CARA SHALAT RASULULLAH




 
1. Berdiri Menghadap Kiblat
Sholat diawali dengan berdiri menghadap kiblat bagi orang yang mampu. Jika tidak mampu dapat dilakukan dengan cara duduk atau tidur miring, sebagaimana sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
 Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan dari ‘Abdullah dari Ibrahim bin Thohman berkata, telah menceritakan kepada saya al-Husain al-Muktib dari Abu Buraidah dari Imran ibn Hushain Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: Pada saat aku terkena penyakit bawasir, aku bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tentang caraku mengerjakan sholat. Maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sholatlah dengan cara berdiri, jika tidak mampu maka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur miring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1050)

Hukum berdiri di dalam melaksanakan sholat fardhu adalah wajib. Sementara pada sholat sunnah, hukumnya adalah sunnah. Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Husain al-Mu’allim dari Abdullah ibn Buraidah bahwa ‘Imran ibn Hushain Radhiyallaahu ‘anhu adalah seorang yang pernah menderita sakit wasir. Dan suatu ketika Abu Ma’mar berkata, dari Hushain yang berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam perihal seseorang yang melaksanakan sholat dengan duduk. Maka Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Siapa yang sholat dengan berdiri maka itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan sholat dengan duduk maka baginya setengah pahala dari orang yang sholat dengan berdiri dan siapa yang sholat dengan  dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang sholat dengan duduk.” Berkata Abu Abdullah: “Menurutku yang dimaksud dengan tidur adalah berbaring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1049)

Tata cara berdiri adalah kedua kaki diluruskan. Antara ujung keduanya direnggangkan sekira satu jengkal, dan diantara kedua tumit sekira empat jari. Wajah ditundukkan memandang ke arah tempat sujud. Kemudian membaca surat an-Naas sebagai permohonan kepada Allah Ta’aala agar dijauhkan dari godaan syaithan. Di sebutkan di dalam kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Imam al-Ghazali Rahimahullaahu Ta’aala:
“Hendaklah berdiri menghadap kiblat seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdiri dengan tegak kemudian membaca surah an-Naas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan syaithan yang terkutuk.” (Bidayatu al-Hidayah halaman 44)

Setelah itu disunnahkan melafadzkan niat dengan tujuan untuk membantu menghadirkan niat di dalam hati. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Najah pada sub bab yang menyebutkan rukun-rukun Sholat, beliau menjelaskan:
“Adapun yang pertama adalah niat di dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafadzkan niat.” (Kasyifatu as-Saja Syarh Safinah an-Najah halaman 65)

Dalam beberapa kesempatan, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melafadzkan niat, misalnya dalam ibadah Haji. Dijelaskan dalam sebuah hadits:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar dari Shahabat Anas Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji.” (Shahih Muslim No. 2194)
Konteks hadits diatas berbicara dalam persoalan haji. Akan tetapi sholat dapat di-qiyas-kan kepada haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnah melafadzkan niat, maka dalam sholat juga demikian, dianjurkan melafadzkan niat dengan tujuan membantu hati agar juga dapat melafadzkan niat.

Lebih jelas lagi ditegaskan oleh Syaich Hasan ibn ‘Ali as-Saqafi sebagai berikut:
“Melafadzkan niat ketika hendak bertakbiratul-ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seluruh amal perbuatan bergantung kepada niat”, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersabda, “Keraskanlah (lafadzkanlah) niatmu”. Oleh karena itu, orang yang menghadirkan niat di dalam hatinya dan tidak diucapkan, maka sah sholatnya. Demikian pula jika ia mengucapkan dengan lisannya, sholatnya juga sah dan ia telah melaksanakan perbuatan sunnah. Hal yang demikian ini sangat berbeda dengan pendapat segelintir orang yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tercela. Bagaimana mungkin melafadzkan niat menjadi bid’ah sedangkan di dalam beberapa ibadah yang lain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam justru melakukannya (melafadzkan niat), misalnya pada saat Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memperdengarkan kepada orang banyak di waktu melaksanakan ihram untuk haji, yakni ucapan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Labbaika bi ‘umratin wa hajjin” (Yaa Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk ‘umrah dan haji). Begitu pula ketika pada suatu saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menemui sayyidah ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa untuk makan pagi. Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah ada makanan?” ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa menjawab “Tidak ada”. Kemudian Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Kalau begitu aku akan berpuasa”. (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 68)

2. Takbiratul Ihram
Setelah melafadzkan niat, segera mengucapkan takbiratul-ihram. Disebut takbiratul-ihram karena dengan takbir tersebut, dapat mengharamkan semua perbuatan yang sebelumnya boleh dilakukan, misalnya berbicara, makan, minum, bergerak yang banyak dan sebagainya.
Pada saat mengucapkan takbiratul-ihram, niat sholat disertakan di dalam hati. Inilah niat yang sesungguhnya di dalam sholat. Artinya jika seseorang berniat sebelum takbiratul-ihram maka sholatnya tidak sah, begitu pula jika berniat sesudah takbiratul-ihram.
Di dalam kitab Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Najah disebutkan:
“Dan wajib menyertakan niat dengan takbiratul ihram, karena hal itu adalah kewajiban pertama yang dilaksanakan dalam sholat.” (Kasyifat as-Saja halaman 65)
Adanya kewajiban niat ini berdasarkan sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Maslamah ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad ibn Ibrahim dari Alqamah ibn Waqash dari Umar ibn Khatthab Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Seluruh amal perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia diniatkan.” (Shahih al-Bukhari hadits no. 52)
Ketika melaksanakan takbiratul-ihram, disunnahkan mengangkat tangan hingga lurus dengan pundak. Sementara jari-jari tangan diluruskan dan tanpa menggenggam telapak tangan. Di dalam kitab Bidayah al-Hidayah dijelaskan:
“Angkatlah kedua tanganmu ketika takbiratul-ihram sampai lurus pada kedua pundakmu setelah sebelumnya tegak lurus  ke bawah. Kedua tangan dibentangkan dan jari-jarinya diluruskan, tidak terlalu dirapatkan atau direnggangkan. Caranya adalah tangan diangkat hingga dua jempol bertemu dengan dua daun telinga, dan jari telunjuk berada di atas dua telinga dan telapak tangan berada di atas kedua pundak.” (Bidayah al-Hidayah halaman 45)
Hal ini juga dilaksanakan ketika akan ruku’, I’tidal dan berdiri dari tasyahud awal. Didasarkan pada hadits shahih riwayat Abdullah ibn Umar Radhiyallaahu ‘anhu:
Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari az-Zuhri ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Salim bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Abdillah ibn Umar berkata: “Saya melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memulai sholat dengan takbiratul-ihram seraya mengangkat kedua tangannya hingga lurus pada kedua pundaknya. Hal itu dilakukan juga pada saat takbir untuk ruku’. Dan melakukannya ketika mengucapkan “sami’allaahu liman hamidah”, kemudian membaca “robanaa lakal-hamdu”. Tetapi Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika akan sujud dan berdiri dari sujud.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 696)
3. Bersedekap
Setelah mengucapkan takbiratul-ihram, tangan bersedekap. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Dalam hadits shohih disebutkan:

Dari Wa’il bin Hujr ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri di dalam sholat, beliau menggenggam tangan kanan atas tangan kirinya.” (Sunan an-Nasa’i, juz 2, halaman 125 [887], sunan ad-Daruquthni, juz 1, halaman 286 [11])
Menurut madzhab Syafi’i, posisi bersedekap adalah tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri, kemudian diletakkan di atas pusar di bawah dada. Berikut ini penjelasan al-Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi juz 4 halaman 114:

“Sunnah meletakkan tangan yang kanan di atas yang kiri, diposisikan di bawah dada di atas pusar. Ini adalah yang masyhur dalam madzhab Syafi’i, sejalan dengan pendapat mayoritas ulama. Sementara menurut Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri,  Ishaq ibn Rahawaih dan Abu Ishaq al-Marwazi dari kalangan Ash-haabusy-Syafi’i meletakkan kedua tangan tersebut di bawah pusar.” (Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi juz 4 halaman 114)
Lebih lanjut al-Imam Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan:
“Kemudian meletakkan kedua tangan di atas pusar di bawah dada. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri untuk memuliakan yang kanan. Dengan cara ditekan dan membentangkan jari telunjuk dan jari tengah kanan di atas lengan, dan menggenggam pergelangan tangan dengan ibu jari, jari manis dan jari kelingking.” (Ihya’ Ulumiddin juz 2 halaman 274)
Cara seperti inilah yang dianjurkan dalam bersedekap. Dan telah diamalkan oleh para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan generasi sesudahnya. Al-Imam at-Turmudzi Rahimahullaahu Ta’aala berkata:

“Cara ini telah diamalkan oleh ahli ilmu dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. mereka semua meriwayatkan bahwa posisi bersedekap adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Di antara mereka ada yang meriwayatkan bahwa posisi kedua tangan itu adalah di atas pusar, sebagian yang lain mengatakan di bawah pusar.” (Sunan at-Tirmidzi, juz 2 halaman 32 [253])
Mengukuhkan penjelasan at-Tirmidzi tersebut, Abu Dawud juga meriwayatkan cara bersedekap yang diamalkan oleh sayyidina Ali Radhiyallaahu ‘anhu:

“Dari ibn Jarir adh-Dhabbiy dari ayahnya, ia berkata, “Saya melihat sayyidina ‘Ali Radhiyallaahu ‘anhu ketika sholat memegang tangan kiri dengan tangan kanannya pada pergelangan tangan, di atas pusar. Imam Abu Dawud mengatakan, “Diriwayatkan juga dari Sa’id bin Jubair bahwa tangan itu diletakkan di bawah pusar”. Abu Mijlaz menyatakan tangan itu diletakkan di bawah pusar, dan itu juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, namun riwayat ini tidak kuat.” (Sunan Abu Dawud, juz 1 halaman 260 [757])
Memang ada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya di dada, yakni:

“Dari Sulaiman bin Musa, Thawus berkata, bahwa di dalam sholat, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan yang kanan di atas dadanya.”
Namun, hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, karena tergolong hadits dha’if, sebab ada rawi yang tidak mencukupi syarat sebagai perawi tsiqah, yaitu Sulaiman bin Musa.
Menurut Syeich Hasan ibn Ali As-Saqafi, kelemahan hadits di atas karena dua alasan:

“Yang pertama:  Kata al-Bukhari, Sulaiman bin Musa tersebut banyak meriwayatkan hadits munkar. Kata an-Nasa’i, dia salah seorang ahli fiqh tetapi tidak kuat dalam periwayatan sebagaimana disebutkan di dalam kitab Tahdzibul Kamal (12/97).

Yang Kedua: Hadits tersebut mursal, yang diriwayatkan secara mursal oleh Thawus, sedangkan hadits mursal adalah bagian dari hadits dha’if.” (Tanaqqudhat al-Albani al-Wadhihaat, juz 3 halaman 49/50)

4. Membaca Do’a Iftitah


Setelah melakukan posisi bersedekap dengan sempurna, diam sejenak sebelum membaca do’a iftitah yang dalam istilah lain disebut dengan tawajjuh. Do’a iftitah ini disunnahkan baik dilakukan di dalam sholat sendirian maupun sholat berjama’ah, sholat fardhu maupun sholat sunnah.

Kesunnahan membaca tawajjuh adalah sebelum membaca surat al-Fatihah pada raka’at pertama. Apabila seseorang telah membaca al-Fatihah, berarti hilanglah kesunnahan membaca do’a tawajjuh ini. Dalam kitab al-Fiqh al-Manhajiy ‘alaa Madzhab al-Imaam asy-Syafi’i disebutkan:




“Disunnahkan membaca tawajjuh ketika memulai sholat fardhu dan sholat sunnah. Baik sholat sendirian, ataupun bagi imam dan ma’mum apabila berjama’ah, dengan syarat orang itu belum memulai membaca surat al-Fatihah. Jika ia telah membaca al-Fatihah –padahal ia tahu bahwa basmalah merupakkan bagian dari surat al-Fatihah– atau membaca ta’awwudz, maka hilanglah kesunnahan membaca tawajjuh tersebut. Oleh karena itu, ia tidak usah kembali lagi untuk membaca tawajjuh. Tawajjuh tidak disunnahkan dalam sholat jenazah, begitu pula ketika sholat fardhu yang waktunya hampir habis, yakni bila ia membaca tawajjuh, maka dikhawatirkan waktu sholat akan habis.” (al-Fiqh al-Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imaam asy-Syafi’i juz 1 halaman 149).

Adapun lafadz bacaan do’a iftitah adalah sebagai berikut:




“Allah Maha Besar kekuasaan-Nya lagi sempurna kebesaran-Nya. Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak. Dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore. Kuhadapkan hatiku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi, dengan penuh kepatuhan kepasrahan dan aku bukanlah termasuk golongan kaum yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata hanya untuk Allah seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan dengan itu aku diperintahkan. Dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Islam).”

Do’a iftitah ini didasarkan atas dua hadits shahih yang banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Di antaranya:




“Dari ibnu Umar Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Seorang lelaki datang pada saat sholat berjama’ah didirikan. Setelah sampai di shof, lelaki itu mengucapkan kalimat: “Allahu Akbar Kabiiran Walhamdulillaahi katsiran wa subhaanallaahi bukratan wa ashiila”. Setelah Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam selesai sholat, beliau bertanya, “Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?”. Lelaki tersebut menjawab, “Saya wahai Rasululullah, Demi Allah saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu.” Sabda Beliau, “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat itu.” Ibn Umar berkata: “Semenjak aku mendengar itu, hingga sekarang aku belum pernah meninggalkan bacaan tersebut”. (Shahih Muslim, Juz 1 halaman 420 [150]).




“Diriwayatkan dari Sayyidina ‘Ali Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika memulai sholat, beliau bertakbir untuk sholat. Kemudian beliau membaca: “Aku hadapkan hatiku pada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan dan berserah diri. Dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Sang Penguasa alam semesta. Tak ada sekutu bagi-Nya. Dan dengan itu aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Sunan Abi Dawud juz 1 halaman 260 [760], Sunan at-Tirmidzi juz 5 halaman 485 [3421], Sunan ibn Majah juz 2 halaman 1043 [3121], Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal juz 1 halaman 102 [803])


Lanjutan Pembahasan Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.

5. Membaca Surat Al-Fatihah

Setelah membaca do’a iftitah, dianjurkan untuk diam sejenak kemudian membaca surat al-Fatihah. Membaca surat al-Fatihah termasuk daripada rukun sholat, sehingga hukumnya wajib untuk dibaca baik dalam sholat fardhu maupun sholat sunnat. Di dalam kitab al-Umm disebutkan:


“Telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah: bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk membaca ummul-qur’an (surat al-Fatihah) di dalam sholat. Hal ini menunjukkan bahwa membaca surat al-Fatihah adalah termasuk ke dalam fardhu sholat dan hendaknya orang yang membaca surat tersebut membaguskan bacaannya tersebut.

Telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala: Diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah dari az-Zuhri dari Mahmud bin Rabi’ dari Ubadah ibn Shomit bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepadanya bahwa tidak sah sholatnya seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah.” (al-Umm, juz 2, halaman 243)

Sebagai rukun dari sholat, maka surat al-Fatihah harus dibaca dengan sempurna, sesuai dengan urutan ayatnya, dan memperhatikan kaidah-kaidah tajwid. Disebutkan di dalam kitab syarah Sullamut Taufiq:



“Rukun sholat yang keempat ialah membaca daripada surat al-Fatihah dengan menyertakan basmalah, memperhatikan tasydid, kesinambungan bacaan, urutan ayat, melafadzkan huruf dengan benar sesuai makhrajnya dan tidak ada kekeliruan yang dapat merusak maknanya.” (Syarah Sullamuttaufiiq)

Di dalam membaca surat al-Fatihah, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Membaca Ta’awwudz

Surat al-Fatihah adalah bagian dari al-Quran, maka sebagai adab di dalam membaca ayat-ayat al-Quran adalah dengan membaca Ta’awwudz, yaitu bacaan:


“Aku memohon perlindungan kepada Allah Ta’aala daripada gangguan syaithon yang terkutuk.”

Dibaca secara pelan, walaupun pada sholat jahr (sholat yang bacaannya diucapkan dengan keras). Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani (Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani) di dalam kitabnya Maraqi al-‘Ubudiyyah sebagai berikut:


“Selanjutnya setelah diam sejenak hendaknya mengucapkan bacaan ta’awwudz { أعوذ بالله من الشيطان الرجيم } secara pelan.”

Kesunnahan membaca ta’awwudz ini didasarkan atas Firman Allah Ta’aala:


“Apabila kamu membaca al-Quran, hendaknya kamu meminta perlindungan kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

b. Membaca Basmalah

Membaca surat al-Fatihah diawali dengan basmalah. Hukum membaca basmalah adalah wajib karena merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka dari itu tidak sah sholat seseorang yang meninggalkan bacaan basmalah ini.

Bacaan basmalah adalah bagian dari surat al-Fatihah didasarkan atas firman Allah Ta’aala:


“Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi) tujuh ayat yang berulang-ulang dan al-Quran yang agung” (QS. Al-Hijr: 87)

Al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala di dalam kitabnya al-Umm menjelaskan tentang bacaan basmalah sebagai bagian dari tujuh ayat yang berulang-ulang sebagai berikut:



“Telah mengkhabarkan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata asy-Syafi’i: Meriwayatkan kepada kami Abdul Majid ibn Abdul Aziz dari ibn Juraij, ia berkata: mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Sa’id bin Jubair:{ ولقد أتيناك سبعا من المثاني } ia adalah ummu al-Quran. Berkata ayahku: Sa’id bin Jubair membacakannya kepadaku hingga selesai kemudian ia berkata { بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang tujuh. Berkata Sa’id: telah membaca pula yang demikian ini ibn ‘Abbas sebagaimana aku membacanya kepada engkau, kemudian ia berkata: { بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang tujuh. “ (al-Umm, juz 2 halaman 244-245)

Yang dimaksud dengan tujuh ayat yang berulang-ulang adalah surat al-Fatihah, sebab al-Fatihah itu sendiri terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang pada tiap-tiap raka’at shalat. Dalam sebuah hadits disebutkan:


“Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika kalian membaca al-hamdulillaah (surat al-Fatihah) maka bacalah bismillaahirrahmaanirrahiim. Sesungguhnya al-Fatihah itu induk dari al-Quran dan induk al-Kitab serta tujuh ayat yang diulang-ulang. Dan bismillaahirrahmaanirrahiim adalah salah satu ayatnya.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 1, halaman 312 [36]. Sunan al-Baihaqi, juz 2, halaman 45 [36], sanad hadits ini adalah shahih).

Dari hadits tersebut diatas sangat jelas bahwa bacaan basmalah adalah ayat yang pertama dari surat al-Fatihah. Sebab jika tanpa basmalah, maka surat al-Fatihah itu hanya terdiri dari enam ayat, dan tentunya hal ini tidak sesuai dengan penyebutan tujuh ayat yang berulang-ulang tersebut.

Di hadits yang lain disebutkan:


“Dari Ummu Salamah, sesungguhnya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam sholat membaca “Bismillaahirrahmaanirrahiim” dan menghitungnya sebagai ayat pertama, “Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin” ayat kedua, “Arrahmaanirrahiim” ayat ketiga, “Maaliki yaumiddiin” ayat keempat. Dan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Begitupula “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”, dan beliau menunjukkan lima jarinya.” (Sunan al-Baihaqi, juz 2, halaman 4 [2214], Shahih ibn Khuzaimah juz 1, halaman 248 [493], al-Mustadrak ‘alaa ash-Shahihaini juz 1, halaman 356 [848]. Dishahihkan oleh ibn Khuzaimah dan al-Hakim)

Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik seluruhnya maupun sebagiannya, maka raka’at sholatnya dihukumi tidak sah.


“Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala berkata: Bacaan Bismillaahirrahmaanirrahiim merupakan bagian tujuh ayat dari surat al-Fatihah. Apabila ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya, maka raka’atnya tidak cukup.” (al-Umm Juz 2 halaman 244).

Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka bacaan basmalah ini dianjurkan untuk dikeraskan bacaannya ketika seseorang membaca surat al-Fatihah dalam sholat jahr. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:


“Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan basmalah.” (Sunan ad-Daruquthni juz 1 halaman 307 [20], al-Mu’jam al-Kabir juz 10 halaman 277 [10651], al-Mu’jam al-Awsath juz 1 halaman 15 [35])

Kesunnahan mengeraskan bacaan basmalah ini banyak tercantum di dalam kitab-kitab hadits. Dan amaliah ini selalu diamalkan dari generasi ke generasi sebagaimana dicontohkan oleh para shahabat Nabi dan pengikutnya:


“Dari Muhammad bin Abi as-Sirri al-Asqallaani ia berkata: Aku sering sholat shubuh dan maghrib bermakmum kepada Mu’tamar bin Sulaiman. Dan ia mengeraskan bacaan basmalah sebelum al-Fatihah dan setelahnya. Dan aku mendengar Mu’tamar berkata: Cara seperti ini aku lakukan karena aku mengikuti sholat ayahku. Dan ayahku berkata: Aku mengikuti sholat Anas bin Malik. Dan Anas bin Malik berkata: Aku mengikuti cara Sholat Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. (al-Mustadrak, juz 1 halaman 385 [854]).

Salah seorang imam terkemuka dari madzhab Syafi’i, yaitu al-Imam Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi di dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menyebutkan:


“Berkata ibn Khuzaimah di dalam karyanya, adapun pendapat yang menyatakan bahwa bacaan basmalah dibaca secara keras, ini adalah pendapat yang benar. Telah ada hadits dari Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang muttashil (para perawinya tsiqat dan sanadnya benar-benar bersambung sampai kepada Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam), tidak diragukan, serta tidak ada keraguan dari para ahli hadits tentang shahih serta muttashil-nya sanad hadits ini. Selanjutnya ibn Khuzaimah berkata: Telah jelas, dan telah terbukti bahwa Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan basmalah di dalam sholat. Dan mentakhrij pula Abu Hatim ibn Hibban di dalam Shahih-nya dan ad-Daruquthni di dalam Sunan-nya beliau berkata: Hadits ini shahih, seluruh perawinya tsiqat. Dan meriwayatkan pula al-Hakim di dalam Mustadrak, beliau berkata: Hadits ini shahih menurut syarat-syarat al-Bukhari dan Muslim. ” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3 halaman 302)


c. Membaca Amin

Setelah selesai membaca surat al-Fatihah, hendaknya membaca Amin. Disebutkan di dalam sebuah hadits:


“Dari Wa’il bin Hujr ia berkata: Saya mendengar Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca “Ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhdhalliin”, selanjutnya beliau membaca: “Aamiin” dan mengeraskan suaranya.” (Sunan at-Tirmidzi, juz 2 halaman 27 [248], sunan al_baihaqi, juz 2 halaman 58 [2283])

Sedangkan mengenai tata cara membaca Amin tersebut, Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani memberikan penjelasan sebagai berikut:


“Hendaknya janganlah engkau sambungkan bacaan Amin dengan bacaan Waladhdholliin. Akan tetapi keduanya dipisahkan dengan berhenti sejenak, untuk membedakan bacaan dzikr dengan bacaan al-Qur’an. Dan disunnahkan untuk membaca: ‘Rabbighfirlii’ (Wahai Tuhanku, ampunilah hamba)” (Syarh Maraqi al-‘Ubudiyyah halaman 48)

Mengenai bacaan “Rabbighfirlii” sebelum membaca “Amin” ini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskannya di dalam kitabnya ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsiir bi al-Ma’tsur:


“Diriwayatkan dari ibn Abi Syaibah dari Ibrahim an-Nakha’i ia berkata: “Disunnahkan pada saat imam membaca ayat { غير المغضوب عليهم ولا الضالين }, hendaknya mengucapkan do’a: { رب اغفرلي امين} ” (ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsiir bi al-Ma’tsur juz 1 halaman 92).



Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Saw Bagian 03

Lanjutan Pembahasan Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.

6. Membaca Ayat Al-Qur’an

Setelah membaca Amin, sebaiknya berhenti sejenak untuk sekedar memberikan jeda sebelum membaca ayat al-Quran. Bagi imam, hendaknya ia berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca surat al-Fatihah.

Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan hal ini di dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyyah:


“Disunnahkan bagi imam setelah membaca Amin di dalam sholat jahr untuk diam sejenak dengan kadar waktu sekiranya makmum dapat membaca surat al-Fatihah dengan sempurna. Hal ini dilakukan dengan syarat bahwa makmum pada umumnya terbiasa membaca surat al-Fatihah. Dan hendaknya imam pada waktu berhenti tersebut, disunnahkan membaca secara sirr (pelan) do’a-do’a, dzikr, maupun ayat-ayat al-Quran. Dan membaca ayat-ayat al-Quran itulah yang lebih utama.” (Syarh Maraqi al-Ubudiyyah)

Hukum membaca surat al-Quran adalah sunnah pada raka’at yang pertama dan raka’at yang kedua. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:


“Dari Musa bin Isma’il ia berkata: berkata Hammam dari Yahya dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pada dua raka’at pertama sholat dzuhur membaca surat al-Fatihah dan dua surat yang lain. Sedangkan pada dua raka’at terakhir hanya membaca surat al-Fatihah. Kadang kala suara bacaan beliau terdengar oleh kami. Dan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang raka’at pertama melebihi raka’at kedua. Begitu pula yang beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam lakukan pada sholat ‘Ashr dan Shubuh.” (Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 236 [734])

Adapun mengenai tata cara di dalam membaca surat al-Quran dijelaskan di dalam kitab Fath al-Mu’in:


“Disunnahkan membaca Basmalah bagi orang yang membaca dari pertengahan surat, hal yang demikian ini ditegaskan oleh al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala.” (Fath al-Mu’in, juz 1, halaman 149)


“Pada saat membaca suatu surat, namun tidak dimaksudkan untuk melanjutkan bacaannya di raka’at kedua, misalnya pada sholat tarawih, maka membaca satu surat secara sempurna lebih utama daripada membaca sebagian namun lebih panjang.” (Fath al-Mu’in, juz 1, halaman 149)


“Disunnahkan memperpanjang bacaan surat al-Quran di raka’at yang pertama daripada raka’at yang kedua, selama tidak ada dalil yang memerintahkan untuk memperpanjang bacaan di raka’at yang kedua.” (Fath al-Mu’in, juz 1, halaman 150)



“Disunnahkan untuk membaca surat sesuai urutan di dalam mushaf dan secara berurutan selama bacaan berikutnya tidak lebih panjang.” (Fath al-Mu’in, juz1, halaman 150).


Lanjutan Pembahasan Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.

7. Ruku’

Ruku’ merupakan salah satu rukun di dalam sholat sehingga wajib hukumnya untuk dikerjakan. Perintah untuk ruku’ ada tercantum di dalam al-Qur’an:


“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “ (QS. Al-Baqarah: 43)

Turun untuk ruku’ ada tata caranya, yaitu setelah membaca surat al-Quran, kemudian berhenti sejenak sekedar membaca bacaan Subhaanalloh, kemudian turun untuk ruku’ dengan mengangkat kedua tangan dan sembari mengucapkan bacaan takbir.

Berikut ini penjelasan dari al-Imam al-Ghazali mengenai tata cara turun untuk ruku’:


“Janganlah engkau sambung akhir bacaan surat al-Qur’an dengan takbir untuk ruku’. Akan tetapi berilah jeda dengan sekedar bacaan Subhanalloh.” (Bidayah al-Hidayah, halaman 46)


“Kemudian ucapkanlah bacaan takbir untuk ruku’. Angkatlah kedua tanganmu sebagaimana ketika takbiratul-ihram. Ucapkanlah bacaan takbir tersebut sampai sempurna melakukan ruku’.” (Bidayah al-Hidayah, halaman 46)

Pada waktu ruku’, kedua tangan diletakkan di atas kedua lutut. Posisi jari-jari direnggangkan. Kedua lutut direnggangkan sekedar satu jengkal. Punggung, leher dan kepala lurus dan rata seperti papan, posisi kepala tidak lebih rendah dan tidak pula lebih tinggi.


“Sempurnanya ruku’ itu ada empat perkara: (Pertama) Meluruskan punggung dengan leher dan kepala, sehingga menjadi seperti satu papan yang tidak bengkok. (Kedua) Menegakkan lutut. (Ketiga) Memegang kedua lutut dengan kedua telapak tangan. (Keempat) Meluruskan dan merenggangkan jari-jemari sehingga menghadap kiblat.“ (Kasyifatu as-Saja, halaman 68)

Bagi laki-laki, kedua siku direnggangkan dari lambung, sementara bagi perempuan justru sebaliknya, kedua sikunya dirapatkan dengan kedua lambungnya. Pada waktu ruku’ wajib tuma’ninah, yaitu berhenti sejenak untuk menyempurnakan ruku’.

Pada waktu ruku’ disunnahkan untuk membaca bacaan tasbih. Adapun bacaan tasbih pada waktu ruku’ dijelaskan di dalam beberapa hadits berikut ini:

“Dari Hudzaifah Radhiyallaahu ‘anhu meriwayatkan: Aku pernah sholat bersama Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Apabila beliau ruku’ beliau mengucapkan: {Subhaana Rabbiyal-‘Azhiimi}. Dan apabila beliau sujud beliau mengucapkan: {Subhaana Rabbiyal-A’laa}. Dan setiap membaca ayat rahmat, beliau diam lalu berdo’a memohon agar rahmat itu dianugerahkan kepada beliau, dan pada saat membaca ayat tentang adzab (siksa), beliau memohon perlindungan kepada Allah Ta’aala” (Sunan Abi Dawud, juz 3, halaman 36 [737]. Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz 47, halaman 323 [22254]. Sunan At-Tirmidzi, juz 1, halaman 442 [243])

Di hadits yang lain, disebutkan adanya penambahan bacaan {wa bihamdihi} di dalam bacaan tasbih pada waktu ruku’:


“Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau ruku’, beliau mengucapkan {Subhaana Rabbiyal-‘Azhiimi Wa Bihamdih} sebanyak tiga kali. Dan apabila beliau bersujud, beliau mengucapkan {Subhaana Rabbiyal-A’laa Wa Bihamdih} sebanyak tiga kali.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 3, halaman 429 [1308])

Di dalam Sunan Abi Dawud juga disebutkan:


“Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam apabila ruku’ beliau mengucapkan: {Subhaana Rabbiyal-‘azhiimi wa bihamdih} tiga kali dan apabila beliau bersujud, beliau mengucapkan: {Subhaana Rabbiyal-a’laa wa bihamdih} tiga kali.” (Sunan Abi Dawud, juz 3, halaman 35 [736])

Adapun tentang permasalahan penambahan bacaan {Wabihamdihi} pada bacaan tasbih di waktu ruku’ dan sujud, ada yang berpendapat bahwa hadits tersebut adalah hadits yang dha’if, dikarenakan terdapat salah satu perawi yang tidak dhabith (tidak kuat hafalannya).

Untuk permasalahan ini, mari kita kaji penjelasan dari imam asy-Syaukani yang tercantum di dalam kitab Nailu al-Awthar. Di dalam kitabnya, beliau menjelaskan bahwasanya hadits ini diriwayatkan dari lima jalur, yaitu: (1) ‘Uqbah bin ‘Amir, (2) Ibn Mas’ud, (3) Hudzaifah, (4) Abu Malik al-Asy’ari, dan (5) Abu Juhaifah. Dengan banyaknya jalur periwayatan ini, maka hal ini dapat menutupi ke-dha’if-an hadits tersebut, sehingga hadits ini tidak lagi menjadi hadits dhaif, dan kedudukan hadits ini menjadi Hasan Lighairihi, sehingga dapat dijadikan hujjah.

Berikut ini penjelasan dari imam asy-Syaukani di dalam kitab Nailu al-Awthar:


“Adapun penjelasan mengenai hadits tentang penambahan lafadz {wabihamdihi} ini,

1. Disisi Abu Dawud ia diriwayatkan dari jalur ‘Uqbah bin Amir.

2. Disisi ad-Daaruquthni ia diriwayatkan dari jalur ibn Mas’ud dan Hudzaifah.

3. Disisi imam Ahmad dan ath-Thabrani hadits ini diriwayatkan dari jalur Abu Malik al-Asy’ari.

4. Disisi imam al-Hakim hadits ini diriwayatkan dari jalur Abu Juhaifah.

=====

1. Berkata Abu Dawud setelah mentakhrij hadits dari ‘Uqbah ini: bahwasanya ‘Uqbah hafalannya tidak kuat (dho’if).

2. Dan di dalam hadits ibn Mas’ud: bahwasanya As-sirri bin isma’il ia dho’if.

3. Dan pada hadits Hudzaifah: Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laili ia dho’if.

4. Dan pada hadits Malik: Syahr bin Husyib dho’if, dan meriwayatkan pula Ahmad dan at-Thabrani dari ibn Sa’di dari ayahnya tanpa melalui jalur ini.

5. Dan mengenai hadits dari Abu Juhaifah, sanadnya dho’if. Ibn Sholah mengingkari penambahan lafadz ini.

=====

Akan tetapi, dengan banyaknya jalur periwayatan atas hadits ini, dan ia saling mendukung, maka, pengingkaran (atas hadits) ini dapat tertolak dengan banyaknya jalur periwayatan ini.” (Nailu al-Awthar, juz 2, halaman 271)

Oleh sebab itu, maka status atau kedudukan hadits tentang adanya penambahan lafadz {Wabihamdihi} di dalam tasbih pada waktu ruku’ dan sujud adalah hadits Hasan Lighairihi, dan bukan hadits dho’if lagi dan dapat digunakan sebagai hujjah. Dan hadits ini tidak bertentangan firman Allah Ta’aala:


“Maka ber-tasbih-lah kamu dengan memuji kepada Tuhanmu dan minta ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 3)

Berdasarkan hadits tersebut pula, di dalam kitab Kasyifatu as-Saja, Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan tentang bacaan tasbih pada saat ruku adalah: “Subhaana Rabbiyal-‘Azhiimi Wa Bihamdihi”.


“Disunnahkan ketika ruku’ untuk membaca: Subhaana Rabbiyal ‘azhiimi wa bihamdih (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan dengan memuji kepada-Nya.” (Kasyifatu as-Saja, halaman 68)

  

8. I’tidal

I’tidal adalah berdiri kembali pada posisi semula setelah melakukan ruku’ secara sempurna. Ketika bangun dari ruku’ hendaknya mengangkat kedua tangan dan mengucapkan:




“Allah Ta’aala Maha Mendengar kepada semua hamba yang memuji-Nya.”

Mengenai tata cara i’tidal, di dalam shahih al-Bukhari disebutkan:


“Berkata Abu Humaid as-Sa’idi, aku senantiasa menjaga sholat bersama Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, aku melihat beliau apabila bertakbiratul-ihram, beliau mengangkat tangan hingga lurus pada dua pundaknya. Apabila ruku’ menempatkan kedua tangan di lutut kemudian meluruskan punggungnya. Pada saat I’tidal mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula. Ketika sujud meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan ujung jari-jemari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, beliau duduk pada kaki kiri dan meluruskan yang kanan, dan pada saat duduk di rakaat terakhir, beliau memasukkan kaki kirinya dan duduk di lantai tempat tempat sholat.” (Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman: 324 [785])


“Diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir, dari Yahya bin Khallad az-Zuraqi, dari ayahnya, dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi, ia berkata: Pada suatu ketika kami sholat di belakang Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, pada saat beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun dari ruku’ beliau mengucapkan {Sami’allaahu liman hamidah} . Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: {Rabbanaa wa lakal-hamdu, hamdan katsiiran thoyyiban mubaarokan fiihi} . Maka setelah selesai sholat, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?’. Lelaki tersebut menjawab: ‘Saya’. Selanjutnya beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Sungguh aku melihat 30 malaikat saling berebutan untuk menuliskan pahalanya.’ “(Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 277 [757])

Pada saat posisi berdiri tegak, kedua tangan dalam posisi lurus ke bawah, tidak digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan, dan tidak pula dengan posisi bersedekap.


“Diriwayatkan dari Waki’ ia berkata: diriwayatkan dari Abdussalam bin Syidad Abu Thalut al-Jariri, dari Ghazwan bin Jarir adh-Dhabbiy, dari ayahnya, ia berkata: bahwasanya Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau melaksanakan sholat meletakkan tangan kanan di atas pergelangannya. Dan hal itu terus dilakukan hingga beliau melakukan ruku’ kecuali untuk memperbaiki posisi pakaian serta menggaruk badannya.” (Mushannaf ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman 401)

Dari hadits tersebut diketahui bahwasanya Sayyidina Ali Radhiyallaahu ‘anhu sebagai shahabat terdekat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan banyak mengetahui sholatnya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau hanya bersedekap ketika berdiri sampai ruku’ saja.

Kalimat “فلا يزال كذلك حتى يركع” yang maknanya “Beliau senantiasa bersedekap hingga beliau ruku’” menunjukkan bahwa sampai batas itulah bersedekap yang dianjurkan di dalam sholat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan bersedekap ketika I’tidal. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Hasan bin Ali as-Saqafi di dalam kitabnya Shahih Sifat Sholat an-Nabi:


“Dan makruh bagi orang yang sholat kemudian ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di waktu I’tidal bangun dari ruku’, sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagian orang-orang yang taklid buta. Sungguh tiada dalil atas hal yang demikian ini.” (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 163)

Selanjutnya setelah sempurna berdiri, disunnahkan untuk membaca do’a:


“Tuhan kami, bagi Engkau seluruh pujian sepenuh langit, bumi dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu.”

Di dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan hadits yang menjelaskan bacaan do’a tersebut:


“Meriwayatkan Abu Bakr bin Abi Syaibah, meriwayatkan kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari al-A’masy dari Ubaid bin al-Hasan dari ibn Abi Aufa ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri dari ruku’ membaca:

” (Shahih Muslim, juz 3, halaman 16 [733])

Berdasarkan hadits tersebut, di dalam kitab Bidayah al-Hidayah, al-Imam al-Ghazali juga memberikan penjelasan:


“Kemudian angkatlah kepalamu hingga berdiri tegak. Dan angkat pula kedua tanganmu seraya mengucapkan { Sami’allaahu liman hamidah }. Dan ketika sudah tegak berdiri beliau membaca do’a { Robbanaa lakal-hamdu mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil-u maa syi’ta min syai’in ba’du }.“ (Bidayah al-Hidayah, Halaman 46)

Khusus untuk sholat Shubuh, pada raka’at kedua setelah membaca do’a tersebut, disunnahkan untuk membaca do’a qunut. Imam al-Ghazali menjelaskan:


“Dan apabila engkau sedang sholat fardhu shubuh, maka hendaknya membaca do’a qunut di raka’at kedua ketika i’tidal dari ruku’.” (Bidayah al-Hidayah, halaman 46).

Membaca do’a qunut pada raka’at kedua sholat shubuh adalah sunnah di dalam madzhab asy-Syafi’iyyah, dan pendapat ini juga pendapat para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, imam Nawawi Rahimahullaahu Ta’aala menjelaskan:


“Di dalam madzhab kita (madzhab Syafi’iyyah) disunnahkan untuk membaca do’a qunut di dalam sholat shubuh. Baik ada bala’ maupun tidak, pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama salaf dan yang sesudahnya. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman, ‘Ali, Ibn Abbas, dan al-Barra’ ibn Azib Radhiyallaahu ‘anhum. Demikian diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad Shahih.” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 483)

Dalil yang dijadikan landasan pendapat ini adalah:


“Diriwayatkan dari Abdurrazzaq ia berkata, diriwayatkan dari Abu Ja’far (ar-Raziy) dari ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca do’a qunut di waktu sholat shubuh hingga wafat beliau.” (Musnad Ahmad, juz 25, halaman 242[12196])


“Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a qunut selama satu bulan kemudian beliau menghentikannya. Adapun di dalam sholat Shubuh beliau senantiasa membaca do’a qunut hingga wafat beliau.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 4, halaman 399[1712])

Sanad hadits ini adalah shahih, sehingga dapat dijadikan hujjah. Imam Nawawi menjelaskan hal ini di dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab:


“Hadits yang diriwayatkan dari Anas adalah hadits shahih yang diriwayatkan dari banyak huffazh ahli hadits dan mereka menyatakan akan keshahihannya, diantara yang menyatakan shahih adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat di kitabnya dan al-Baihaqi. Dan diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dari jalur ini dengan sanad shahih. Dari al-Awwam bin Hamzah ia berkata: `Aku bertanya kepada Abu Utsman mengenai bacaan qunut di dalam sholat shubuh. Beliau menjawab: ia dilakukan setelah ruku’. Aku bertanya lagi: Siapa yang menyatakan demikian? Beliau menjawab: dari Abu Bakr, Umar, Utsman radhiyallaahu ‘anhum.’ Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata: Sanad hadits ini Hasan. Dan meriwayatkan pula al-Baihaqi dari Umar melalui jalur ini. Dan dari Abdullah bin Ma’qil seorang Tabi’in, ia berkata: `Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu senantiasa membaca do’a qunut di waktu sholat shubuh.` Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata: riwayat dari Sayyidina Ali ini shahih. Dan dari al-Bara’ Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: `Bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca qunut di waktu sholat shubuh dan maghrib` –diriwayatkan oleh Muslim, dan juga oleh Abu Dawud namun beliau tidak menyebutkan kata “maghrib” di dalam riwayatnya.—Dan tidak mengapa meninggalkan qunut di waktu sholat maghrib dikarenakan ia bukan kewajiban’. ” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 484)

Bacaan do’a qunut yang masyhur diajarkan langsung oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a qunut yang diriwayatkan oleh Sayyiduna Hasan bin Ali bin Abi Thalib:


“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah terhadap segala sesuatu yang Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Dan tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia pula orang-orang yang Engkau musuhi. Sungguh Engkau Sang Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur.” (Sunan Abi Dawud, juz 4, halaman 210).

Disebutkan pula di dalam Sunan an-Nasa’i dengan penambahan bacaan sholawat { وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ } di akhir do’a qunut. (Sunan an-Nasa’i, juz 6, halaman 259).

Dijelaskan pula oleh Syekh Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyyah bahwasanya dianjurkan untuk membaca sholawat kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir do’a qunut.


“Akan tetapi lebih utama untuk membaca do’a qunut yang diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:


Dan disunnahkan pula untuk membaca sholawat diakhir do’a qunut:


” (Maraqi al-Ubudiyyah)

Perihal do’a qunut ini juga dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam kitabnya al-Adzkar pada satu bab khusus tentang do’a qunut, dapat di lihat di artikel ini:

http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/05/qunut-shubuh-berdasarkan-kitab-al-adzkar-an-nawawi-madzhab-syafii/

Lanjutan Pembahasan Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.

9. Sujud Pertama di Setiap Raka’at

Sujud termasuk rukun di dalam sholat yang dilakukan setelah i’tidal dengan sempurna. Ketika turun untuk sujud disertai dengan membaca takbir dan tanpa mengangkat kedua tangan.

Di dalam kitab Bidayah al-Hidayah dijelaskan:


“Kemudian turun untuk sujud disertai membaca takbir namun tanpa dengan mengangkat kedua tangan. Yang pertama kali diletakkan di atas tempat sujud adalah kedua lututmu, kemudian kedua tanganmu, kemudian dahimu dalam keadaan terbuka, kemudian hidungmu dan dahi bersama-sama disentuhkan diatas tempat sujudmu.” (Bidayah al-Hidayah, halaman 46)


Penjelasan Imam Ghazali tersebut sesuai dengan hadits berikut ini:


“Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali dan Husain bin Isa, keduanya berkata: diriwayatkan dari Yazid bin Harun, meriwayatkan kepada kami Syariik dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa’il bin Hujr, ia berkata: Aku melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam apabila bersujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan ketika bangun dari sujud, mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Sunan Abi Dawud, juz 3, halaman 1 [713])

Sujud yang sah adalah ketika ketujuh anggota sujud diletakkan secara sempurna di tempat sujud. Dijelaskan di dalam kitab syarah Sullamuttaufiq mengenai tujuh anggota sujud ini:


Kami tuliskan ulang kalimat yang tercantum di kitab tersebut:


“Sujud dua kali, dengan meletakkan dahi yang dalam keadaan terbuka ke tempat sujud dan agak ditekan, serta kepala posisinya lebih rendah (daripada pantat), meletakkan kedua lutut, kedua telapak tangan, dan bagian dalam jari-jemari kaki.” (Syarh Sullamuttaufiq, halaman 58)

Dan penjelasan tersebut sesuai dengan hadits shahih ini:


“Diriwayatkan dari Mu’alla bin Asad ia berkata: diriwayatkan dari Wuhaib dari Abdillah bin Thowus dari ayahnya dari ibn Abbas Radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata: bersabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam: Aku diperintahkan untuk sujud pada tujuh tulang anggota badan, dahi –Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangannya ke arah hidung beliau–, kedua tangan, kedua lutut, dan jari-jemari kaki. Dan janganlah melipat baju maupun rambut (pada waktu sholat).” (Shahih Muslim, juz 3, halaman 298 [770])

Bagi laki-laki, posisi tangan direnggangkan. Sedangkan bagi perempuan adalah dengan merapatkan kedua tangan. Disebutkan di dalam hadits:


“Diriwayatkan dari Qutaibah bin Sa’id diriwayatkan dari Bakr bin Mudhor dari Ja’far bin Rabi’ah dari al-A’raji dari Abdiilah bin Malik bin Buhainah al-Asdiy ia berkata: bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam apabila bersujud merenggangkan kedua tangannya sehingga kami dapat melihat (lengan baju) di ketiak beliau.” (Shahih al-Bukhari, juz 11, halaman 399 [3300])


“Diriwayatkan dari Yazid bin Abi Hubaib, bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam berjalan dan bertemu dengan dua perempuan yang sedang sholat. Kemudian Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika engkau sujud maka rapatkanlah sebagian daging ke tempat sujud, karena dalam hal ini perempuan tidak sama dengan laki-laki.” (Sunan al-Kubra al-Baihaqi, juz 2, halaman 223)

Dan ketika sujud wajib untuk tuma’ninah, dan disunnahkan membaca bacaan tasbih sebagaimana sunnahnya membaca bacaan tasbih di waktu ruku’. Adapun bacaan tasbih pada waktu sujud adalah:


“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi dan dengan memuji kepada-Nya”

Di dalam kitab Kasyifatu as-Saja dijelaskan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani:


Kami tulis ulang kalimat yang tercantum di kitab tersebut:


“Ke-sembilan adalah Sujud dua kali di setiap raka’atnya. Dan disunnahkan untuk mengucapkan di dalam sujud dengan bacaan: {Subhaana Rabbiyal-a’laa wa bihamdihi}” (kasyifatu as-Saja, halaman 68).






10. Duduk di antara dua sujud

Duduk di antara dua sujud termasuk rukun dalam sholat, sebagai pemisah antara sujud pertama dengan sujud kedua. Caranya adalah dengan mengangkat kepala dari posisi sujud dibarengi dengan mengucapkan bacaan takbir dan berakhir ketika telah duduk secara sempurna, dan cara duduk yang dianjurkan adalah iftirasy yaitu duduk diatas kaki yang kiri dan meluruskan kaki yang kanan kemudian membaca do’a, sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali di dalam Bidayah al-Hidayah:



“Kemudian bangkit dari sujud seraya mengucapkan takbir sehingga duduk dengan tegak. Duduklah di atas kaki kirimu dan luruskan kaki kananmu, letakkan kedua tanganmu di atas pahamu dan jari-jari diluruskan. Dan ucapkanlah:


(Tuhanku ampunilah aku, berilah aku rahmat, berilah aku rizki yang halal, berilah aku hidayah, berilah aku harta yang melimpah, berilah aku keselamatan dunia akhirat, dan hapuslah dosaku)” [Bidayah al-Hidayah, halaman: 46]

Sebagaimana juga disebutkan di dalam sebuah hadits shahih:


“Menceritakan kepada kami Salamah ibn Syabib, menceritakan kepada kami Zaid ibn Hubab dari Kamil Abi al-Ala’ dari Habib ibn Abi Tsabit dari Sa’id ibn Jubair dari ibn ‘Abbas bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pada saat duduk di antara dua sujud beliau membaca: Ya Allah ampunilah aku, berilah aku rahmat-Mu, berilah aku harta yang melimpah, berilah aku hidayah dan berilah aku rizki.” (Sunan at-Tirmidzi, juz 1, halaman 478, hadits nomor 262)

11. Sujud Kedua

Setelah duduk di antara dua sujud secara iftirasy, kemudian melakukan sujud yang kedua. Dilakukan dengan kaifiyah yang sama dengan sujud yang pertama, baik dari sisi cara maupun bacaan dzikir yang diucapkan.

Berkaitan dengan sujud, tidak ada larangan untuk menggunakan tikar atau karpet sebagai alas. Karena tidak ada kewajiban untuk menyentuhkan dahi ke tanah secara langsung.

Berikut ini adalah hadits shahih tentang diperbolehkannya menggunakan tikar sebagai alas ketika mendirikan sholat:


“Telah menceritakan kepadaku Abu Sa’id al-Khudriy bahwasanya ia masuk kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia berkata: Aku melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sholat di atas tikar, tempat dimana beliau bersujud di atasnya.” (Shahih Muslim, juz: 3, halaman: 102, Hadits Nomor: 807)

Di dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, imam an-Nawawi rahimahullah memberikan penjelasan tentang hadits tersebut diatas:


“Mengenai ucapan Abu Sa’id al-Khudriy: Aku melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sholat di atas tikar, tempat dimana beliau bersujud di atasnya–

Hadits ini adalah dalil atas diperbolehkannya sholat di atas sesuatu yang menghalanginya dengan tanah dengan menggunakan kain, tikar, wol, dan kain panas dan yang selainnya. Dan demikian sama saja jika adanya tumbuhan diatas tanah ataupun tidak. Dan ini adalah madzhab kita (Syafi’iyyah) dan jumhur.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz: 3, halaman: 102)

0 komentar:

Yang Mampir

Flag Counter

Translate

Paling Banyak Dibaca

Diberdayakan oleh Blogger.
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail