04 Februari 2013

Apakah Taqlid (ikut-ikutan) kepada 4 Imam Madzhab bid'ah Dholalah






Pada sa`at ini semakin banyak orang yang merasa mereka lebih hebat dibandingkan ulama ulama dahulu, mereka mencoba menebarkan slogan untuk tidak bermadzhab, tetapi mengambil hukum dari al-Qur`an dan Sunnah secara langsung, slogan (semboyan = perkataan) berhukum al-Qur`an dan hadits benar tetapi memiliki tujuan yang salah, dan akan menghasilkan kesalahan yang besar, adapun diantara dalil – dalil yang di ucapkan oleh mereka yang anti madzhab ialah:
1 – Rasulullah tidak pernah menyuruh kita untuk bermadzhab bahkan menyuruh kita mengikuti sunnahnya.
2 – al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi dalil dan hukum sehingga tidak di perlukan lagi Madzhab-madzhab.
3 – Madzhab-madzhab itu bid`ah karena tidak ada pada zaman Rasul.
4 – Seluruh ulama Madzhab seperti Imam Syafi`i melarang orang-orang mengikuti mereka dalam hukum.
5 – Bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti telah menolak sunnah Nabi Muhammad SAW.
6 – Pada Zaman sekarang sudah semestinya kita berijtihad karena dihadapan kita telah banyak kitab-kitab hadits, Fiqih, ulumul Hadits dan lain-lain, kesemuanya itu mudah didapati.
7 – Para Ulama Madzhab adalah manusia biasa, bukan seorang nabi yang maksum dari kesalahan, semestinya kita berpegang kepada yang tidak maksum yaitu hadits-hadits Rasulullah.
8 – Setiap hadits yang shahih wajib diamalkan, tidak boleh menyalahinya dengan mengikuti pendapat ulama madzhab.
Ini sebahagian hujjah-hujjah mereka, kita akan jawab satu persatu insyaallah.
Masalah pertama
1 – Adapun Rasul tidak pernah menyuruh kita untuk bermadzhab, kalau saudara tahu maksud bermadzhab, maka maknanya tidak secara khusus Rasul menyuruh untuk bermadzhab, tetapi disana ada suruhan secara umum, suruhan umum tersebut terdapat didalam al-Qur`an dan Hadits Rasul , demikian juga disana tidak terdapat larangan tentang bermazhab dari Rasulullah, dengan demikian tidak boleh kita buang dalil umum yang menyuruh untuk bermadzhab, bahkan sebagian dalil dan hujjah-hujjah menjurus kepada kekhususan mengikuti ulama-ulama yang telah sampai derajat Ijtihad.
Berikut ini saya aka huraikan beberapa Dalil tentang bermadzhab :
1 – Allah Berfirman :
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya : Hendaklah bertanya kepada orang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.
Penjelasan ayat : ayat ini menyuruh orang-orang yang tidak mengetahui sesuatu, yang mereka itu terdiri dari orang-orang awam, atau orang-orang yang tidak sampai derajat mujtahid agar menanyakan kepada orang alim atau orang yang telah sampai derajat Mujtahid, hal ini bermakna orang yang tidak sampai derajat mujtahid mesti mengikuti mana-mana madzhab yang di i`tiraf oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.
Siapa yang merasa tidak memiliki ilmu maka dia wajib bertaqlid kepada ulama, sebab Allah tidak mengatakan , jikalau kau tidak mengetahui maka hendaklah lihat didalam al-Qur`an dan Hadits, karena al-Qur`an dan al-Hadits memiliki pemahaman yang hanya ulama yang mujtahid saja yang memahaminya, sebab itulah Allah menyuruh untuk menanyakan kepada Ulama yang mujtahid dari arti dan pemahaman dari al-Qur`an dan al-Hadits.
2 – Rasulullah SAW bersabda :
عن عبد الله بن عمرو بن العاصي قال ” سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالم اتخذ الناس رؤسا جهالا، فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. ( رواه البخاري و مسلم والترمذي وابن ماجه ولا أحمد والدارمي ).
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari hati hamba-hambanya ( ulama ) akan tetapi mengambil ilmu dengan mencabut nyawa ulama, sehingga apabila tidak terdapat ulama, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh ( menjadi pegangan mereka ), mereka bertanya hukum kepadanya, kemudian orang-orang bodoh itu berfatwa menjawab pertanyakkan mereka, jadilah mereka sesat dan menyesatkan pula. ( H.R Bukhari, Muslim , Tirmidzi , Ibnu Majah. Ahmad, ad-Darimi.
Penjelasan hadits : Hadits ini menunjukkkan kepada kita semakin sedikitnya ulama pada masa sekarang, siapa yang mengatakan semangkin banyak maka dia telah menyalahi hadits Nabi yang shahih dan kenyataan yang ada, sebab Allah mencabut nyawa ulama, dan tidak ada pengganti yang dapat menandingi keilmuannnya, siapa yang dapat menandingi keilmuan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`I, Imam Ahmad pada zaman sekarang, tidak ada yang mampu, mereka wafat telah meninggalkan warisan yang besar sekali, yaitu ilmu dan madzhab mereka, jadi orang -orang awam mengambil warisan ilmu-ilmu mereka seolah-olah seperti bertanya lansung kepada Imam yang empat, dengan begitu jauhlah mereka dari kesesatan dan menyesatkan orang, tetapi orang yang bodoh yang tidak mau bermadzhab maka akan menanyakan permasalahannya kepada orang yang berlagak alim dan mujtahid tetapi bodoh, tolol dan memiliki sifat seperti orang yang tidak pintar, maka dia berfatwa menurut hawa nafsunya dan perutnya dalam memahami hadits dan lainnya, orang ini adalah sangat membahayakan umat islam, menyesatkan umat islam, mereka tidak sadar diri tentang kesesatan mereka dan berusaha untuk menyebarkan pemahaman mereka, ini lah cirri-ciri kebodohannya.
Dari hadits ini juga kita perlu menanyakkan kenapa Rasul mengatakan ,” mereka bertanya kepada orang-orang bodoh”, penyebab mereka mengambil ilmu kepada orang yang bodoh ialah karena orang alim sudah tiada lagi, padahal kitab-kitab hadits semangkin banyak dicetak, kitab-kitab ilmu semangkin menyebar dikalangan masyarakat, penulis melihat ada beberapa sebab :
1 – Pentingnya ulama dalam menuntun pemahaman yang ada dari al-Qur`an dan al-Hadits, sehingga apabila ulama meninggal dunia, tiada lagi orang yang mampu mengajarkan pemahaman yang sebenarnya dari al-Qur`an dan Sunnah.
2 – Sebab ketidakmauan orang-orang yang sesat mengikuti dari madzhab-madzhab yang telah tertulis dan dibukukan sehingga mereka lebih memilih orang yang berlagak lebih tahu dalam memahami al-Qur`an dan al-Hadits dari ulama-ulama yang dahulunya.
3 – Kebodohan orang yang paling bodoh ialah yang tidak mengetahui dia bodoh, sehingga dia berfatwa walaupun dalam keadaan bodoh, tidak ingin melihat kembali apa kata ulama-ulama madzhab didalam kitab mereka.
4 – Ini adalah tanda-tanda hari Qiamat yang mana madzhab bodoh lebih berkembang dan menyesatkan orang yang bermadzhabkan dengan empat madzhab.
5 – Dari hadits diatas juga kita fahami bahwa pada zaman ini sangat sulit sekali kita dapati ulama yang sampai kedudukannya kepada ulama mujtahid, ini mesti kita sadari, kalau tidak kita sadari maka kemungkinan orang tersebut telah menyalahi hadits Rasul yang menceritakan tentang ilmu akan dicabut dari permukaan bumi ini dengan wafatnya ulama, pada abad pertama hijriyah puluhan orang bahkan ratusan orang sampai kepada derajat al-Hafizh dan mujtahid, demikian juga pada abad kedua, ketiga, keempat, tetapi setelah itu ulama-ulama semangkin berkurangan, terlebih-lebih lagi pada zaman kita sekarang, jadi apa yang dikatakan Rasul telah tejadi pada saat sekarang ini, kita boleh lihat betapa banyaknya orang yang memaku Alim dan berfatwa, padahal dia tidak memiliki standart dalam berfatwa, ini orang bermuka tebal seperti tembok China.
3 – Rasulullah bersabda :
لا تسبوا قريشا فإن عالمها يملأ الأرض علما
Artinya : Janganlah kamu menghina orang-orang Qurasy karena seorang ulama dari kalangan bangsa Qurasy, ilmunya akan memenuhi penjuru bumi ini .
( H,R Baihaqi didalam al-Manaqib Syafi`i, Abu Naim didalam al-Hilyah, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi ).
Para ulama mentakwilkan maksud hadits tersebut kepada Imam Syafi`i al-Quraisyi yang telah menebarkan ilmu dan madzhabnya dibumi ini, diantara ulama yang telah mengungkapkan hal seperti itu ialah Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Abu Nuaim al-Ashbahani, Imam Baihaqi.
Dan maksud ilmu pada hadits tersebut adalah madzhab dan pemahamannya terhadap al-Quran dan sunnah, sebab pemahaman terhadap al-Qur`an dan sunnah itulah disebut ilmu, ilmu itu adalah madzhab jika ilmu tersebut diikuti orang lain, dengan demikian madzhab adalah salah satu pemahaman al-Qur`an dan hadits yang diikuti oleh orang lain.
Masih ada hadits-hadits yang menceritakan tetang bermadzhab, asalkan kita faham tentang apa yang dikatakan dengan madzhab, saya padakan sampai disini pembahasan yang pertama.
Masalah kedua
2 – Pendapat saudara yang mengatakan al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi sumber hukum adalah ungkapan seorang yang Mujtahid, apabila sudah melengkapi syarat-syarat mujtahid, jika saudara berkata juga seperti itu bermakna saudara sudah menjadi mujtahid, dan sudah memiliki syarat-syarat ijtihad, tetapi jika tidak memenuhi syarat maka saya sarankan saudara mundur kebelakang, atau membeli cermin ( kaca ) agar dapat berkaca dan bercermin siapa diri anda, sampai mana keilmuan anda, jika cerminnya juga tidak mampu untuk menunjukkan hakikat diri anda sendiri dalam keilmuan, maka hendaklah bercermin dengan ulama-ulama ahlus sunnah wal jama`ah, karena cermin yang ada dirumah harganya murahan atau sudah pecah, jika tidak tergambar juga hakikat diri anda dihadapan orang lain, maka ingatlah syaithan telah memperdayakan anda, menjadi mujtahid berat dan memiliki syarat-syarat yang sulit.
Rasul bersabda :
رحم الله امرءا عرف قدره
Artinya : Allah menyayangi seseorang yang mengetahui batas kemampuannya.
Kalau anda sadar akan batas keilmuan dan kemampuan anda tentu anda akan mengikuti madzhab yang empat, tetapi sayang anda tidak melihat kelemahan dan kebodohan anda sendiri.
