukti nyata bahwa
Islam membangun prinsip kebebasan sejak masa awal kepada umatnya.
Berbagai aliran pemikiran umat Islam saat ini berawal dari perbedaan
epistemologi pemikiran Islam masa klasik. Kejayaan peradaban Islam masa
lalu muncul dari adanya semangat kreatifitas dan inovasi serta didukung
oleh lingkungan yang memberikan kebebasan dalam berpikir, berekspressi
dan berpendapat, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi dan era
sahabat. Dengan demikian pemikiran Islam akan selalu mengalami
pembaruan dan rekonstruksi. Semua tingkat kemajuan itu tidak lepas dari
pengaruh pola pemikiran atau pemahaman Islam yang logis, rasional dan
kontekstual. Ketika nalar sehat dan pola berpikir logis dan kritis
dibungkam, maka kemunduran bahkan keruntuhan pemikiran dan peradaban
Islam tidak dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Moqsith Ghazali, dkk, Metodology Studi al-Qur’an (Jakarta: PT Gramedia, 2009)
Ali Sidiqun, Antropologi al-Qur’an (Yogyakarta: penerbit ar-Ruuz, 2008)
Al-Thabari, Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi (Kairo: Mustafa al-Babi wa al-Halabi, 1975) juz XXVII
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978) juz I
Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, (Damaskus: Dar al-Ilmi li al-malayin, 1978) juz II
Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990) juz I,
Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1968)
Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah (Damaskus: penerbit al-Ahali, 1991)
Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim (Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980) juz I dan II
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Bandung: pt Almaarif, tt) juz VI
Muhammad Hadi Makrifat, The History of Qur’an, terjemahan (Jakarta: penerbit Pustaka, 2007)
Subhi Salih, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1975)
Sukamto Said, Inzal al-Qur’an ‘ala Sab’ah Ahruf wa Mafhumuh min al-Manzhur al-Ijtima’i wal Lughawi, artikel dalam jurnal Al-Jami’ah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, edisi 2 tahun 2008.
Ibn al-Jazari, Thabaqat al-Qurra’ (Beirut: Dar al-Fikr, tt) juz I
Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001)
Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf (Bairut: dar al-Fikr, 1985) juz V dan VII
ASUMSI:
- Perbedaan penulisan al-Qur’an (Mushaf) menujukkan perbedaan pola pemikiran (epistemologi) di kalangan sahabat.
- Perbedaan mushaf menyebabkan timbulnya perbedaan pemikiran Islam atau sebaliknya perbedaan pemikiran menyebabkan perbedaan mushaf.
- Keragaman
pembacaan al-Qur’an pada masa Nabi dan keragaman penulisan mushaf masa
Nabi dan sahabat merupakan bukti dan sebab perkembangan pemikiran Islam
secara bebas dan dinamis.
- Penyeragaman pembacaan al-Qur’an dan penulisan mushaf adalah bukti dan sebab kebekuan pemikiran Islam.
- Karena penulisan al-Qur’an menjadi mushaf disempurnakan manusia berarti mushaf al-Qur’an tidak lagi skral, sebab yang sakral hanya wahyu.
- Apakah
dibolehkannya perbedaan tsb karena darurat (seperti pendapat Sukamta)
atau karena memang prinsipnya boleh ? Saya: memag asalnya boleh !!!.
[1]Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah (Damaskus: penerbit al-Ahali, 1991) h. 375.
[2]Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim (Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980) nomor hadis 1354.
[3]Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001) h. 37.
[4]Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978), juz I, h. 157, Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, juz II, h. 101.
[5]Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz VI, h. 225, Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, juz I, h. 261, al-Suyuthi, al-Itqan ..., juz I, h. 58, dan Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, h. 48-49.
[6]Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf (Bairut: dar al-Fikr, 1985) juz I, h. 255, al-Suyuthi, al-Itqan, Opcit, juz I, h. 65.
[7]al-Suyuthi, al-Itqan ..., Ibid, juz I, h. 64
[8]Lihat: Muhammad Hadi Makrifat, Sejarah al-Qur’an (Jakarta: penerbit Pustaka, 2007) h. 144 – 150.
[9]Zamakhsyari, Op Cit.
[10]Abu Dawud, Mashahif Sajistan, hal. 11 – 14, sebagaimana dikutip oleh Hadi Makrifat, Op Cit, hal. 155.
[12]Al-Thabari, Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi (Kairo: Mustafa al-Babi wa al-Halabi, 1975) juz XXVII, h. 104.
[14]Subhi Salih, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1975), h. 195.
[15]Sahih Muslim, Op Cit. Lihat pula: Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis fiy ‘Ulum al-Qur’an, h. 156-157, dan Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasatil Qur’an, h. 154.
[16]Ibn al-Jazari, Thabaqat al-Qurra’ (Beirut: Dar al-Fikr, tt) juz I, h. 292
[17]Al-Suyuthi, op cit, juz I, h. 78.
[18]Ibn al-Jazari, Op Cit, juz II, h. 143.
[19]Subhi Salih, Op Cit, h. 105
[20]Lihat Ibn Sallaam, dalam al-Burhan, I: 217.
[21]Subhi Salih, Op Cit, h. 109-112.
[22]Sukamto Said, Inzal al-Qur’an ‘ala Sab’ah Ahruf wa Mafhumuh min al-Manzhur al-Ijtima’i wal Lughawi, artikel dalam jurnal Al-Jami’ah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, edisi 2 tahun 2008.
BAB II
Mushaf Ali
Yang
dimaksud dengan mushaf Imam Ali As adalah naskah al-Qur’an yang
dikumpulkan dan disusun oleh Imam Ali As pasca wafatnya Rasulullah Saw. Mushaf
ini memiliki beberapa tipologi tertentu seperti susunan tepat ayat-ayat dan
surah-surah berdasarkan nuzul (pewahyuan), sesuai dengan bacaan
Rasulullah Saw (yang merupakan bacaan paling orisional) yang mencakup tanzil,
ta’wil dan lain sebagainya. Beberapa tipologi ini tidak dapat ditemukan
pada mushaf-mushaf lainnya.
Inti
keberadaan mushaf seperti ini telah ditetapkan; misalnya pada kitab al-Thabaqât
al-Kubrâ, Muhammad bin Sa’ad (w 230 H); Fadhâil al-Qur’ân, Ibnu
Dhurais (w 294 H); Kitâb al-Mashâhif, Ibnu Abi Daud (w 316 H); Kitâb
al-Fehrest, Ibnu Nadim yang mengutip dari Ahmad bin Ja’far Munadi yang
lebih dikenal sebagai Ibnu Munadi; al-Mashâhif, Ibnu Asytah (w 360 H); Hilyât
al-Auliyah wa Thabaqât al-Ashfiyah, Abi Nu’aim al-Isfahani (w 430 H); Al-Isti’âb
fi Ma’rifat al-Ashhâb, bahkan volume literatur Ahlusunnah dan berita-berita
tentang masalah ini lebih banyak dari literatur-literatur Syiah sendiri.
Jawaban
Detil
Yang
dimaksud dengan mushaf Imam Ali As adalah naskah al-Qur’an yang
dikumpulkan dan disusun oleh Imam Ali As pasca wafatnya Rasulullah Saw. Mushaf
ini memiliki beberapa tipologi tertentu yang tidak dapat ditemukan pada mushaf-mushaf
lainnya. Di antara beberapa tipologi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Susunan tepat ayat-ayat dan
surah-surah sesuai dengan nuzûl (pewahyuan). Artinya dalam mushaf
ini Makki disebutkan sebelum Madani dan tingkatan-tingkatan dan
lintasan-lintasan sejarah pewahyuan ayat-ayatnya jelas sehingga dengan demikian
perjalanan pensyariatan dan hukum-hukum, khususnya masalah nâsikh dan mansukh
dalam al-Qur’an dengan mudah dapat diperoleh.
2. Dalam mushaf ini,
bacaan ayat-ayat sesuai dengan bacaan Rasulullah Saw yang merupakan bacaan
paling orisinal. Dalam mushaf ini sama sekali tidak terdapat perbedaan
bacaan sehingga dengan demikian jalan untuk memahami kandungan dan memperoleh
tafsir sahih ayat tersedia. Tipologi ini merupakan tipologi sangat penting pada
mushaf ini; karena boleh jadi perbedaan bacaan akan menyebabkan
tersesatnya penafsir yang tidak ditemukan pada mushaf ini.
3. Mushaf ini mencakup tanzil
dan ta’wil. Artinya bahwa mushaf ini menjelaskan pada pinggiran
halamannya hal-hal yang terkait dengan nuzâl dan pelbagai momentum yang
menyebabkan turunnya ayat dan surah-surah. Catatan-catatan pinggir ini
merupakan sebaik-baik media untuk memahami makna-makna al-Qur’an dan
menyingkirkan pelbagai keburaman. Dan di samping menyebutkan sebab-sebab
pewahyuan pada pinggiran halamannya, juga terdapat takwil-takwil. Takwil-takwil
ini merupakan kesimpulan-kesimpulan global dan inklusif tentang hal-hal khusus
ayat-ayat al-Qur’an yang sangat membantu setiap orang yang ingin memahami
ayat-ayat al-Qur’an. Amirul Mukminin Ali As sendiri bersabda, “Aku siapkan
sebuah kitab bagi mereka yang mencakup tanzil dan takwil.”[1]
Tanpa
ragu, sesuai dengan referensi-referensi dan literatur-literatur kedua mazhab,
inti keberadaan mushaf ini telah ditetapkan; bahkan volume literatur
Ahlusunnah dan berita-berita tentang masalah ini lebih banyak dari
literatur-literatur Syiah sendiri.
Laporan mushaf
ini disebutkan dalam literatur-literatur Imamiyah misalnya pada Kitâb Sulaim
bin Qais,[2] al-Kâfi karya Abu Ja’far Kulaini (W 328 H),[3]
Kitâb al-Tafsir yang lebih dikenal dengan Tafsir ‘Ayyâsyi[4]
karya Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi (ulama abad keempat), Al-I’tiqâdât[5]
karya Abu Ja’far Shaduq (W 386 H), Manâqib Âli Abi Thâlib[6]
karya Ibnu Syahr Asyub Mazandarani (W 588 H). Ibnu Syahr Asyub menyebutkan hal
ini melalui jalur Ahlusunnah dan dengan menyebutkan beberapa literatur.[7]
Kira-kira kandungan laporan ulama ini atas inti keberadaan mushaf ini
adalah satu dan dinyatakan seperti ini, “Pasca wafatnya Rasulullah Saw, Ali As
duduk di rumah dan sibuk mengumpulkan al-Qur’an.”
Di antara
literatur Ahlusunnah yang menyebutkan mushaf ini hingga abad kedelapan
adalah, “Al-Thabaqât al-Kubrâ,[8]
Muhammad bin Sa’ad (W 230 H), Fadhâil al-Qur’ân,[9]
Ibnu Dhurais (W 294 H), Kitâb al-Mashâhif,[10] Ibnu Abi Daud (W 316 H), Kitâb al-Fehrest,[11] karya Ibnu Nadim yang mengutip dari Ahmad bin Ja’far
Munadi yang lebih dikenal sebagai Ibnu Munadi, Al-Mashâhif,[12] Ibnu Asytah (W 360 H), Hilyat al-Auliyah wa Thabaqât
al-Ashfiyah,[13] Al-Arba’in,[14] Abi Nu’aim al-Isfahani (W 430 H), Al-Isti’âb fi
Ma’rifat al-Ashâb,[15] Ibnu Abdil Barr (W 463 H) yang dinukil melalui dua
jalur; Syawâhid al-Tanzil,[16] Hakim Huskani (ulama abad kelima) yang menyebutkan
beberapa sanad tentang mushaf ini; Mafâtih al-Asrâr wa Mashâbih
al-Anwâr,[17] Abdul Karim Syahrastani (W 548 H) (Ia di
antara ulama Ahlusunnah menyebutkan secara detil kabar tentang mushaf
ini, semenjak proses pengeditan, penunjukkan mushaf oleh Imam Ali kepada
para sahabat di masjid, hingga penolakan para sahabat dan perdebatan Imam Ali
As); Al-Manâqib,[18] Khatib Khawarazmi (W 568 H); Al-Tashil fi ‘Ulûm
al-Tanzil,[19] Ibnu Juzay al-Kalbi (W 741 H). Ibnu Abi Daud
melaporkan bahwa mushaf ini disebutkan melalui jalur Asy’ats bin Sawwar
dan berkata, “Tiada seorang pun selain Asy’ats yang memiliki riwayat tentang mushaf
ini.”[20] Pernyataan ini dilontarkan tanpa
memperhatikan sanad-sanad kabar mushaf ini; karena sebagai contoh, Ibnu
Dhurais menyebutkan kabar mushaf ini dengan sanad yan lain;[21] Ibnu Hajar Askalani dan Mahmud bin Ahmad Aini juga,
karena terputusnya dalam sanad laporan mushaf, memandang lemah sanad
tersebut;[22] namun terputusnya sanad ini juga terdapat
pada sebagian sanad. Jalur lain tentang laporan mushaf ini terdapat
sanad bersambung, di antaranya melalui jalur Ibnu Dhurais yang dengan sanadnya
yang mengabarkan dari Muhammad bin Sirin dan ia mengabarkan dari Ikrimah dari
Imam Ali As.[23]
Alusi
Baghdadi (W 1270 H) juga dalam hal ini melontarkan pendapatnya. Ia menamai
sanad-sanad beberapa riwayat dalam hal ini sebagai sanad ma’udhu[24] dan dhaif[25] dan berpandangan sanad Ibnu Dhurais sebagai
satu-satunya sanad yang sahih.[26]
Dalam
riwayat tersebut Muhammad bin Sirin bertanya kepada Ikrimah, “Apakah (Imam) Ali
menyusun ayat-ayat dalam mushaf tersebut berdasarkan (urutan)
pewahyuannya?” Dengan deskripsi ini, Alusi berkata, “Yang dimaksud riwayat ini
– sebagaimana yang disebutkan – adalah karena (Imam Ali) menyimpan al-Qur’an
dalam dada.”[27] Dengan pemaknaan ini, kiranya Alusi ingin
berkata, “Imam Ali As menghafal al-Qur’an dalam dadanya dan mengungkapkan
al-Qur’an berdasarkan urutan pewahyuannya.”
Di
samping itu, pada dasarnya model sikap Alusi dan yang lainnya terhadap sanad
riwayat-riwayat ini bukanlah sikap ilmiah; karena riwayat-riwayat yang
mengabarkan satu kandungan, berdasarkan terminologi Ilmu Dirâyah disebut
sebagai hadis mutabi; dan syahid;[28] Hal ini bermakna bahwa riwayat-riwayat yang dalam hal
ini dipandang lemah atau maudhu oleh Alusi, karena kandungannya satu
dengan kandungan hadis yang bersanad sahih (sahih al-sanad) justru
memberikan kekuatan terhadap hadis sahih ini dan dengan demikian dipandang
sebagai hadis mustafidha; Karena itu apabila riwayat-riwayat ditakwil
secara terpisah atau karena sanad lemah kemudian ditolak, hal itu keluar dari
model riset ilmiah ilmu Dirâyah.
Masalah
lainnya yang harus disebutkan di sini adalah bahwa pada dasarnya ungkapan
“mengumpulkan al-Qur’an” (jam’ al-qur’an) mengemuka dalam sebagian riwayat
tentang masalah ini. Meski dari satu sudut pandang dapat bermakna menghafal
dalam dada – namun dalam hal ini sekali-kali redaksi menghafal tidak dapat
digunakan; karena dalam beberapa kondisi pasca wafatnya Rasulullah Saw khalifah
yang telah ditentukan (oleh Rasulullah) – sesuai dengan pengakuan Ahlusunnah
sendiri – yaitu Imam Ali As tidak memiliki pekerjaan kecuali berdiam di rumah
dan menghafal al-Qur’an; dan bahkan sebagian ulama Ahlsunnah memberikan
penjelasan dan pembenaran atas melimpah ruahnya ilmu Imam Ali As dibandingkan
dengan para khalifah yang lainnya. Mereka berkata, “Kebanyakan penafsiran
al-Qur’an dimiliki oleh Imam Ali As di antara para khalifah al-rasyidin; karena
beliau dikesampingkan dari maqam khilafah hingga akhir masa khilafah Usman.[29] Meski penjelasan ini sangat lemah dan tanpa dasar.[30]
Namun
pertanyaan ini tetap tak terjawab bahwa apabila imam tidak mengerjakan apa pun,
lantas apa perlunya beliau duduk di rumah dan bersumpah untuk tidak memikul
jabatan ini dan lain sebagainya untuk sekedar menghafal al-Qur’an!! Di samping
itu, berdasarkan riwayat mutawatir dari Ahlusunnah sendiri terkait dengan
ayat “Agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar
diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (Qs. Al-Haqqah [69]:12) yang
diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda kepada Imam Ali As,
“Aku bermohon kepada Tuhan untuk menjadikanmu sebagai obyek atas ayat ini.” Dan
kemudian setelah itu Imam Ali As berkata, “Aku sekali-kali tidak melupakan dan
tidak akan melupakan apa yang aku dengarkan.”[31]
Dengan tipologi
Imam Ali ini, tidak hanya al-Qur’an melainkan seluruh ilmu diserahkan
Rasulullah Saw kepada Imam Ali A yang tersimpan dan terpelihara dalam dada
beliau. Dan pengumpulan al-Qur’an pada satu tempat juga – sesuai dengan
sebagian riwayat – dilakukan berdasarkan nasihat dan wasiat Rasulullah Saw.
Demikian juga untuk menjaga tsaqalain dan tiada seorang pun yang
memiliki kelayakan sebagaimana Imam Ali As.[32]
Apabila
asumsi bahwa riwayat Abdukhair yang berkata melalui lisan Imam Ali As, “Orang
pertama yang mengumpulkan al-Qur’an adalah Abu Bakar”[33] ada benarnya maka riwayat tersebut bertentangan dengan
riwayat yang menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an
adalah Ali As karena itu riwayat Abdukhair akan jatuh standar
riwayatnya. Di samping itu, riwayat itu juga merupakan kabar tunggal (khabar
wahid) [34] dan bertentangan dengan riwayat mustafidhah
sehingga kemudian ia tergolong sebagai hadis syâdz.[35]
Karena
itu, sesuai dengan referensi dari dua mazhab, inti keberadaan mushaf
Imam Ali As telah ditetapkan dan tidak tersisa celah untuk menciderai riwayat
tersebut.[36] [iQuest]
Untuk
telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada dua literatur
berikut ini:
1. Mushaf Ali wa Se Mushaf-e
Digar, karya Dr. Ja’far Nikunam.
2. Pazyuhesy dar Mushaf
Imam Ali wa Se Mushaf Digar, karya Dr. Ja’far Nikunam.
[1].
Muhammad Jawad Balaghi, Alâi al-Rahman, jil. 1, hal. 257.
«و لقد
جئتهم بالکتاب مشتملا علی التنزیل والتاویل»
[2].
Sulaim bin Qais, Kitâb Sulaim bin Qais, hal. 581-582, 660 dan 665.
[3].
Abu Ja’far Kulaini, al-Kâfi, Kitâb al-Fadhl al-Qur’ân, jil. 2,
hal. 633, Hadis 29.
[4].
Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi, Tafsir Ayyâsyi, jil. 2, hal. 307.
[5].
Abu Ja’far Shaduq, al-I’itiqâdât, hal. 81.
[6].
Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub, Manâqib Âli Abi Thâlib, jil. 2, hal.
50-51.
[7].
Ibid, jil. 2, hal. 52.
[8].
Muhammad bin Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 2, hal. 328.
[9].
Muhammad bin Dhurais, Fadhâil al-Qur’ân, riset oleh Urwah Badir, hal.
36.
[10]. Sulaiman bin Asy’ats, Kitab al-Mashâhif, korektor
oleh Atur Jaffri, hal. 61.
[11]. Muhammad bin Ishaq, Kitâb al-Fehrest, hal. 31-32.
[12]. Sesuai nukilan dari Jalaluddin Suyuthi, Al-Itqân,
jil. 1, hal. 58.
[13]. Abu Nu’aim Isfahani, Hilyât al-Auliya wa Thabaqât
al-Ashfiyah, jil. 1, hal. 67.
[14]. Sesuai nukilan dari Ibnu Syahr Asyub, Manâqib Âli Abi Thâlib, jil 2, hal. 50.
[15]. Yusuf bin Abdil Bar, al-Isti’âb fi Ma’rifat al-Ashâb,
Riset oleh Muhammad Ali Bajawi, al-Qism al-Tsalits, hal. 974.
[16]. Hakim Huskani, Syawâhid al-Tanzil li Qawâid al-Tafdhil,
Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, jil. 1, hal. 36-38.
[17]. Abdul Karim Syahristani, Mafâtih al-Asrâr wa Mashâbih al-Anwâr,
jil. 1, hal. 121.
[18]. Muwaffaq bin Ahmad Khawarazmi, Al-Manâqib, Riset
oleh Muhammad Malik Mahmudi, hal. 94.
[19]. ‘Ulum al-Qur’ân ‘inda al-Mufassirin sesuai nukilan
dari Markaz al-Tsaqafah wa al-Ma’ârif al-Qur’âniyah, jil. 1, hal. 351.
[20]. Sulaiman bin Asy’ats, Kitâb al-Mashâhif, hal. 16.
[21]. Muhammad bin Ayyub bin Dhurais, Fadhâil
al-Qur’ân, hal. 36.
[22]. Ibnu Hajar Asqalani, Fath al-Bâri, jil. 9, hal.
12-13 dan juga silahkan lihat Mahmud bin Ahmad Aini, Umdat al-Qâri (Syarh
Shahih al-Bukhâri), jil. 20, hal. 17.
[23]. Muhammad bin Ayyub bin Dhurais, Fadhâil al-Qur’ân,
hal. 36.
[24]. Riwayat melalui jalur Abu Hayyan Tauhidi, Mahmud Alusi, Ruh
al-Ma’âni, jil. 1, hal. 41.
[25] . Riwayat melalui jalur Ibnu Sirin, Mahmud Alusi, Ruh
al-Ma’âni, jil. 1, hal. 41.
[26]. Ibid.
[27]. Ibid, jil. 1, hal. 41.
[28]. Hadis al-mutabi’ dan al-syâhid diperhatikan
karena berfungsi sebagai penyokong kandungan hadis lainnya. Adapun validitas
sanad tidak menjadi perhatian. Silahkan lihat, Jalal al-Din Suyuthi, Tadrib
al-Râwi fi Syarh al-Taqrib al-Nawâwi, hal. 202.
[29]. Jalal al-Din Suyuthi, al-Itqân, jil. 2, hal. 187.
Ibnu Athiyya Andalusi, Riset oleh Muhammad Abdussalam Abdusyafi, jil. 1, hal.
13.
[30]. Karena pertama, Imam Ali As pada masa pemerintahanya
menunjukkan penafsiran ayat-ayat dan riwayat-riwayat (khususnya pada
khutbah-khutbah) yang dinukil dari Rasulullah Saw. Kedua, Usman bin Affan,
Khalifah Ketiga jauh dari pemerintahan pada masa Khalifah Pertama dan Khalifah
Kedua, hanya memiliki riwayat tentang tafsir. Silahkan lihat, Ala al-Din ‘Ali
al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummâl fi Sunan al-Aqwâl wa al-Af’âl, Fashl fi
al-Tafsir, jil. 2, hal. 353. Untuk dicamkan bahwa bilangan riwayat
tafsir dalam kitab Kanz al-‘Ummâl yang dikumpulkan dari Shihah
al-Sittah adalah 544 riwayat. Dari bilangan ini terdapat 290 hadis yang
diriwayatkan dari Imam Ali As dan selebihnya dari sahabat yang lain. Silahkan
lihat, Ali al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummâl.
[31]. Ibnu Jarir Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wil Ayat
al-Qur’ân (lebih dikenal dengan nama Tafsir Thabari), jil. 29, hal.
31. Dengan kajian yang lebih intens tentang sanad-sanad dan referensi-referensi
hadis ini. Silahkan lihat Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf,
Riset oleh Syaikh Muhammad Baqir Mahmudi, jil. 1, hal. 34:
انّ النبی(ص) قال
لعلی- کرم الله وجهه- إنّی دعوت الله تعالی أن یجعلها أذنک یا علی و قال علی کرم
الله وجهه: فما سمعت شیئاً فنسیته و ما کان لی أن أنسی.
[32]. Karena Imam Ali adalah gerbang kota ilmu Rasulullah Saw
dan tiada yang menyamai ilmu beliau tidak dari orang sebelumnya dan juga tidak
setelahnya. Imam Ali As sendiri bersabda, “Demi Allah! Tiada satu pun ayat yang
turun kecuali Aku mengetahuinya, dimana dan berkenaan dengan siapa ayat tersebut
diturunkan.” Sayid Abdulhusain Syarafuddin dalam al-Muraja’ât bersandar
pada hadis-hadis ini dan periset buku ini Syaikh Husan al-Radhi juga dalam al-Hawâmisy
al-Tahqiqiyah menyebutkan referensi-referensi dan jalur-jalur sanad hadis
tersebut. Silahkan lihat Hasan al-Radhi, al-Hawâmisy al-Tahqiqiyah Mulhaq
Kitâb al-Muraja’ât, hal. 425-431.
[33]. Ibnu Abi Daud, Kitab al-Mashâhif, jil. 2, hal.
338.
[34]. Meski Ibnu Abi Daud menyebutkan hadis ini melalui lima
jalur namun sampai pada Sufyan, dari Suda, dari Abdukhair dari Imam Ali As.
Dengan demikian hadis ini adalah hadis wahid (tunggal).
[35]. Hadis syadz adalah berita sahih yang bertentangan
dengan hadis yang lebih sahih dari perawi yang lain. Demikian juga matan (teks)
hadis ini tidak sejalan dengan fakta-fakta sejarah. Karena sebelum pengumpulan
mushaf yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit dan yang lainnya seperti Ibnu
Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan sebagainya, mereka telah memiliki mushaf
sendiri-sendiri.
[36]. Untuk penjelasan lebih jauh tentang kajian sanad-sanad
mushaf Imam Ali As, silahkan lihat, Majalah Maqâlat wa Barrasihâ
(Danesygah Ilahiyyat Danesygah Teheran), “Barrasi wa Naqd Asnâd Mushaf Imâm
Ali As dar Manâbi’ Fariqain, Daftar 68, hal. 23-45. Apakah
Inti Keberadaan Mushaf Imam Ali dapat Ditetapkan melalui Literatur-literatur
Dua Mazhab?
Langganan:
Postingan (Atom)
Translate
Paling Banyak Dibaca
-
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً...
-
Dalil-dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar Mari kita baca lagi perincian berdzikir dengan jahar yang lebih jelas menurut pendapat...
-
ANJURAN UNTUK TAHLILAN DAN ZIARAH KUBUR. TAK ADA LARANGAN! Sebenarnya permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup usang ...
-
Keharusan Bermadzab dan mengenal sanad 4 Imam Mujtahid/Madzab Keharusan Ber-Madzhab P...
-
Amalan Nisfu sya’ban dan bulan rajab, ibnu taymiyah buat IBNU TAIMIYAH MENGALAKKAN KITA MENGHIDUPKAN NISFU SYA’BAN DENGAN AMALAN YANG KHUSU...
-
Ibnu Katsir kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah “Riwayat Shahih Tawasul Sahabat dengan nabi setelah wafat Nabi” Tawassul telah terbukti bahwa ter...
-
Arti Shalawat SHALAWAT bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah. SHALAWA...
-
(Kitab Fathul bari )Kaidah Fiqh Islam : “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan “haram” ...
-
Banyak orang salah mengartikan makna beberapa hadits atau ayat ilahi berikut ini, dengan adanya salah penafsiran tersebut mereka mudah meng...
-
S halat Tarawih Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal . Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagi...
Arsip Blog
-
▼
13
(20)
- ► Mar 10 - Mar 17 (1)
- ► Mar 3 - Mar 10 (1)
- ► Feb 24 - Mar 3 (5)
- ► Feb 17 - Feb 24 (1)
- ► Feb 10 - Feb 17 (2)
- ► Feb 3 - Feb 10 (6)
- ► Jan 27 - Feb 3 (3)
Diberdayakan oleh Blogger.
11 komentar:
banyak tampilan yang mengganggu
banyak tampilan yang mengganggu
adanya beberapa mushaf ini, apa menjadi salah satu penyebab munculnya syiah dan sunni? selain itu saya mau bertanya, atas dasar apa penyebutan Ali ibn Abu Tholib menjadi "imam Ali a.s" , sebab saya tidak melihat sahabat Rasullullah memakai kata "imam" dan "a.s".
klo di museum istiqlal ada beberapa mushaf misalnya mushaf sunda, mushaf wonosobo. perbedaanya apa yan mas?
Wah jadi lebih paham mengenai mushaf nih, artikelnya sangat lengkap dan bermanfaat. nice posting mas.
artikelnya bagus yah, kecuali mushaf fatimah ga ada yah?
intinya ttp aj Quran yg sekarang berasal dr mushaf shbt Muhammad. dan penyusunannya berdasarkan kesepakatan. jadi kesimpulanya tdk ad Quran asli yg turun lgs dr Allah melalui Jibril.
selamat siang terimaksih atas kunjungannya
selamat siang terimaksih atas kunjungannya
selamat siang terimaksih atas kunjungannya
selamat siang terimaksih atas kunjungannya
Posting Komentar