Perlu anda ketahui jika anda belum sampai kepada tahap Mujtahid, jika ingin mengambil langsung dari al-Qur`an dan Sunnah, apakah anda telah mengahapal al-Qur`an keseluruhannya ?, atau paling sedikit ayat-ayat Ahkam, dan telah mengetahui dari ayat-ayat tersebut sebab-sebab turunnya ayat, apakah ayat tersebut tergolong Nasikh atau Mansukh, apakah ayat tersebut Muqayyad atau Muthalaq, atau ayat itu Mujmal atau Mubayyan, atau ayat tersebut `Am atau Khusus, kedudukan setiap kalimat didalam ayat dari segi Nahu dan `Irabnya, Balaghahnya, bayannya, dari segi penggunanaan kalimat Arab secara `Uruf dan dan hakikatnya, atau majaznya, kemudian adakah terdapat didalam hadits yang mengkhususkan ayat tersebut, ini masih sebahagian yang perlu anda ketahui dari al-Qur`an, sementara didalam Hadits anda mesti menghapal seluruh hadits-hadits Ahkam, kemudian mengetahui sebab-sebab terjadinya hadits tersebut, mana yang mansukh dan mana yang Nasikh, mana yang Muqayyad dan mana yang Muthlaq, mana yang mujmal dan mubayyan, mana yang `Am dan Khas, dan mesti mengetahui bahasa arab dengan sedalam-dalamnya, agar tidak menyalahi Qaidah-Qaidah dalam bahasa, hal ini meliput dari Nahu, Balaghah, bayan, ilmu usul Lughah, dan juga mesti mengetahui fatwa-fatwa ulama yang terdahulu sehingga tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijma` ulama, mengetahui shahih atau tidaknya hadits yang akan digunakan, hal ini meliputi dari pengetahuan tentang sanad, Jarah dan Ta`dil, Tarikh islami dan ilmu musthalah hadits secara umum dan mendalam, sebab tidak semua hadits shahih dapat dijadikan hujjah secara langsung, karena mungkin saja telah dimansukhkan, atau hadits tersebut umum dan adalagi hadits yang khusus , maka mesti mendahulukan yang khusus. Hal ini akan saya jelaskan insyaallah dalam pembahasan yang khusus.
Pertanyaannya adalah sudahkan anda memiliki syarat yang telah kami sebutkankan, kalau sudah silahkan anda berijtihad sendiri, kalau belum jangan mempermalukan diri sendiri, kebodohan yang paling bodoh adalah tidak mengakui diri bodoh, sehingga tidak mau belajar dari kebodohannya.
Masalah ketiga
3 – Pendapat anda yang mengatakan bermadzhab itu suatu yang bid`ah Karena tidak terdapat pada zaman Rasul, penulis menyangka anda belum lagi memahami kata-kata Bid`ah dengan sesungguhnya, tapi saya akan buat insyaallah pembahasan ini secara khusus.
Tetapi yang penting Madzhab memang tidak ada pada zaman Nabi karena para sahabat berada bersama nabi , jikalau ada permasalahan maka mereka akan menanyakan langsung kepada Nabi SAW, tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia maka mulailah hidup madzhab-madzah dikalangan sahabat, sehingga masyhur dikalangan mereka ada madzhab Abu Bakar, madzhab Umar, Utsman, Ali, Abdullah Bin Umar, Sayyidah `Aiysah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Mas`ud dan yang lainnya, demikian juga pada masa Tabi`in telah betumbuhan madzhab-madzhab ketika itu, seperti madzhab Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Salim Bin Abdallah, Urwah Bin Zubair, dan yang lainnya, sehingga Imam Abu Hanifah juga tergolong Tabi`in yang memiliki Madzhab yang diikuti, sementara Imam Malik tergolong Tabi`-Tabi`in yang memiliki banyak pengikut, maka jelaslah bahwa mengikuti madzhab yang ada dan diakui oleh ulama bukan hal yang bid`ah, jikalau hal tersebut bid`ah niscaya para sahabat ahli bid`ah.
Masalah keempat
4 – Larangan ulama Madzhab kepada murid-muridnya agar jangan mengikuti mereka adalah hal yang tidak benar, sebab seluruh perkataan ulama Madzhab telah dirobah oleh orang tertentu tentang pemahamannya, mari kita lihat sebahagian kata-kata Imam Syafi`i` dan kisah Imam Malik.
A – Kisah Imam Malik berserta Khalifah Abu Ja`far al-Manshuri.
Meriwayatkan Ibnu Abdul Barr dengan sanadnya kepada al-Waqidi, beliau berkata : Aku mendengar Malik Bin Anas berkata : ” ketika Abu Ja`far al-Manshur melaksanakan hajji, beliau memanggilku, maka bertemu dan bercerita dengannya, beliau bertanya kepadaku dan aku menjawabnya, kemudian Abu Ja`far berkata : ” Aku bermaksud untuk menulis kembali kitab yang telah kamu karang yaitu Muwaththa`, kemudian aku akan kirim keseluruh penjuru negeri islam, dan aku suruh mereka mengamalkan apa yang terkandung didalamnya, dan tidak mengamalkan yang lainnya. Dan meninggalkan semua ilmu-ilmu yang baru selain ” Muwaththa`, karena Aku melihat sumber ilmu adalah riwayat ahli Madinah dan ilmu mereka, dan aku pun berkata : Wahai Amirul Mukminin, Janganlah kamu buat seperti itu, Karena orang-orang sudah memiliki pendapat sendiri, dan telah mendengarkan hadits Rasul, dan mereka telah meriwayatkan hadits-hadits yang ada, dan setiap kaum telah mengambil dan mengamalkan apa telah diamalkan pendahulunya, dari perbedaan pendapat para shahabat dan selain mereka, jika menolak apa yang mereka percayakan itu sangat berbahaya, biarlah mereka mengamalkan apa yang telah mereka amalkan dan mereka pilih untuk mereka, berkata Abu J`afar : Kalaulah engkau suruh aku untuk membuat seperti itu niscaya aku akan laksanakan.
Dalam riwayat yang lain Imam Malik berkata : Wahai Amirul Mukminin Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW telah berpencar diberbagai negeri, orang-orang telah mengikuti madzhab mereka, maka setiap golongan berpendapat mengikuti madzhab orang yang diikuti. ( al-Intiqa : 41 , Imam Darul Hijrah Malik Bin Anas : 78 ).
Lihat bagaimana Imam Malik menjawab permintaan Khalifah Abu Ja`far, beliau tidak melarang orang-orang untuk bertaqlid pada Madzhab yang mereka akui, sebab pada masa itu madzhab fiqih sangat berkembang sekali, seperti di Iraq madzhab Imam Abu Hanifah, Di Syam berkembang Madzhab Imam Auza`i, di Mesir berkembang madzhab Imam Laits Ibnu Sa`ad, dan masih banyak lagi madzhab-madzhab yang berkembang saat itu, bahkan beliau menyarankan kepada Khalifah agar mereka dibenarkan untuk mengikuti madzhabnya masing-masing.
B – Berkata Imam Syafi`i :
المزني ناصر مذهبي
Artinya : Al-Muzani itu adalah penolong ( dalam menyebarkan ) madzhabku
( Lihat Siyar `Alam an-nubala` li adz-Dzahabi : 12/493, Thabqatu Syafi`iyah al-Kubra Li as-Subki : 1/323, terbitan Dar kutub ilmiyah ).
Dari perkataan Imam Syafi`i diatas sangat jelas sekali bahwa beliau tidak melarang seorangpun untuk mengikuti madzhabnya, bahkan beliau mengatakan kepada murid-muridnya bahwa al-Muzani adalah seorang penolong dan penyebar madzhab Syafi`i, kalau beliau melarang untuk mengikuti madzhabnya tentu beliau tidak mengatakan perkataan tersebut.
Diriwayatkan Imam al-Khatib didalam karangannya ” al-Faqih wa al-Mutafaqih ( 2 / 15 -19 ) ” cerita yang sangat panjang sekali tentang Imam al-Muzani seorang pewaris ilmu Imam Syafi`i, didalam akhirnya beliau mengungkapkan perkataan al-Muzani : ” Lihat kamulah apa yang kamu tulis dari pengajaranku, tuntutlah ilmu dari seorang yang Faqih, maka kamu akan menjadi Faqih “.
Dari perkataan Imam al-Muzani menyuruh muridnya untuk melihat apa yang beliau sampaikan, beliau tidak menyuruh mereka untuk melihat kepada Hadits, karena hadits tidak boleh difahami dengan sebenarnya hukum yang terdapat didalamnya kecuali seorang yang Faqih, dan menyuruh mereka untuk menuntut ilmu kepada seorang yang Faqih bukan hanya mengetahui hadits semata, sebab puncak ilmu hadits adalah Fiqih, kalau bermadzhab itu dilarang tentu Imam al-Muzani akan melarang melihat pengajaranya, akan tetapi menyuruh mereka mengambil secara langsung hukum dari al-Qur`an.
Penulis cukupi sampai disini saja dalam ungkapan ulama-ulama tentang mengikuti madzhab ulama Mijtahid..
Masalah kelima
5 – Perkataan Saudara yang mengatakan bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti menolak Sunnah Rasulullah adalah perkataan yang tidak benar dan tidak berasas, sebab seluruh ulama Mujtahid sangat berpegang teguh dalam mengamalkan sunnah Nabi SAW, mereka telah menjadikan al-Hadits sebagai sumbur kedua setelah al-Qur`an, kedudukan al-Hadits sangat tinggi sekali dipandangan mereka.
Sebahagian orang salah memahami perkataan Imam-imam Mujtahid seperti Imam Syafi`i, beliau berkata :
إذا وجدتم حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم على خلاف قولي فخذوا به ودعوا ما قلت
Artinya : Apabila kamu dapati perkataanku menyalahi perkataan Rasulullah SAW maka tinggalkanlah perkataanku dan ambillah Hadits Rasul..
Perlu kita ketahui pemahaman yang mengatakan Imam Syafi`i melarang mengikuti pendapatnya dari perkataan tersebut adalah pemahaman yang salah, dari ungkapan Imam Syafi`i memiliki pemahaman sebagai berikut .
A – Kamu boleh mengikuti pendapatku selama pendapatku tidak bertentangan dengan Hadits Rasulullah.
B – Perkataan ini menunjukkan betapa besarnya kedudukkan Hadits Nabi SAW dipandangan Imam Syafi`i.
C – Karena begitu besarnya kedudukan Hadits dihadapan Imam Syafi`i sehingga beliau menjadikan al-Hadits adalah sumber kedua didalam madzhabnya, ini menunjukkan bahwa beliau tidak akan mungkin mendahulukan pendapatnya dari pada Hadits Rasul, kecuali apabila hadits tersebut tidak dianggap shahih dan memiliki beberapa sebab sehingga tidak boleh mengamalkannya, sebab tidak seluruh Hadits shahih boleh diamalkan, masalah ini insyaallah akan saya perincikan pada pembahasan yang khusus.
D – Imam Syafi` hanya berpegang dengan hadits yang shahih menurut pandangannya, sebab beliau seorang ahli hadits yang masyhur, bukan hadits mansukh atau ijmak ulama tidak mengamalkannya, hadits yang memiliki permasalahan dan `illat.
Masalah keenam
6 – Adapun ungkapan saudara yang mengatakan pada zaman sekarang ini sebenarnya semangkin mudah untuk menjadi mujtahid disebabkan oleh banyaknya buku yang dicetak, berbeda dengan zaman dahulu, pendapat ini tidak benar, bahkan menyalahi kenyataan yang ada, coba kita lihat penyebab kenapa pada zaman ini sukar untuk menjumpai seorang mujtahid.
A – Tidak seluruh kitab telah dicetak dan disajikan kepada kita, terbukti masih banyak lagi kitab ulama-ulama muslim yang tersebar dalam bentuk Makhthuthath ( Munuskrip ) di negeri Erofah, Mesir, Turki, Saudi Arabiyah, Pakistan, Hindia dan lain-lain.
B – Banyaknya kitab-kitab hadits yang hilang dan tidak ditemui pada saat sekarang ini disebabkan berbagai kejadian, seperti pembakaran kitab-kitab pada masa Monggolia menyerang Baghdad dan membakar seluruh kitab-kitab Islam, penghancuran Negeri Islam di Andalusia, dan lain-lain , hal ini boleh kita ketahui jika kita mentakhrij hadits, dan ingin melihat dari sumber aslinya, tetapi tidak diketemukan.
C – Pada zaman sekarang orang belajar ilmu menurut bidangnya masing-masing, pelajar yang di Kuliah Syari`ah tidak mempelajari ilmu musthalah hadits secara mendalam, pelajar Kuliah Usuluddin tidak mempelajari Usul Fiqih dan Fiqih secara mendalam, pelajar Lughah bahkan sangat sedikit sekali mempelajari bidang ilmu fiqih dan hadits, dari cara belajar seperti ini bagaimana menjadi mujtahid.
D – Tidak adanya pada zaman sekarang orang dapat digelar al-Hafizh, ini membuktikan betapa buruknya prestasi kita dalam bidang hadits dibandingkan dengan zaman-zaman sebelum kita, bagaimana mau menjadi mujtahid hadits pun tidak hapal, kalaulah dalam ilmu hadits saja kita belum mampu menjadi al-Hafizh bagaimana pula ingin menjadi al-Mujtahid.
e – Tetapi yang sangat lucunya yang ingin jadi mujtahid itu sekarang terdiri dari pelajar-pelajar kedoktoran,insinyur, mekanik, yang bukan belajar khusus tentang agama, kalau pelajar agama saja tidak sampai kepada mujtahid bagaimana lagi dengan pelajar yang bukan khusus mempelajari agama, kalau pun jadi mujtahid pasti mujtahid gadungan( penipuan ).
Coba renungkan cerita Ibnu Taimiyah didalam kitabnya al-Muswaddah : 516, dan diungkapkan oleh muridnya Ibnu Qayyim, dari Imam Ahmad, ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Ahmad, : Apabila seseorang telah menghapal hadits sebanyak seratus ribu hadits, apakah dia sudah dikira Faqih ? Imam Ahmad menjawab : Tidak dikira Faqih, berkata lelaki tersebut : ” jika dia hapal dua ratus ribu hadits ? “, Imam Ahmad menjawab : ” tidak disebut Faqih “, berkata lelaki tersebut : ” jika dia telah menghapal tiga ribu hadits ?”, Imam Ahmad menjawab : ” tidak juga dikira Faqih”, berkata lelaki tersebut : ” Jika dia telah menghapal empat ribu hadits ?, Imam Ahmad menjawab : ” Beliau mengisyaratkan dengan tangannya dan mengerakkannya, maksudnya, mungkin juga disebut Faqih berfatwa kepada orang dengan ijtihadnya.
Cobalah renungkan dimana kedudukan kita dari Faqih dan al-Mujtahid, agar tahu kelemahan kita dan kebodohan kita.
E – Memang ada kitab-kitab yang dapat membantu kita agar dapat berijtihad, tetapi yang jadi permasalahannya, apakah kita mampu benar-benar memahami apa yang kita baca, apakah yang kita fahami sesuai dengan pemahaman ulama-ulama pada masa salafussalihin, sebab membaca hadits dengan sendirian tanpa bimbingan seorang guru akan membawa kepada kesesatan, sebagaimana pesan ulama-ulama agar mengambil ilmu dari mulutnya ulama yang ahli.
خذوا العلم من أفواه العلماء
Artinya : Ambillah ilmu itu dari mulutnya para ulama.
Berkata Imam Ibnu Wahab seorang murid Imam Malik yang alim dalam ilmu Hadits:
الحديث مضلة إلا للعلماء
Artinya : al-Hadits dapat menyesatkan seseorang ( yang membacanya ) kecuali bagi para ulama
Berkata Imam Sufyan Bin Uyainah ( seorang ulama besar yang ahli dalam fiqih dan hadits guru Imam Syafi`i ) :
الحديث مَضِلّة إلا للفقهاء
Artinya : al-Hadits itu dapat menyesatkan seseorang kecuali bagi ulama yang faqih. ( al-Jami` li Ibni Abi Zaid al-Qairuwani : 118 )
Masalah ketujuh
7 – Apa yang saudara ungkapkan bahwa ulama mujtahid adalah manusia biasa yang mungkin saja salah dalam perbutan atau pemahaman adalah benar, tetapi sangat salah sekali jika saudara menyangka bahwa mereka yang berijtihad tidak boleh diikuti karena mereka manusia biasa, yang sangat jelasnya, mereka bukan nabi, dan juga bukan bertarap seperti anda, tidak ada seorang ulama yang hidup sekarang ini yang mampu menandingi ilmunya Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam Syafi`i, Imam Ahmad.
Berkata Imam adz-Dzahabi mengungkapkan didalam kitabnya at-Tadzkirah : 627-628 , diakhir ceritanya dari generasi muhaddits yang kesembilan diantara tahun 258 H – 282 H, beliau berkata : Wahai syeikh lemah lembutlah pada dirimu, senantiasalah bersikap adil, janganlah memandang mereka dengan penghinaan, jangan kamu menyangka muhaddits pada masa mereka itu sama dengan muhaddits pada masa kita ( maksudnya dari masa 673 H – 748 H ), sama sekali tidak sama, tidak ada seorangpun pembesar Muhaddits pada masa kita yang sampai kedudukkannya seperti mereka didalam keilmuan .
Dari ungkapan Imam adz-Dzahabi diatas memberikan pengertian bahwa ilmu kita memang tidak setarap dengan para ulama-ulama mujtahid pada zaman dahulu, jadi jikalau mereka berijihad ternyata salah didalam maka mereka akan mendapat satu pahala dan tidak mendapat dosa, bagaimana dengan anda yang tidak sampai kepada derajat ijtihad kemudian berijtihad menurut kemampuan anda, maka kesalahan anda akan lebih banyak dibandingkan dengan ulama-ulama mujtahid yang terdahulu, dengan begitu seseorang yang memang sudah sampai kepada derajat mujtahid, apabila benar ijtihadnya maka akan mendapatkan dua pahala, jika salah dalam berijtihad maka mendapat satu pahala saja, tetapi jika anda yang belum sampai kepada tahap mujtahid berijtihad dan tersalah dalam ijtihadnya maka anda akan mendapatkan dosa, karena berijtihad dengan kebodohan.
Masalah kedelapan
8 – Adapun ungkapan anda tentang hadits yang Shahih wajib diamalkan secara langsung adalah salah satu kesalahan, sebab tidak semua hadits yang shahih dapat diamalkan secara lansung, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki `illat yang sangat samar sekali, kemungkinan hadits shahih tersebut dimansukhkan, atau haditsnya muthlaq kemudian dimuqayyadkan dan lain-lain, Penulis ( insyaallah ) akan membahas permasalahan ini secara khusus .
Pada zaman sekarang ini telah banyak kita lihat golongan yang anti dan berusaha untuk menyerang dan membasmi madzhab-mahzhab yang masyhur, dengan alasan kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan sunnah bukan berpegang teguh dengan madzhab, tidak pernah kita dapati didalam al-Qur`an atau didalam hadits Rasulullah untuk menyuruh kita bermadzhab, bahkan para pendiri madzhab sendiri pun melarang mengikuti jejak mereka, hal ini sangat aneh sekali, mereka mati-matian mengajak orang agar meninggalkan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Ahmad, tetapi mereka juga sengaja menarik orang untuk mengikuti pemikiran dan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah, apakah mereka tidak tahu bahawa mengikut pendapat Ibnu Taimiyah juga disebut mengikuti madzhab, atau mungkin mereka terlupa, juga mungkin karena ta`asub yang berlebih-lebihan terhadap Ibnu Taimiyah, atau juga mungkin hasad dan dengki dengan pendiri para Madzhab, kalau tidak sebab-sebab itu niscaya mereka tidak akan keberatan terhadap seseorang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, atau Syafi`i. kenyataan ini telah kita lihat sendiri, jikalau kita kata Ibnu Taimiyah saja yang berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah, maka maknanya madzhab-madzhab yang lain tidak benar, sebab menurut pandangan mereka ( orang yang tidak bermazhab atau golongan Wahabi ) bahwa Taimiayah yang benar, disini mereka terlupa bahwa Ibnu Taimiyah seorang manusia bukan seorang nabi yang tidak berdosa, wajarkah kita larang seseorang bermadzhab, sementara kita sendiri mengikuti madzhab seseorang, jikalau kita sebutkan seperti ini maka mereka tidak akan mengaku dengan sebenarnya, bahkan mencoba untuk memutar balikkan Fakta, dengan ucapan kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah, tetapi yang menjadi pertanyakan dibenak hati saya adalah apakah pendiri-pendiri Mazhab tidak mengikuti al-Qur`an dan al-Sunnah? tentu mereka menjawab ” Sudah tentu para pendiri madzhab mengikut al-Qur`an dan as-Sunnah tetapi mereka manusia yang mungkin memiliki kesalahan”, jadi menurut mereka ( anti mazhab ) karena adanya kesalahan pada ulama mujtahid maka mereka mengambil al-Qur`an dan Sunnah secara langsung, ini membuktikan mereka tidak akan tersalah dalam menentukkan hukum dalam berijtihad, jikalau sekiranya mereka sadar diri dengan kemampuan meraka niscaya mereka akan berpegang teguh dengan mana-mana mazhab yang empat.
Pada kesempatan ini saya hanya mencoba untuk memaparkan beberapa dalil yang menjadi pegangan masyarakat awam dalam mengikuti madzhab yang empat, beserta makna dan tujuan ” Madzhab ” dan bila timbulnya madzhab, dalam kesempatan lain insyaallah saya akan ketengahkan segala dalil-dali yang membatalkan anggapan-anggapan bahwa mengikuti mazhab adalah bid`ah.
Pengertian Madzhab
kalimat Madzhab berasal dari bahasa Arab yang bersumberkan dari kalimat Dzahaba, kemudian diobah kepada isim maf`ul yang berarti, Sesuatu yang dipegang dan diikuti, dalam makna lain mana-mana pendapat yang dipegang di ikuti disebut madzhab, dengan begitu madzhab adalah suatu pegangan bagi seseorang dalam berbagai masalah, mungkin lebih kita kenal lagi dengan sebutan aliran kepercayaan atau sekte, bukan hanya dari permasalahan Fiqih tetapi juga mencakup permasalahan `Aqidah, Tashawuf, Nahu, Shorof, dan lain-lain, didalam Fiqih kita dapati berbagai macam madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi`i, didalam `Aqidah kita dapati madzhab `Asya`irah, Maturidiyah, Muktazilah, Syi`ah, didalam Tashawuf kita dapati madzhab Hasan al-Bashri, Rabi`atu adawiyah, Ghazaliyah, didalam Nahu kita dapati madzhab al-Kufiyah dan madzhab al-Bashriyah.
Tumbuhnya Madzhab Fiqih
Pada zaman Rasulullah SAW ” madzhab” belum dikenal dan digunakan karena pada zaman itu Rasul masih berada bersama sahabat, jadi jika mereka mendapatkan permasalahan maka Rasul akan menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, para shahabat telah tersebar diseluruh penjuru negeri Islam, sementara itu umat islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para shahabat berfatwa untuk menggantikan kedudukan Rasul, tetapi tidak seluruh shahabat mampu berfatwa dan berijtihad, sebab itulah terkenal dikalangan para sahabat yang berfatwa ditengah sahabat-sahabat Rasul lainnya, sehingga terciptanya Mazhab Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Sayyidah `Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas`ud dan yang lainnya, kenapa shahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti sahabat yang telah sampai derajat mujtahid, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul dengan jumlah yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda, sementara Allah telah menyuruh mereka untuk bertanya kepada orang yang `Alim diantara mereka.
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya : Hendaklah kamu bertanya kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui
Pada zaman Tabi`in timbul pula berbagai macam madzab yang lebih dikenal dengan madzhab Fuqaha Sab`ah ( Madzhab tujuh tokoh Fiqih) di kota Madinah, setalah itu bermunculanlah madzhab yang lainnya dinegeri islam, seperti madzhab Ibrahin an-Nakha`i, asy-Syu`bi, sehingga timbulnya madzhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah, Hanabilah, madzhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama untuk diikuti karena beberapa sebab :
1 – Madzhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.
2 – Madzhab ini di turunkan dengan sanad yang Shahih dan dapat dipegang .
3 – Madzhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perobahan .
4 – Madzhab ini berdasarkan al-Qur`an dan al-Hadits, selainnya para empat madzhab berbeda pendapat dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan .
5 – Ijma`nya ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkan empat madzhab tersebut

 

Masalah Taqlid (ikut-ikutan) kepada Imam Madzhab


Daftar isi bab 3 ini diantaranya:
  • Dalil  kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad
  • Pembelaan al-Albani pada Syeikh Khajandi
  • Dialog antara Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti dengan anti madzhab
  • Tidak boleh mencari-cari keringanan ajaran yang paling mudah dan ringan dari Ulama




Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra] ). Ulama golongan ini berkata: “Sesungguhnya ilmu figih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.
Ulama yang melarang taqlid ini telah membikin heboh dunia Islam karena beliau telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti salah satu dari empat madzhab. Nama ulama yang melarang ini adalah Syekh Khajandi yang menulis dalam kitabnya Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Madzhabin Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. Beliau ini juga mengatakan bahwa orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat. Mereka ini telah memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt. dalam surat At-Taubah : 31 : “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surat Al-Kahfi : 103-104 :
“Katakanlah (wahai Muhammad); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya.”
Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya sangat keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang oleh ulama-ulama pakar dunia. Syekh ini sama halnya dengan golongan wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka.
Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi yang sangat berbahaya dan membingungkan ummat Islam yang saya kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh ini yang mengarahkan sesat, bodoh perilaku orang yang bertaqlid terhadap salah satu dari imam empat itu, walaupn yang taqlid itu tergolong orang awam. Setiap dalil yang Syeikh Khajandi tulis saya akan tulis jawabannya sekali menurut Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuti dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’ .
l. Syekh Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut ini :
Pertama; hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu !
Kedua; hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata : ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda ; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
Ketiga; hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting.
Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh ini menegas- kan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidak- lah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk meng- ikutinya.
Jawaban :
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti mengomentari ucapan Syeikh Khayandi diatas sebagai berikut :
“Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah saw. kepada orang arab badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya tidaklah kitab-kitab shohih dan musnad-musnad itu  dipenuhi oleh ribuan hadits yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama beberapa hari.
Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya. Maka diutuslah Khalid bin Walid ke Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang-orang yang sekelas (sederajad ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat. (Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah saw.
Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih sedikit. Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat- istiadat yang tidak ada sebelumnya. Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini.
Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel) mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh Khajandi itu bisa mengatakan ; ‘Adapun madzhab-madzhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat, ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘. Ucapan Syeikh ini sama persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert dimana dengan sombong dan kasarmengatakan; ‘Figih Islam yang ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang istimerwa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah’.
Rasulallah saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi kesepakat- an bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulallah saw. pun menyetujui kesepakatan mereka itu.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa ketika Nabi saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau saw.bersabda : ‘Apa yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara ?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah’. Rasulallah saw. kembali bertanya ; ‘Jika tidak ada dalam Kitabullah..?’. Mu’az menjawab :’Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah’. Rasulallah bertanya lagi : ‘Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…?’. Mu’az menjawab : ‘Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan saya tidak akan melebihkannya’. Mu’az berkata :’Rasulallahpun akhirnya menepuk-nepuk dada saya dan bersabda : ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadi- kan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhoi olehnya’.
Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat. Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa madzhab-madzhab itu adalah ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikutinya ?
Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi yang hanya berargumentasi dengan beberapa dalil yang sudah kami kemukakan itu. Hukum Islam itu meluas dan mencakup hal-hal yan berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung melalui dilalah ddhahirnya yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath. Mana saja diantara dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami hukum, maka itulah hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah tetap pada hukum tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun yang datang meminta fatwa kepadanya.
Kalau benar bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulallah saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?
2. Syeikh Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah saw.
Jawaban:
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan Syeikh ini sebagai berikut : “Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw. melalui haditsnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an dan hadits itu sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-qur’an dan hadits yang termasuk dalil-dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir dari kegath’iyyan (kepastian) dalil tersebut.
Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan diatasmaka pemahaman mereka yang termasuk mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam. Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..? Apakah jika pemahaman terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal diketika hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak akan pernah terjadi.
Syeikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas memiliki persangkaan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan madzhab Rasulallah saw., dan kemunculannya hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah tersebut. Sebuah persangkaan yang sangat keterlaluan…!
3. Syeikh Khajandi berkata; Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran !
Jawaban :
Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi berkata: Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur. Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan, maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari ucapan Syeikh yang gegabah. Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian masalah tersebut dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama kita. Jadi walaupun masalah taqlid kepada salah satu madzhab diantara madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur nanti, bukanlah berarti dia harus disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan orang awam bertaqlid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis sebagaimana nanti akan diuraikan secara lebih rinci.
Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh ulama dan kaum muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur mereka.
Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa yang menjadi sasarannya hanya madzhab yang empat…? Apa bedanya madzhab imam yang empat ini dengan madzhab Zaid bin Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin ‘Abbas dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam ? Apa perbedaan madzhab yang empat ini dengan madzhab ahlu al-ra’yi di Irak dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz dan pelopor berdiri- nya dua madzhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in yang terbaik ?
Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan madzhab-madzhab yang tersebut diatas adalah juga termasuk para mukallid…? Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan, bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasulallah saw….? Ataukah Syeikh ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari agama dan memecah-belah madzhab Rasulallah hanyalah madzhab yang empat itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan dapat berdampingan bersama madzhab Rasulallah saw…..?
Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan terakhir diatas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling utamanya adalah satu kedustaan. (Ahlaahuma murrun wa afdhaluhuma kazibun waftiro’un).
Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad
a. Firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya’ : 7  yang artinya :
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”.
Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaqlid kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat diatas adalah firman Allah swt. dalam surat At-Taubah : 122  yang artinya :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang). Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”.
Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an jilid 8/293-294 diterangkan bahwa  Allah swt. melarang manusia pergi berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah swt.
b. Ijma’ ulama bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa. Ibnu Khaldun berkata : ‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua : Ada yang termasuk mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang bertaqlid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti ketika menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti pasti menjelas- kan dalil-dalil hukum itu.
Rasulallah saw. pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut, baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalah- an yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, maka terhadap perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.
c. Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385 pada bab Taqlid dan Istifta’ bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaqlid, berkata sebagai berikut : Kami berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa”.
d. Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata : Ijma’ dimaksud   adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in sebelum munculnya orang-orang yang menyimpang yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat, mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan para sahabat nabi yang bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.
e. Pada zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits.
Diantara tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari. Adapun tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi; ‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari.
Antara tokoh-tokoh kedua madzhab diatas ini sering juga terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah bertaqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga perdebatan yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.
f. Syekh Abdullah Darras berkata : “Dalil logika untuk masalah ini  adalah bahwa orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan caranya bersikap :
Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taqlid. Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan hukum”.
Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil, maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Qur/an dan Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur’an sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang yang mujtahid “.
Dalam hal ini As-Syatibi berkata:
“Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam adalah seperti dalil-dalil syar’i bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi orang-orang awam yang taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena mereka tidak mampu mengambil pengertian darinya. Maka masalah meneliti dalil dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman : ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’ (Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.
Syekh Khajandi dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat telah menjadikan ucapan Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah sebagai dalil yang betul-betul telah mem- perkuat pendapatnya dan beliaupun tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan dari ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah demikian adanya.
Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut diatas dan sanggahan/ jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti terhadap ucapan Syeikh Khajandi.
1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai berikut:
(Faman akhodza bijamii’i agwaali abii Haniifah au jamii’i aqwaali Maaliki au jamii’I aqwaali Syaafi’i au jamii’i aqwaali Ahmad au ghoirihim wa lam ya’tamid ‘alaa maa jaa a fil kitaabi was sunnati faqod khoolafa ijmaa’il ummati kullihaa wa ttaba’a ghoiro sabiilil mu’minin. )
Artinya : “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’ seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukimin “.
Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.
Jawaban :
Terhadap kutipan tersebut,  Dr. Sa’id Ramdhan mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata :
( I’lam an haadzihil madzhaahibal arba’atal mudawwanatal muharrorota godij Tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi minhaa ‘alaa jawaazi taqliidihaa ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa yakhfaa laa siyyamaa fii haadzihil ayyaami allatii goshurat fiihaa lhimamu jiddan wa usyribati n nufuusu lhawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi. )
Artinya :  Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “
Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.
2) Syeikh Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam meng- haramkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.
Jawaban:
Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i. Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qowaa’idul Ahkam 11/135 :
( “Wayutstatsnaa min dzaalikal ‘aammatu fainna wadhiifatahum attaqliid li’ajzihim ‘anit tawassulli ilaa ma’rifatil ahkaam bil ijtihaadi bikhilaafil mujtahidi fainnahu goodirum ‘alaan nadhril muaddii ilal hukmi. Wa man gollada imaaman minal aimmati tsumma arooda ghoirohu fahal lahu dzaalika..? fiihi khilaafun, wal mukhtaarut tafshiilu fain kaanal madzhabul ladzii aroodal intigoola ilaihi mimma yangudhu fiihil hukma falaisa lahul intigoolu ilaa hukmi yuujibu nagdhohu, fainnahu lam yajibu nagdhohu illaa libuthlaanihi, fain kaanal akhdzaani mutaqooribaini jaazat taqliidu wal intigoolu liannan naasa lam yazaaluu min zamanis shohaabati ilaa an dhoharotil madzaahibul arba’atu yugolliduuna minit tafaqa minal ‘ulamaai min ghoiri nakiiri ahadin yu’tabaru inkaaruhu walau kaana dzaalika baathilan ankaruuhu”. )
Artinya : “Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang taqlid kepada seorang imam (dalam satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian ? Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni :
a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan kebatalannya.
b) Jika dua madzhab itu berdekatan ( keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh pula berpindah-pindah. Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”.
Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diper- selisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi
3) Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.
Jawaban:
Syeikh Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul Qoyyim akan berpendapat seperti yang tersebut diatas. Karena beliau (Ibnul Qoyyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali. Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168 :
( “ dzikru tafshiilil qouli fii ttaqliidi wangisaamuhu ilaa maa yahrumul qoulu fiihi wal iftaau bihii wa ilaa maa yajibul mashiiru ilaihi wa alaa maa yusawwighu min ghoiri iijaabin. Fa amman nau’ul awwalu fahua tsalaatsatu anwaa’in ahaduhumaa al i’roodhu ‘ammaa anzalallahu wa ‘adamul iltifaati ilaihi iktifaaan bitaqliidil aabaai, At tsaani taqliidu man laa ya’lamul mugollidu annahu ahlun la an yuukhodza bigoulihi, Attsaalitsu attaqliidu ba’da giyaamil hujjah wa dhuhuurid daliil ‘alaa khilaafi goulil mugolladi “ Tsumma athoola ibnul Qoyyim fii sardi wa syarhi adhroori wa masaawi i ttaqliidil muharromi alladzii hashorohu fii hadzihil anwaa’i tstsalaatsati. )
Artinya : ( “Rincian pendapat tentang taqlid dan pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni taqlid yang haram terdiri dari tiga macam: a). Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taqlid kepada nenek moyang. b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak. c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang ditaqlid”. Kemudian Ibnul Qoyyim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taqlid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut ).
Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qoyyim yang panjang lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah berkisar pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul Qoyyim mengatakan sebagai berikut :
“Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela orang-orang kafir yang taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl : 43) yakni para ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka).
Ayat An-Nahl : 43 ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama. Jawaban terhadap pernyataan diatas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini adalah taqlid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah namun sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia taqlid kepada orang yang lebih alim darinya, maka taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.
Pembelaan Nashiruddin al-Albani pada Syeikh Khajandi
Pendapat Syekh Khajandi tersebut diatas mengenai pengharamannya untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang tersebut diatas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani (baca keterangan mengenai al-Albani pada halaman sebelumnya) dan dibela mati-matian, suatu hal yang meng- herankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain karena Syeikh Khajandi ini sepaham dan satu kelompok golongan dengannya dan al-Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.
I. Al-Albani mengatakan : “Sanggahan dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi itu tidak benar. Dia (Albani) pembela Syeikh Khajandi ini mengatakan juga bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab tertentu”
Jawaban :
Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21 :
( “ Waddiinu wal fighu wal ‘ilmu intasyaro fil Ummati  ‘an ashhaabi bni Mas’ud wa ashhaabi Zaidi bni tsaabit wa ashhaabi ‘abdillah bni ‘Abbas. Fa’ilmun Naasi ‘ammatan ‘an ashhaabi haaulaail arba’ati. Fa ammaa ahlul madiinati fa’ilmuhum ‘an ashhaabi Zaidi bni Tsaabit wa ‘Abdillahi bni ‘Umar. Wa ammaa ahlu makkata fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni ‘Abbas ra. Wa ammaa ahlul ‘iraaqi fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni Mas’uud “ ).
Artinya : Agama, figh dan ilmu tersebar ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Bahkan dalam sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atho’ bin Abi Robah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama. Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi madzhab kedua imam tersebut.
II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini :
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”.
Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ diatas adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud, Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “.
Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama”.
Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.
Jawaban :
Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan takwil agar tetap dikesankan berada diatas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannyabahwasanya seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah wafat. Dan karena dia seorang muslimmaka haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhon (bersangka baik) kepadanya.
Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhon kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albaniakan dibantahnya, dicela dan didamprat  habis-habisan !!.
Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arobi seper empat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan mereka (para sufi)!
Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II c diatas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap membantahnya.
Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan, kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi ! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234 telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu. Ibnul Qoyyim berkata :
( “Alfaaidatu tsaaminah wal arba’uun]  idzaa kaana ‘indar rojuli ashshohiihaani au ahaduhumaa au kitaabun min sunani Rasuulillahi saw. muutsagun bimaa fiihi fahal lahu an yuftiya bimaa yajiduhu fiihi ?…wash showaabu fii haadzihil mas alatit tafshiilu fain kaanat dalaalatul hadiitsi dhoohiratan bayyinatan likulli man sami’ahu laa yahtamilu ghoirol muroodi falahu an ya’mala bihi wa yuftiya bihi wa laa yathlubut tazkiyata lahuu min gouli fagiihi au imaamin balil hujjatu goulu Rasuulillahi saw. Wa in kaanat dalaalatuhu khofiyyatan laa yatabayyanul muroodu minhaa lam yajuz lahu an ya’mala wa laa yuftiya bimaa yatauwah-hamuhu muroodan hattaa yas-alu wa yathluba bayaanal hadiitsi wa wajhahu…”).
Artinya : “(Faidah ke 48) : Apabila seseorang memiliki dua kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut ? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil). Bila makna yang dikandung oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomen- dasi lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang ), maka dia tidaklah boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadits itu “.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata :
( “ Wa hadzaa kulluhu idzaa tsammata nau’u ahliyyatin walakinnahuu gooshirun fii ma’rifatil furuu’I wa gowaa’idil ushuuliyyiina wal ‘arabiyyati. Wa idzaa lam takun tsammata ahliyyatun gotthu fafardhuhu maa goolahullahu ta’aalaa: Fas-aluu ahla ddzikri in kuntum laa ta’lamuun [An-Nahl :43] “).
Artinya : “Semua yang dibicarakan diatas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah swt. : ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’  (An-Nahl :43) “.
III. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Khajandi dari Imam  ad-Dahlawi itu adalah tidak benar. Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang diatas namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini. Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan kesalahan yang dilakukan oleh mereka.
Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan ini  [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata :
“Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah : ‘Ketahuilah bahwa kaum muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu madzhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam kitanya Quutul Qulub mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas mujtahidintidaklah mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw.. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “.
Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi !!.
Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazmin :
( “ Goola Ibnu Hazmin : Innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasuulillahi saw. bilaa burhaanin”).
Artinya : “Ibnu Hazmin berkata : ‘ Taqlid itu haram dan seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”.
Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban :
Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin bukanlah seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini :
( “ I’lam an hadzihil madzaahibal arba’atal mudawwanatal muharrorota godij tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi ‘alaa jawaazi taqliidihaa ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa yakhfaa laa siyyamaa fii haadzihil ayyaamil latii goshurat fiihal himamu jiddan wa usyribatin nufuusul hawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi ”).
Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri. “
Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata :
( “ Famaa dzahaba ilaihi ibnu Hazmin haitsu goola innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasuulillahi saw. bilaa burhaanin…innamaa yatimmu fiiman lahu dhorbun minal ijtihaadi walau fii mas-alatin waahidatin “).
Artinya : “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan : ‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalilmengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu masalah”.
Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalam Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah saw. dan mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah. Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham mereka (baca keterangan akidah golongan salafi/wahabi dalam makalah ini ).
Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu dicela oleh golongan ini.
Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya mereka tidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah !
IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut:
( “Almukallafu biahkaamis syarii’ati laa yakhluu min ahadin umuurin tsalaatsatin : ahaduhumaa an yakuuna mujtahidan fiihaa fahukmuhu maa addaahu ilahi ijtihaaduhu fiihaa. Wats tsaanii an yakuuna mugallidan shirfan kholiyyan minal ‘ilmil haakimi jumlatan falaa budda lahu min gooidin yaguuduhu. Wats tsaalitsu an yakuuna ghoira baalighin mablaghal mujtahidiina lakinnahuu yafhamud daliila wa maugi’ahu wa yashluhu fahmuhu lit tarjiihi “).
Artinya : “Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara ; Pertama, ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.
Jawaban :
Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’.
Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 111 halaman 253 guna melihat bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya. Berikut keterangannya :
“(Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah memperhati kan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya “.
Dengan keterangan diatas jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.
Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar : “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagai- mana anda sendiri telah melihatnya ? Bagaimana seorang muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid ?
Beginilah sebagian wejangan dan bantahan Syekh Said Ramdhan terhadap ucapan Syeikh Khajandi yang semuanya ini saya kutip dari buku Argumentasi Ulama Syafiiyyah oleh Ustadz Mujiburrahman.
Dialog antara Syeikh Sa’id Ramdhan degan anti madzhab
Dibuku itu masih ada kutipan dialog antara Syeikh Sa’id Ramdhan dengan kelompok anti madzhab yang terdiri dari seorang pemuda dan kawan-kawan nya yang sengaja datang mengunjungi Syeikh Sa’id Ramdhan.. Saya hanya akan mengutip beberapa bait yang penulis anggap penting untuk diketahui oleh si pembaca diantaranya adalah :
Syeikh Sa’id berkata : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Anti madzhab menjawab : Saya akan menelisti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Syeikh Sa’id : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ? (Rupanya Syeikh Sa’id ingin mengetahui apakah pemuda ini langsung bisa menjawab atau Syeikh ini ingin tahu bagaimana cara pemuda itu mencari dalil-dalilnya, karena dirumah Syeikh ini ada perpustakaan, pen.).
Anti madzhab : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?
Syeikh Sa’id : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.
Anti madzhab : Wahai Tuan ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain ! (Rupanya pemuda ini kerepotan menjawab dan mencari dalil-dalilnya atas pertanyaan Syeikh ini walaupun didepan mereka ada perpustakaan., pen.)
Syeikh Sa’id : Baiklah..! Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Anti madzhab : Ya benar !
Syeikh Sa’id : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Anti madzhab : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
Syeik Sa’id : Apa kewajiban Mukallid ?
Anti madzhab : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.
Syeikh Sa’id : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Anti madzhab :  Ya, hal itu hukumnya haram !
Syeikh Sa’id : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?
Anti madzhab : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Syeik Sa’id : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Anti madzhab : Qiro’at imam Hafash .
Syeik Sa’id : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?
Anti madzhab : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Syeikh Sa’id : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !
Anti madzhab : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Syeik Sa’id : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Anti madzhab : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Syeikh Sa’id : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?
Anti madzhab : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Syeikh Sa’id: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Anti madzhab : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”.
Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Syeikh Sa’id: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Dr. Sa’id melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.
Anti madzhab: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Syeikh Sa’id : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian !
(Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Syeikh Sa’id mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.

Demikianlah sebagian isi dialog antara Syeik Sa’id Ramdhan al-Buuti dengan anti madzhab. Setelah itu mereka melanjutkan dialog tentang masalah yang lain. Bila pembaca berminat membaca semua isi dialog silah- kan membaca buku Argumentasi Ulama Syafi’iyyah ini yang dijual di Surabaya dan lain kota di Indonesia..
Tidak boleh mencari-cari keringanan ajaran yang paling mudah dan ringan dari Ulama (dikutip dari buku yang berjudul Shalat bersama Nabi saw. oleh Ustadz Hasan bin ‘Ali As-Saqqaf, Dar-al Imam an-Nawawi, Amman, Jordania)

Ada golongan muslimin yang mencari-cari keringanan dari para ulama atau mencari ajaran Islam yang paling mudah dan paling ringan serta cocok dengan keinginan hawa nafsunya dan tujuan pribadinya tanpa didasarkan pada keterangan yang benar menurut syari’at Islam. Mereka sering berdalil bahwa suatu masalah dalam agama (yang mereka hadapi itu) masih belum disepakati para ulama, oleh karenanya mereka tidak dapat disalahkan secara mutlak.

Ada beberapa orang yang pura-pura mengikuti pendapat para ulama, tetapi dia kemudian berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain atau dari satu pendapat ke pendapat lain untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Meskipun dia menutup-nutup dirinya dengan pengamalan syariat dan mengikuti para ulama, tetapi sebetulnya mereka hanya mengikuti (bah kan menyembah) hawa nafsunya sendiri.

Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya ini telah disindir dan dicela oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya :
Dalam QS Shad : 26 : “Maka Janganlah kamu mengikuti hawa (nafsu), karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah “.

Dalam QS An-Nisa : 135 : “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala ap yang kamu kerjakan”

Dalam QS Al-Jatsiyah : 18 : “Kemudian Kami jadikan kamu diatas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang dzalim”.

Dalam QS Al-Furqan : 43-44 : “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya. Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternah, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu)”.

Dalam QS Al-Maidah : 70 : “Setiap datang seorang Rasulallah kepada mereka dengan membawa apa yang tidak di-ingini oleh hawa nafsunya, maka sebagian dari para Rasul itu mereka dustakan dan sebagiannya lagi mereka bunuh “.

Didalam Al-qur’an Allah swt. mencela seseorang yang ‘alim (pandai) diantara kaumnya (tetapi suka mengikuti hawa nafsunya). Dia berfirman dalam QS Al-A’raf : 176 :
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya (pasti) Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah”.

Dan masih banyak lagi firman Allah swt. mencela orang yang sering mengikuti hawa nafsunya untuk melakukan kepentingan pribadinya sendiri.

Dari beberapa ayat Al-Qur’an diatas kita mengetahui secara pasti bahwa tidak mengikuti kehendak hawa nafsu termasuk inti dan pokok ajaran agama Islam. Sedangkan mencari-cari keringanan suatu masalah agama tidak lain adalah mengikuti keinginan hawa nafsunya terhadap suatu masalah tersebut.

Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar adalah perbuatan haram. Atas dasar itulah, setiap mujtahid (orang yang benar-benar mencari kesimpulan hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti) pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shohih dan kuat dalam madzhab imam (mujtahid) nya.

Pendapat sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah diatas ini :
1. Al-Hafidh Ibn Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhlih II :112, telah meriwayatkan perkataan Sulaim At-Taimy ; “Jika kamu mengambil rukhsah atau keringanan setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu segala kejahatan (dosa)”. Kemudian lanjutnya : “Ini kesepakatan atau ijma’, dan (saya) tidak mengetahui ada orang yang menentangnya”.

2. Imam Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab nya mengatakan : “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab apa saja yang dikehendakinya, maka akibatnya dia akan terus-terusan mengutip (mengambil) semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharam- kan (sesuatu masalah) dan yang menghalalkannya, atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan taklif (beban)”.
Senada dengan pendapat Imam Nawawi ini disampaikan juga oleh Al-Hafidz Ibn Al-Shalah dalam kitabnya Adab Al-Mufty wa Al-Mustafty I :46.

3.  ‘Allamah Al-Syathiby dalam Al-Muwafaqat-nya mengatakan : “…maka sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan atau rukhsah dari para ulama madzhab tanpa bersandar pada dalil syara’. Menurut Ibn Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu merupakan kefasikan (kedurhakaan) yang tidak halal (untuk dilakukan). Maksud Al-Syatiby kata-kata tanpa bersandar pada dalil syara’ ialah tanpa dalil syara’ yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan atau dalil yang muktabar. Jika tidak begitu maksudnya, maka ada orang yang meninggalkan sholat wajib dengan berdalil pada firman Allah swt. Al-Ma’un : 5 ; ‘Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat’.

4.   Al-Hafidh Al-Dzhaby dalam Sayr A’lam Al-Nubala’ mengatakan : “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama) berbagai madzhab dan (mencari-cari) kekeliruan para mujtahid, maka tipislah agamanya”. Hal seperti ini juga dikatakan oleh Al-Awza’iy dan yang lainnya: “Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah dalam hal nikah mut’ah, orang-orang Kufah dalam hal nabidz (anggur), orang-orang Medinah dalam hal ghina (lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam hal ‘Ishmah (keterpeliharaan dari dosa) para khalifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada dirinya)”.
Demikianlah pula orang-orang yang mengambil pendapat ulama yang mencari-cari siasat untuk menghalalkan jual-beli yang berbau riba atau yang mempunyai keleluasaan dalam masalah thalaq serta nikah tahlil dan lain sebagainya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya telah mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari ikatan taklif (beban).

5.   Imam Al-Hafidh Taqiyyduddin Al-Subky dalam Al-Fatawa nya I : 147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan dari berbagai madzhab. Dia mengatakan: “Mereka menikmati (dirinya), karena dalam kondisi seperti itu mereka mengikuti hawa nafsunya dan bukan mengikuti agamanya”. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang suka memilih pendapat yang paling cocok buat dirinya dan mengikuti dari satu madzhab yang sesuai dengan pilihannya.

Sebagian orang pada zaman sekarang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan pada hadits dari Siti ‘Aisyah ra yang menyatakan: “Setiap kali Rasulallah saw. dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah diantara keduanya”.
Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali. Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Al-Fath Al-Bari VI : 575 dalam syarh-nya mengatakan : Dua perkara (dua pilihan pada hadits tersebut) yang berhubungan dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam hadits ‘Aisyah): ‘Jika bukan perbuatan yang (mengandung) dosa’. Jika yang dimaksud (dua pilihan) adalah urusan agama, maka tidak ada dosanya.
Allah swt. mewahyukan kepada Rasul-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh mu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah, atau mengambil yang paling mudah dan ringan saja.

Rasulallah saw. pernah bertamu pada seseorang. Lalu seseorang ini berkata kepada Rasulallah saw. : Apakah aku harus menyediakan cuka (makanan asam) atau daging ? Dalam keadaan seperti itulah (urusan duniawi) Rasulallah saw. akan memilih dan mengatakan ; Berikanlah kepadaku yang paling mudah bagimu.

Dengan demikian, jelaslah bahwa mengikuti pendapat yang membolehkan untuk memilih-milih pendapat yang paling ringan dan mudah berdasarkan hadits Siti ‘Aisyah itu tidak menggunakan dalil yang tepat. Atau, mungkin dia berkeinginan untuk memasukkan kerancuan dan keraguan kepada hati orang-orang awam (biasa), bahwa apa yang dibawa dan dilakukannya itu boleh menjadi dalil bagi apa saya yang dia kehendaki.

Kita muslimin tidak akan mengingkari samahat (keluwesan, kemudahan dan kelapangan) dalam syari’at Islam. Yang dimaksud samahat dalam syari’at Islam ini ialah keringanan yang diberikan oleh Allah swt., umpamanya: a) Orang yang sakit diperbolehkan melakukan sholat dengan duduk, sambil berbaring, atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya. b). Orang yang akan bersuci baik untuk menghilangkan hadats atau menghilangkan najis tetapi dia tidak mendapatkan air atau takut berbahaya jika menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk menggunakan tanah (tayammum) sebagai ganti air. Dengan demikian, hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim dengan dalih adanya kemudahan, keluwesan dan keringanan dalam Islam ini, lantas boleh mencari-cari yang paling mudah atau paling ringanmenurut pikirannya dari sekian banyak pendapat ulama, bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun.

Ada sebagian orang yang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan sebuah hadits: Ikhtilaf ummatku adalah rahmat. Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafidh Al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghimari dalam kitabnya Al-Mughayyir Al-Ahadits Al-Maudhu’ah . Dia menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (dibuat-buat). Juga hadits yang lain: Sesungguhnya Allah menyukai untuk diterima rukhsah atau keringanan-Nya sebagaimana Dia suka dipenuhi ketetapan (yang) wajib-Nya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy dan lain-lainnya.

Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada alasan untuk menggunakan hadits-hadits itu sebagai dalil bolehnya mencari-cari keringanan atau kekeliruan para ulama. Walaupun umpamanya hadits-hadits itu shohih, kita tidak bisa mensamakan maksud rukhsah/samahat Allah swt. tentang ber- tayammum bila tidak ada air atau ketika tidak boleh menggunakan air karena akan menimbulkan bahaya. Juga tidak sama maksudnya dengan bolehnya berbuka puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian, (dan tidak sama maksudnya dengan bolehnya atau rukhsah/ samahat tentang qashar/penyingkatan sholat wajib bila dalam perjalanan,– pen.) .

Hal-hal seperti itu berbeda dengan mencari-cari dan mengikuti segala keringanan dan perkataan atau pendapat dari para ulama. Boleh jadi para ulama itu benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah dalam masalah yang lain.

Sudah tentu kita harus menghargai pendapat para ulama yang dalam ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya dan tidak terlalu fanatik buta, meskipun pendapat para ulama ini bertentangan dengan pendapat kita. Secara lahiriah, para mujtahid yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid sesungguhnya ingin mencari keridhaan Allah swt. dan berkeinginan untuk mendapatkan yang hak atau benar, asalkan pendapat- nya itu jauh dari hal-hal yang syadz atau aneh atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) kebanyakan ulama.

Sedangkan orang-orang yang melakukan ijtihad mengenai hal-hal yang semestinya tidak perlu di-ijtihad, atau hal-hal yang bertentangan dengan ijma’ ulama, tidak sejalan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus kita jauhi. 

Apalagi orang-orang yang ijtihad ini menganggap dirinya seorang mujtahid yang jika ia salah tetap mendapat satu pahala dan jika ia benar mendapat dua pahala, seraya mengaku atau menyamakan dirinya sebagai kelompok ulama besar. Orang-orang ini kadang-kadang memperlihatkan keberaniannya/tanggung jawabnya dalam mengambil kesimpulan hukum Islam. Mereka ini sering juga mengaku dirinya sebagai seorang reformer (pembaharu) atau juga sebagai seorang innovator (seorang ahli pikir), padahal sesungguhnya dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa.

Maka bila kita berhadapan dengan orang-orang semacam ini, tidak perlu dipertimbangkan lagi dia sudah pasti berdosa karena telah sesat bahkan menyesatkan orang lain. Segala perkataannya harus ditinggalkan sejauh-jauhnya. Hanya milik Allah-lah segala urusan.

Demikianlah sebagian kutipan dari buku Shalat bersama Nabi saw. tentang haramnya orang yang sering mencari-cari keringanan untuk suatu masalah hukum Islam. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. amin.





Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū anīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di KufahIrak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dariMadzhab Yurisprudensi Islam Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin AnasImam Syafi’i,Abu DawudBukhariMuslim dan lainnya.
[sunting]Referensi
  1. ^Imaam Abu Hanifa (R.A.), Biography of One of The Four Great Imaams- I
  2. ^ The Conclusive Argument from God:Shah Wali Allah of Delhi’s Hujjat Allah Al-baligha, pg 425
  3. ^Imam-ul-A’zam Abu Hanifa, The Theologian

Upholding the Opinion that Imam Abu Hanifa was One of the Tabi`in


[Source: Dr. `Inayatullah Iblagh al-Afghanistani, Doctorate thesis: al-Imam al-A`zam Abu Hanifa al-Mutakallim (The Greatest Imam: Abu Hanifa, The Theologian), 2nd edition, with supervision of Dr. Muhammad Ali Mahjub, Minister of Awqaf and President of the Supreme Council for Religious Affairs, Cairo, 1987.]
Some counted his teachers as four thousand within the ranks of the Tabi`in. Among them al-Laith ibn Sa`d and Malik ibn Anas, the Imam of Dar al-Hijra as mentioned by Daraqutni [al-Khairat al-Hisan, 23].
The author of al-Khairat al-Hisan collected information from books of biographies and cited the names of the Sahaba whom it is reported that the Imam has transmitted ahadith from. He counted them as sixteen of the Sahaba. They are:
1. Anas ibn Malik
2. Abdullah ibn Anis al-Juhani
3. Abdullah ibn al-Harith ibn Juz’ al-Zabidi
4. Jabir ibn Abdullah
5. Abdullah ibn Abi Awfa
6. Wa’ila ibn al-Asqa`
7. Ma`qal ibn Yasar
8. Abu Tufail `Amir ibn Wa’ila
9. `A’isha bint Hajrad
10. Sahl ibn Sa`d
11. al-Tha’ib ibn Khallad ibn Suwaid
12. al-Tha’ib ibn Yazid ibn Sa`id
13. Abdullah ibn Samra
14. Mahmud ibn al-Rabi`
15. Abdullah ibn Ja`far
16. Abu Umama
Many disagreements exist regarding his reporting of Ahadith from some of these Sahaba. His reporting from Anas is supported by most of the biographers. The following are some of the Ahadith believed to be reported by the Imam directly from the Sahaba. Many biographers list them in their books:
First Hadith:
“Seeking of knowledge is an obligation on each and every Muslim.” Reported by Abu Hanifa upon the authority of Anas ibn Malik. Many books of biography mention two chains of transmition for this Hadith.
Arabic transliteration: (“Talabu al-`ilmi fariDaatun `ala kulli muslim”)
Second Hadith:
Abu Hanifa reported upon the authority of Jabir ibn Abdullah, said, “A man from the Ansar came to the Prophet Muhammad (saw) and said, ‘O Messenger of Allah! I never was gifted a son and a son was never born to me.’ So he (saw) said, ‘And where are you from the abundance of zikr and istighfar? Allah provides, by them, the children.” He said, “So, the man used to increase his charity and his asking for forgiveness.” Then Jabir, said “nine sons were born to him.”
Some argued, though, that Jabir died in the year 79 A.H. while Abu Hanifa was born, most probably, in the year 80 A.H., so how can this report be true?
Arabic transliteration: (“Ja’a rajulun min al-anSar ila al-nabi – Salla allahu `alaihi wa sallam – fa qala lahu, ‘ya rasulallahi ma ruziqtu waladan qaTT wa la wulida li,’ faqala, ‘wa aina anta min kathrat al-istighfar wa al-Sadaqa, yarzuqu Allahu biha al-walad.’ Qal, “fa kana al-Rajul yukthiru min al-Sadaqa wa al-istighfar.” Wa qala jabir – radiya allahu `anh – “fa wulida lahu tis`atun mina al-dhukur”).
Third Hadith:
The Greatest Imam said, “I heard Abdullah ibn Juz’ al-Zabidi, the companion of the Prophet (saw), saying, “Whoever learned the knowledge of religion, Allah will protect him from worries and will provide him with sustenance from where he does not expect.”
Arabic transliteration: (“Man tafaqqaha fi al-din kafahu Allahu hammahu wa razaqahu min Haythu la yaHtasib”).
Fourth Hadith:
Reported from Abu Hanifa, said, “I heard Abdullah ibn Abi Awfa saing, “I heard the Prophet (saw) saying, “Whoever built a mosque, even if it be like a nest of a sand-grouse, Allah will build him a house in Paradise.”
Arabic transliteration: (“Man bana lillahi baitan wa law ka mafHaSi qaTa, bana Allahu lahu baitan fi al-janna”).
Fifth Hadith:
Reported from Abu Hanifa, said, “I was born in the year eighty, and Abdullah ibn Anis came to Kufa in the year ninety-four, and I heard from him while I was fourteen years old. I heard him saying, ‘Your loving the thing causes blindness and deafness.’”
Arabic transliteration: (“Wulidtu sanata thamanin, wa qadima Abdullah ibn Anis al-Kufa sanata arba`in wa tis`in, wa sami`tu minhu wa ana ibnu arba`a `ashrata sana. Sami`tuhu yaqul, ‘Hubbuka al-shay’a yu`mi wa yuSimm’”).
Sixth Hadith:
Reported by Abu Hanifa, said I heard Wa’ila ibn al-Asqa` saying, “I heard the Messenger of Allah (saw) saying, ‘Do not display your rejoicing at your brother [‘s misfortune], so that Allah might remedy him and inflict it upon you.’”
Arabic transliteration: (“La tuZhiranna shamatataka li akhika fa yu`afiahu Allahu wa yabtalika”).
Seventh Hadith:
Reported from Abu Hanifa, said, “Wa’ila ibn al-Asqa` told me, from the Messenger of Allah (saw), said, ‘Leave what causes you doubt and head towards what does not cause you doubt.’”
Arabic transliteration: (“Da` ma yuribuk ila ma la uribuk”).
[al-Manaqib, al-Muwaffaq al-Makki, Vol. 1, 27; al-Manaqib, al-Kurdari, Vol. 1, 5]
And from what is agreed upon among many of the authors is that the Imam saw Anas ibn Malik. [Even] al-Khatib al-Baghdadi, despite his advocacy of a negative image for the Imam, does support the fact of his seeing of Anas ibn Malik with his saying, “Abu Hanifa saw Anas ibn Malik and heard from `Ata’ ibn Abi Rabah” [Tarikh Baghdad, Vol. 13, 324].
Ibn `Abd al-Barr mentions in his Jami` Bayan al-`Ilm [Vol. 1, 35], after he mentioned, alongside its sanad, a piece of news which Imam Abu Hanifa heard from Abdullah ibn al-Harith ibn al-Juz’, the Sahabi, “Ibn Sa`d, author of al-Waqidi, mentioned that Abu Hanifa saw Anas ibn Malik and Abdullah ibn al-Harith ibn al-Juz’.” Counting on this, Ibn al-Juz’ is considered to have died late, and in priority, that Abu Hanifa saw Abdullah ibn Abi Awfa since he was Kufi with regards to his residence and place of death.
Furthermore, Abu Nu`aim al-Asfahani mentioned among the Sahaba, whom Abu Hanifa saw, Anas, Abdullah ibn al-Harith, and Ibn Abi Awfa. The same is reported by Sibt ibn al-Jawzi upon the authority of Dhakir ibn Kamil from Abu `Ali al-Haddad from his book al-Intisar wa’l-Tarjih. This, considering the birth date of Abu Hanifa in the year 80 A.H., but if his birth date was in the year 61 A.H., or in the year 70 A.H., as in the reports of Ibn Zawad and Ibn Hayyan, the possibility of his seeing of the Sahaba would be bigger. Abu al-Qasim ibn Abi al-`Awam expanded on clarifying who was comtemporary of him relying on the first report in his book Fazail Abi Hanifa wa Ashabih (The Virtues of Abu Hanifa and His Followers).
Among what was altered by means of tampering in [the process of] copying what was mentioned is that Daraqutni was asked about Abu Hanifa’s hearing from Anas, is it considered correct? He said “la wa la ru’ytuh” (No, niether his seening). But the original statement is “la illa ru’yatuh” (No, except his seeing). As an evidence on this is what Suyuti mentioned in the beginning of his book Tabiyd al-Sahifa with his saying “Hamza al-Sahmi said, ‘I heard Daraqutni saying Abu Hanifa did not meet any of the Sahaba except that he saw Anas with his eyes but did not hear from him.’” And from the ones who professed his seeing Anas are: Ibn Sa`d, al-Daraqutni, Abu Nu`aim al-Asfahani, Ibn `Abd al-Barr, al-Khatib [al-Baghdadi], Ibn al-Jawzi, al-Sam`ani, `Abd al-Ghani al-Maqdisi, Sibt ibn al-Jawzi, Fazl Allah al-Turishty, Nawawi, Yafi`i, Dhahabi, Zain al-Din al-`Iraqi, al-Wali al-`Iraqi, Ibn al-Wazir, al-Badr al-`Ayni, Ibn Hajar [al-`Asqalani], Shihab al-Din al-Qastalani, Suyuti, and Ibn Hajar al-Makki, among others. [Ta’nib al-Khatib fi ma Saqahu fi al-Imam Abi Hanifa min al-Akadhib, Kawthari, 15].


References the Author Relied On:

1. al-Haytami, al-Khairat al-Hisan. For al-`Allama, Mufti al-Hijaz Ibn Hajar (d.943 A.H.).
2. Manaqib al-Imam Abi Hanifa. For Abu al-Mu’ayyid al-Muwaffaq al-Makki (d.568).
3. Manaqib Abi Hanifa. For Ibn al-Bazzaz al-Kurdari, author of Fatawi al-Bazzaziyya (d. 827).
4. al-Durr al-Munazzam fi Manaqib al-Imam al-A`zam: a manuscript kept in the library of al-Azhar al-Sharif (#238). For Noah Afandi (d. 1070, Cairo).
5. al-`Uqud al-Jiman fi Manaqib Abi Hanifa al-Nu`man: also a manuscript in al-Azhar. For al-Salih al-Dimashqi.

 

0 komentar:

Yang Mampir

Flag Counter

Translate

Paling Banyak Dibaca

Diberdayakan oleh Blogger.
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail